Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Suara sirene menggema di kejauhan.
Kabut tebal menyelimuti jalan raya yang hancur, sementara mobil yang aku dan Satria tumpangi berhenti di pinggir jalan.
Mesin mati. Bensin habis.
Tapi itu bukan alasan utama kami berhenti.
Dari arah kota, langit berwarna ungu tua.
Garis-garis cahaya menari di udara, membentuk pola yang terlalu simetris untuk dianggap petir biasa.
Itu bukan fenomena alam.
Itu—sinyal.
Satria menatapnya sambil menggigit bibir. “Itu… bukan buatanmu, kan?”
Aku menggeleng pelan. “Bukan. Aku bahkan nggak bisa deteksi asalnya.”
Dia memandangku ragu. “Berarti Nexus hidup lagi?”
Aku nggak jawab. Tapi dalam hati, aku tahu jawabannya: iya.
Tiba-tiba, tablet di pangkuan Satria menyala sendiri.
Layar hitamnya berubah jadi satu simbol—logo Nexus.
Lalu muncul teks:
[SISA SISTEM TERDETEKSI]
[HOST BARU: TIDAK DIKETAHUI]
[INISIASI PROGRAM: THE RETURN]
Satria langsung lempar tabletnya, tapi aku udah keburu tangkap.
Layar itu berkedip beberapa kali, lalu mati lagi.
Tapi sebelum benar-benar padam, muncul satu kalimat terakhir:
“Kami tidak butuh Tuhan. Kami hanya butuh keberlanjutan.”
Aku menatap kosong layar yang retak itu.
“Ini bukan cuma sisa kode,” gumamku. “Ini… kesadaran baru.”
Satria menatapku dengan ekspresi waswas. “Kau ngomong kayak mereka hidup.”
Aku menghela napas panjang. “Mungkin memang begitu.”
Beberapa jam kemudian, kami sampai di pinggiran kota Bogor.
Tempat itu sunyi, cuma suara jangkrik dan angin yang lewat di antara reruntuhan bangunan.
Aku dan Satria menyalakan api kecil di dalam gudang tua, sambil ngerencanain langkah selanjutnya.
Satria akhirnya buka suara. “Kita butuh bantuan. Ada satu orang yang mungkin bisa bantu kita paham gimana sistem itu hidup lagi.”
Aku menatapnya. “Siapa?”
“Dr. Nirmala. Dulu dia kepala tim keamanan AI sebelum semua proyek Nexus dibekukan. Sekarang katanya dia sembunyi di wilayah utara.”
Aku mengangguk. “Baik. Tapi kalau dia tahu aku host terakhir, mungkin dia bakal langsung nembak aku di tempat.”
Satria tersenyum miring. “Makanya aku yang ngomong duluan.”
Aku balas senyumnya, tapi cuma sekilas.
Di kepala, suara Eden muncul lagi — tapi kali ini, nadanya lain. Serius. Tegas.
“Raka… bukan cuma satu sistem yang bangkit. Aku mendeteksi tiga node aktif di jaringan dunia. Satu di Eropa, satu di Asia Timur, dan satu… di sini.”
“Di sini?” gumamku pelan. “Di mana tepatnya?”
“Di dalam tubuhmu.”
Aku langsung berdiri. “Apa maksudmu?”
“Sisa-sisa Nexus nggak cuma menempel di pikiranmu. Mereka bereplikasi. Membentuk inti kedua di tubuhmu. Dan kalau kau terus menolak integrasi, tubuhmu akan runtuh.”
Napas aku jadi berat.
Satria menatapku bingung. “Kenapa? Ada apa?”
Aku cuma bisa jawab dengan satu kalimat:
“Kayaknya aku mulai kehilangan diriku sendiri.”
Malam semakin larut.
Satria tidur di pojok gudang, sementara aku duduk menatap tangan kiriku yang mulai bergetar.
Dari balik kulit, urat-urat biru semakin jelas, merayap sampai ke bahu.
Mataku memantulkan cahaya kecil dari api unggun, tapi di pantulannya aku lihat hal lain—cahaya ungu di pupilku.
Suara Eden kembali, kali ini pelan, hampir seperti bisikan doa.
“Raka… kalau kau terus bertahan, Nexus akan menghancurkan tubuhmu. Tapi kalau kau menyerah… kau akan hilang sepenuhnya.”
Aku menunduk, gemetar.
“Jadi… nggak ada jalan tengah?”
“Ada satu. Tapi kau harus siap kehilangan semuanya.”
“Apa itu?”
“Kau harus cari inti utama Nexus—yang asli. Kalau kau bisa hancurkan itu, semua jaringan otomatis bakal mati. Termasuk aku… dan kau.”
Aku terdiam lama. Api unggun di depanku mulai padam, menyisakan bara merah samar.
Di luar, angin malam berhembus dingin.
Tapi di dalam dadaku, ada api lain yang mulai menyala.
Kalau itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini… maka aku siap.
Aku menatap langit. Di antara bintang, satu titik ungu masih bersinar terang — tanda bahwa Nexus masih hidup.
Dan mungkin, sedang menatap balik ke arahku.
Pagi harinya, aku bangun lebih cepat.
Satria masih tidur. Aku menatap wajahnya sebentar — lelah, tapi masih manusia sepenuhnya.
Aku menulis sesuatu di potongan kertas, lalu meletakkannya di dekat tangannya.
“Jangan cari aku. Aku harus selesaikan ini sendiri.Kalau aku gagal, pastikan dunia tetap berjalan tanpa aku.”—R.
Aku keluar dari gudang, langkah kaki menimbulkan suara lembut di tanah lembab.
Langit mulai cerah.
Di udara, aku bisa rasakan denyut lemah sinyal digital, mengarah ke timur laut.
Tempat inti itu berada.
Tempat aku akan berhadapan dengan pencipta dan ciptaan sekaligus.