Lucianna Forger adalah seorang pelacur di sebuah klub malam. Walaupun hidup sebagai pelacur, Luci tetap memiliki impian untuk mempunyai suami dan anak.
Malam itu ia bertemu dengan Daniel Radcliffe, orang yang dia target menjadi pelanggan selanjutnya. Setelah melalui malam yang panas di rumah Daniel. Ia malah bertemu dengan tiga anak kembar.
Luci baru saja berpikir kalau dia bermalam dengan suami orang lain. Namun nyatanya Daniel adalah seorang duda. Ini memberikan kesempatan Luci untuk mendekati Daniel.
Sulit untuk mendekati Daniel, Luci pun memilih untuk mendekati anak-anaknya terlebih dahulu.
Apakah Daniel bisa menerima Luci dengan latar belakang seorang pelacur?
__________________________________________
Yang penasaran sama ceritanya silahkan baca🙌
[Warning!! konten dewasa]
[Karya ini hanya fantasi authornya, tidak membawa hal apapun yang berkaitan agama dalam novel ini🙌]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NiSeeRINA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[PIAIT] Bab 18 : Selagi belum jadi istri
Hari ini, Lucianna tidak mengantar dan menjemput si kembar seperti biasanya. Daniel memintanya untuk beristirahat di kamarnya, memulihkan kondisi kakinya yang masih terasa sakit.
Sementara itu, para pembantu rumah tangga sedang sibuk mengerjakan tugas mereka masing-masing. Sopia sedang menyetrika pakaian, sementara Diah—salah satu dari tiga pembantu yang sudah lama bekerja di rumah itu—mencuci pakaian di ruang cuci disebelahnya.
"Mbak, perempuan yang tadi duduk di meja makan bareng Tuan Daniel itu istrinya?" tanya Sopia pada seniornya, memecah keheningan di ruang cuci.
"Bukan," jawab Diah singkat, tanpa mengalihkan perhatiannya dari kegiatan memasukkan pakaian-pakaian kotor ke dalam mesin cuci.
"Loh? Terus siapa?" tanya Sopia, rasa penasarannya semakin memuncak.
"Pengasuh si kembar," jawab Diah dengan nada malas, seolah enggan membahas topik tersebut lebih lanjut.
"Kok pengasuh bisa duduk sarapan bareng Tuan rumah? Gelagat dan pakaiannya juga nggak kayak pengasuh," celetuk Sopia, merasa ada sesuatu yang janggal dengan status Lucianna di rumah itu.
"Dia cuma pengasuh, tapi memang sifatnya agak menyebalkan. Sering nyuruh-nyuruh, karena kebiasaan jadi dibiarin sama Tuan. Selagi nggak merugikan, bagi Tuan sepertinya nggak masalah," jelas Diah, mencoba memberikan gambaran tentang sosok Lucianna di mata Tuan Daniel.
"Oh, terus istrinya kemana?" tanya Sopia, rasa ingin tahunya semakin tak terbendung.
"Mereka udah cerai," jawab Diah singkat, mengakhiri rasa penasaran Sopia.
"Hak asuhnya jatuh ke tangan Ayahnya? Wah, biasanya kalau begini istrinya yang bermasalah," gumam Sopia, membuat kesimpulan sendiri tentang penyebab perceraian Daniel dan istrinya. Diah mengacuhkan ucapan Sopia, tidak ingin terlibat dalam gosip yang tidak berdasar.
'Berarti Tuan Daniel baik, dong? Udah ganteng, kaya lagi. Nggak masalah kali ya kalo dideketin,' batin Sopia, mulai merencanakan sesuatu di dalam benaknya.
"Jangan coba melakukan hal yang aneh-aneh. Tuan Daniel memang baik, tapi dia bisa tetap bersikap tegas," ucap Diah, seolah bisa membaca pikiran Sopia. Ia kemudian pergi membawa pakaian yang sudah dikeringkan untuk dijemur di halaman belakang.
"Ih, apa masalahnya? Terserah aku dong. Anak-anaknya juga masih kecil, masih haus kasih sayang, jadi bakal gampang dideketin," gumam Sopia, tidak menghiraukan peringatan Diah. Ia merasa memiliki kesempatan untuk mendekati Daniel dan merebut hatinya.
......................
Sore harinya, Daniel pulang dari pekerjaannya. Saat dia memasuki rumah, Sopia datang menghampirinya dengan terburu-buru dan berniat mengambil tas kerjanya, menunjukkan pelayanan mewah layaknya seorang bos. Namun, Daniel dengan cepat menarik tangannya, ia tidak ingin mendapatkan pelayanan seperti ini.
"Ada apa, Sopia?" tanya Daniel, menatap Sopia yang langsung menghampirinya dengan tatapan bingung.
"Tidak apa-apa, Tuan. Dulu, kalau majikan pulang, saya biasanya ambil tasnya, bantu ganti sepatunya, bantu lepas jasnya," ucap Sopia dengan nada bicara yang dibuat lembut dan sedikit imut, mencoba menarik perhatian Daniel.
"Kau tidak perlu melakukan ini padaku, Sopia. Aku tidak nyaman dengan hal seperti ini," ucap Daniel dengan nada yang terkesan tegas namun tetap lembut, menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap tindakan Sopia.
"Baiklah, Tuan," jawab Sopia dengan nada kecewa, menundukkan kepalanya. Daniel berjalan melewatinya, kemudian berpapasan dengan Irma—salah satu pembantu rumah tangga lainnya.
"Irma, apa Luci masih beristirahat di kamarnya?" tanya Daniel, nada suaranya terdengar khawatir, tetapi tidak ada perasaan tertentu.
"Tadi Luci sempat memaksa untuk memandikan Tuan muda. Tuan muda juga merengek, tidak mau mandi jika tidak bersama Luci," jawab Irma jujur, tatapannya sedikit cemas.
"Jadi, mau tidak mau saya izinkan Luci memandikan Tuan muda."
Daniel menghela napas kasar, jemarinya memijit pelipis yang terasa berdenyut. Hatinya diliputi kegelisahan. Ia tahu betul betapa keras kepalanya Lucianna. Kedekatan anak-anak dan Lucianna, sepertinya, telah melampaui batas yang ia bayangkan. Sebuah ikatan yang begitu erat, nyaris tak terpisahkan.
"Baiklah, sekarang di mana mereka?" tanya Daniel, berusaha menenangkan diri.
"Tuan muda sedang mengerjakan tugas sekolah mereka di kamar Luci, Tuan," jawab Irma.
"Baiklah, kalau begitu. Terima kasih, Irma," ucap Daniel, mengakhiri percakapan.
"Sudah kewajiban saya, Tuan," balas Irma, menunduk hormat. Daniel pun melangkah pergi menuju kamarnya.
'Padahal dia cuma pengasuh, kenapa Tuan sampai segitunya perhatian kepada Luci? Apa jangan-jangan dia punya perasaan kepada Luci?' batin Sopia, yang tak sengaja mendengar percakapan itu.
Sebuah rasa cemburu mulai merayapi hatinya. 'Kalau benar, aku akan susah sekali untuk mendekati Tuan Daniel.'
......................
Selesai mandi, Daniel melangkah menuju kamar Lucianna. Pintu yang sedikit terbuka memperlihatkan ketiga anaknya sedang belajar bersama Lucianna di atas kasur, sebuah pemandangan yang menghangatkan hati.
"Bagaimana kakimu, Luci?" tanya Daniel, suaranya mengandung nada khawatir yang tulus.
"Sudah lebih baik, Daniel. Sepertinya besok aku sudah bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Lucianna, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Iya! Luci sudah beristirahat dengan cukup! Dia sampai bosan selalu duduk di kasur," ujar Revan dengan semangat, seolah menjadi juru bicara Lucianna.
"Oh, bosan? Bukannya baru saja mandi bersama kalian tadi?" Daniel mencoba menguji kejujuran anak-anaknya, seutas senyum tersungging di bibirnya.
"Ti-tidak, kok," jawab ketiga anak itu serempak, rona merah tipis menjalar di pipi mereka, menunjukkan kegugupan yang lucu.
"Devan, tadi kamu punya pertanyaan, bukan?" Lucianna dengan sigap berusaha mengalihkan topik, menyelamatkan anak-anak dari pertanyaan Daniel. Devan pun segera terbawa arus pengalihan topik yang dibuat Lucianna.
Daniel hanya menggelengkan kepalanya, melihat kekompakan anak-anaknya dalam menutupi kebohongan kecil mereka. Ia kemudian duduk di tepi ranjang, ikut menemani si kembar belajar. Pertanyaan Daniel sebelumnya seolah terlupakan begitu saja.
Di balik pintu, Sopia mengintip mereka—Daniel, Lucianna, dan si kembar—sedang bersama layaknya sebuah keluarga utuh. Hatinya dipenuhi keheranan. Bagaimana Lucianna bisa begitu menyatu dengan keluarga ini? Padahal dia hanyalah seorang pengasuh.
Tiba-tiba, seseorang menepuk bahu Sopia yang sedang mengintip, nyaris membuatnya berteriak kaget.
"Kau mengagetkanku saja!" gerutu Sopia pada Lala—temannya yang juga merupakan pembantu baru di rumah itu.
"Kau sedang apa? Selesaikan tugasmu, nanti selesai makan malam kita bisa pulang," bisik Lala, menarik Sopia menjauh dari pintu.
"Luci itu tinggal di sini?" tanya Sopia, rasa penasaran masih menguasai dirinya.
"Sepertinya iya, dia 'kan pengasuh," jawab Lala, sedikit kurang yakin. Lala melihat Sopia yang menatap Lucianna dengan tatapan sinis.
"Hei, jangan coba lakukan hal yang aneh-aneh. Aku sudah mengenalmu sejak SMA," Lala curiga dengan gelagat Sopia yang tidak biasa.
"Apa masalahnya? Selagi dia belum menjadi istri, berarti aku masih ada kesempatan, bukan?" ucap Sopia, merasa percaya diri dengan rencananya.
Lala menarik ujung bibirnya ke bawah, ia tahu betul bagaimana sifat Sopia. Ia hanya bisa berharap Sopia tidak melakukan hal aneh. Jika Sopia tetap ingin melakukannya, Lala tidak akan membantunya lagi kali ini. Ia tidak ingin kehilangan pekerjaan seperti sebelumnya. Sangat sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar seperti ini.
'Dia tidak kapok setelah mencoba menjadi selingkuhan dari majikan sebelumnya,' batin Lala, sebuah kekhawatiran merayapi benaknya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Bersambung...
padahal dalam hati 🤭