Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Buronan Global
Kereta barang itu meraung kencang, suaranya memekakkan telinga, menelan semua yang diucapkan kecuali bisikan yang paling mendesak. Cahaya bulan memotong gerbong yang kotor, menerangi debu gula yang masih melekat di jaket Zega dan wajah Sasha. Rasa takut bercampur dengan adrenalin menciptakan ketegangan yang hampir bisa disentuh.
Zega membuang ponsel mati itu, gestur final yang memotong mereka dari dunia normal. “Ekstradisi. Mereka tidak main-main. Hadi telah menjual kita ke setan terbesar—Express Teknologi. Mereka punya lobi yang bisa membuat kita hilang di tengah laut, Sasha.”
Sasha atau 'Maya' ... menarik napas panjang, bau minyak dan karat memenuhi paru-parunya. “Mereka menuduh Bara melanggar paten? Itu konyol. Bara selalu obsesif tentang orisinalitas DigiRaya. Ini hanya cara untuk menahan aset kita dan melumpuhkan pertahanan hukum kita di Indonesia.”
“Tepat,” Zega membenarkan, suaranya serak. Ia meraih botol air mineral bekas yang mereka temukan di sudut gerbong dan memberikannya pada Sasha. “Ini bukan tentang paten. Ini tentang menunjukkan kepada dunia bahwa kau, CEO yang baru, memimpin perusahaan yang didirikan di atas kejahatan finansial. Begitu gugatan ini diterima pengadilan internasional, status buronan kita berubah. Dari masalah domestik menjadi masalah INTERPOL. Kita tidak bisa lagi hanya menghindari Paman Hadi.”
Sasha meneguk air itu, rasa dinginnya sedikit menenangkan tenggorokannya yang kering. “Jadi, rencana ke Bali tetap berjalan. Kita harus memaksa Express Teknologi mundur, atau setidaknya membeli waktu.”
“Ya, tapi kita harus masuk dan keluar seperti hantu. Begitu kita menginjakkan kaki di Pulau Dewata, setiap kamera keamanan, setiap sistem pengenalan wajah, akan dihubungkan dengan basis data mereka. Kita harus mengubah identitas digital kita, sekarang juga.”
Zega mengeluarkan perangkat kecil dari saku jaketnya—sebuah kotak aluminium seukuran korek api. “Ini adalah *hardware wallet* milikku. Di dalamnya ada data yang cukup untuk membiayai pelarian kita selama setahun dan beberapa identitas digital sekali pakai. Aku akan membuatkanmu yang baru.”
“Maya adalah nama yang bagus,” Sasha bergumam, menyentuh bekas luka kecil di pelipisnya akibat benturan di pabrik tadi. “Identitas baru, kehidupan baru?”
Zega mencondongkan tubuhnya ke depan, bahunya menyentuh bahu Sasha, dan gerakan itu memicu sensasi yang tidak ada hubungannya dengan keamanan siber. “Aku lebih suka ‘Maya’. Sasha adalah target yang terlalu mahal. Maya adalah risiko yang aku ambil.”
“Dan Zega? Siapa nama barumu?”
“Aku? Aku akan menjadi Zega. Hacker tidak butuh nama baru. Mereka hanya butuh anonimitas, dan aku pandai menyembunyikan diriku dalam kode,” Zega menyeringai tipis, tetapi matanya serius. “Dengar, kita akan mendarat di pelabuhan kecil Paciran sebentar lagi. Kita harus melompat sebelum fajar. Pelabuhan itu penuh dengan nelayan dan pedagang yang tidak peduli siapa kau, selama kau membayar tunai.”
Sasha mengangguk. Dia melihat kegigihan Zega, cara ia merencanakan ke depan, tidak pernah panik. Di balik sikap sinisnya, Zega adalah mesin bertahan hidup yang sangat efisien.
“Bagaimana kita akan membayar? Aku tidak membawa dompet, apalagi uang tunai dalam jumlah besar,” tanya Sasha.
Zega menepuk saku jaketnya. “Aku selalu membawa alat pembayaran yang disukai para penjahat. Kita akan mencairkan sebagian kecil aset digitalku, di tempat yang tidak memiliki jejak bank.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya diisi oleh suara gemuruh roda besi di atas rel. Keintiman yang mereka bagi di pabrik tadi terasa mengambang di udara gerbong yang dingin. Sasha merasa Zega menatapnya, bukan sebagai CEO yang ia lindungi, melainkan sebagai pasangan dalam kejahatan.
“Kau baik-baik saja?” tanya Zega, nadanya lembut, sangat berbeda dari biasanya. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Sasha, menyeka sedikit debu gula yang masih menempel.
Sasha memejamkan mata sejenak, menikmati sentuhan yang tiba-tiba. “Aku tidak tahu. Aku baru saja menembak orang, Zega. Aku baru saja tahu tunanganku mengkhianati perusahaan kami, dan sekarang aku buronan global.”
“Kau tidak menembak orang. Kau menembak langit-langit untuk mengalihkan perhatian, dan itu menyelamatkan hidup kita,” Zega mengoreksi. “Kau sangat kuat, Sasha. Lebih kuat dari yang kau tunjukkan di ruang rapat. Aku tahu kau takut, tapi itu membuatmu lebih nyata.”
Zega mendekatkan wajahnya, matanya mencari izin. Sasha tidak memberikan izin verbal; ia hanya mencondongkan tubuh sedikit, membiarkan Zega menutup jarak. Ciuman kedua mereka di malam itu berbeda. Ini bukan ciuman panik di tengah gorong-gorong, atau ciuman putus asa di tengah perkelahian. Ini adalah ciuman di antara dua jiwa yang terikat oleh bahaya, janji kehangatan di tengah kekacauan yang tak terhindarkan.
Zega menarik Sasha lebih dekat, menempatkannya di antara kaki-kakinya yang terentang. Kehangatan tubuhnya terasa sangat nyata. Dia melepaskan ciuman itu, tetapi dahi mereka tetap bersentuhan.
“Tiga menit lagi, kita akan melompat,” Zega berbisik, napasnya terasa panas di kulit Sasha. “Begitu kita di Paciran, kita butuh ‘Kapten Guntur’. Dia punya kapal cepat yang bisa membawa kita langsung ke pelabuhan kecil di Bali Utara, menghindari bandara dan pelabuhan besar.”
Zega mengeluarkan ponsel sekali pakai baru, menyambungkan kabel tipis ke kotak aluminiumnya. Dia mengetik cepat. “Aku mengiriminya koordinat dan kode verifikasi. Dia tahu apa yang harus dilakukan.”
Tiba-tiba, suara kereta melambat, gesekan logam dengan logam memekakkan telinga. Mereka telah mencapai titik di mana rel berpisah menuju pelabuhan barang Lamongan.
“Sekarang!” Zega memerintah. Ia memasukkan laptop Bara dan ransel ke dalam jaketnya yang besar. Ia meraih tangan Sasha dengan cengkeraman baja.
Kereta melaju sekitar dua puluh kilometer per jam. Tidak terlalu cepat, tetapi cukup untuk mematahkan kaki. Zega membuka gerbang gerbong yang berderit dan melompat lebih dulu, mendarat dengan gerakan lentur, berputar untuk meredam benturan. Ia tidak melepaskan tangan Sasha.
“Lompat! Sekarang!”
Sasha menutup mata, mempercayakan hidupnya pada cengkeraman Zega. Ia melompat, kakinya menyentuh kerikil di samping rel. Benturan itu keras, tetapi Zega menariknya ke samping, dan mereka berdua berguling ke dalam semak-semak yang tebal dan berbau garam.
Mereka bersembunyi hingga kereta itu berlalu, meninggalkan keheningan pedesaan pesisir yang diselingi suara ombak. Di kejauhan, lampu pelabuhan Paciran mulai menyala, fajar sebentar lagi tiba.
“Kita berhasil,” Sasha terengah-engah, bangkit dengan bantuan Zega.
“Kita baru saja mencapai level satu,” Zega membalas. “Ayo. Pelabuhan.”
Mereka berjalan di sepanjang garis pantai yang dipenuhi perahu nelayan yang berjejer. Udara dingin, asin, dan dipenuhi aroma ikan segar. Zega mengenakan topi dan menarik hoodie-nya. Sasha juga menutupi wajahnya dengan syal yang ia temukan di ransel Zega.
Mereka mencari dermaga paling ujung, tempat di mana kapal-kapal kecil berlabuh. Zega melihat seorang pria bertubuh kekar, kulitnya gelap karena matahari, sedang membersihkan jaring. Pria itu menatap Zega, lalu mengangguk singkat.
“Kapten Guntur?” tanya Zega, suaranya pelan.
“Kau Zega. Dan kau membawa wanita berambut mahal,” kata Kapten Guntur, matanya tertuju pada Sasha. “Cepat. Kapal patroli terlihat gelisah pagi ini.”
Zega menyerahkan *hardware wallet*-nya. Kapten Guntur mengangguk, puas dengan pembayarannya. “Dua belas jam, kalian akan berada di Bali Utara. Kami akan berlayar di bawah bendera penangkapan ikan. Kalian berdua bersembunyi di bawah dek. Jangan membuat suara apa pun.”
Sasha dan Zega bergegas menaiki perahu yang reyot itu. Mereka menyelinap ke bawah dek, di ruang sempit di samping mesin diesel yang berbau solar.
Saat kapal mulai bergerak, perlahan menjauhi pantai, Zega menyalakan perangkat komunikasi lain—sebuah radio satelit mini yang terenkripsi. Dia tidak menghubungi siapa pun, hanya memindai frekuensi keamanan global.
Wajahnya tiba-tiba mengeras. “Kita terlambat.”
“Apa?” Sasha mencondongkan tubuhnya ke depan. Ruangan itu begitu sempit sehingga lutut mereka bersentuhan.
“Express Teknologi sangat cepat. Mereka baru saja mengeluarkan ‘Red Notice’ digital ke semua bandara dan pelabuhan internasional di Indonesia. Mereka menggunakan klausul ‘kejahatan terorganisir transnasional’. Ini bukan hanya pencarian. Ini perburuan. Mereka tahu kita akan lari ke Bali.”
Zega menatapnya, mata cokelatnya berkilat. “Yang lebih buruk: salah satu sinyal pelacakan yang digunakan untuk memantau keamanan konferensi di Bali baru saja diaktifkan. Itu adalah perangkat yang hanya digunakan untuk mendeteksi ancaman keamanan kelas satu.”
“Dan apa artinya itu?”
Zega menghela napas berat, menahan amarah. “Artinya, mereka tidak hanya menunggu kita di pintu masuk. Mereka sudah menyiagakan pembunuh. Begitu kita mendekati perairan Bali, mereka akan tahu persis di mana kita berada.”
Sasha merasakan hawa dingin. Mereka telah lolos dari Hadi, tetapi mereka baru saja berlayar ke perangkap yang disiapkan oleh kekuatan korporat global. “Kita harus mengubah rencana. Kita tidak bisa langsung ke konferensi.”
Zega menggeleng. “Tidak. Kita tetap pergi. Tapi kita tidak akan mendarat di Bali. Kita akan singgah di tempat yang tidak dicari siapa pun.”
Zega menunjuk ke arah peta digital di perangkatnya. Sebuah titik kecil di tengah Selat Lombok. “Pulau kecil yang terisolasi. Pulau tempat aku dilahirkan. Satu-satunya tempat yang tidak akan pernah dicari oleh Express Teknologi. Itu adalah tempat kita akan menyusun strategi untuk perang digital terbesar yang pernah ada.”
Kapal itu membelah ombak, meninggalkan daratan Jawa. Fajar telah tiba, mewarnai langit timur dengan api oranye yang indah. Tetapi di bawah dek yang berbau solar, Sasha tahu bahwa mereka baru saja memasuki kegelapan yang sesungguhnya.
“Bertahanlah, Maya,” Zega berbisik. “Pelayaran ini akan jauh lebih bergelombang dari yang kita duga.”