NovelToon NovelToon
Dia Yang Kau Pilih

Dia Yang Kau Pilih

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Pelakor / Cerai / Penyesalan Suami / Selingkuh / Berondong
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Rika Nurbaya adalah seorang guru honorer yang mendapat perlakuan tak mengenakan dari rekan sesama guru di sekolahnya. Ditengah huru-hara yang memuncak dengan rekan sesama guru yang tak suka dengan kehadirannya, Rika juga harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya, Ramdhan memilih wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Hati Rika hancur, pernikahannya yang sudah berjalan selama 4 tahun hancur begitu saja ditambah sikap ibu mertuanya yang selalu menghinanya. Rika pun pergi akan tetapi ia akan membuktikan bahwa Ramdhan telah salah meninggalkannya dan memilih wanita lain.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mertua Dan Ucapannya

Setelah insiden di ruang guru, Rika merasa seolah energi dalam dirinya telah terkuras habis, menyisakan hanya ampas kelelahan dan rasa perih yang tak terdefinisikan. Ia menghabiskan sisa jam kerjanya dengan koreksi yang lambat, setiap gerakan tangannya terasa berat, seolah ia sedang mengangkut beban emosional yang tak terlihat. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore.

Rika memasukkan laptopnya ke dalam tas. Ia tidak berani menoleh ke arah meja Bu Rosba, yang sedari tadi hanya diam membatu, namun kebisuan itu terasa lebih mengintimidasi daripada teriakan. Ia melangkah keluar dari ruang guru yang suram, mencari pelarian dari tatapan-tatapan menghakimi yang masih terasa menempel di punggungnya.

Perjalanan pulang Rika adalah ritual sunyi. Melewati jalanan yang macet, ia mencoba mengusir bayang-bayang Bu Rosba dari kepalanya, namun kini bayangan lain yang lebih akrab, lebih pribadi, mulai membayang. Ibu Cahya.

Jika Bu Rosba menyerangnya di ranah profesional, Ibu Cahya, sang mertua, menyerangnya di ranah yang paling Rika rasakan kegagalannya: menjadi seorang istri dan menantu yang ‘sempurna.’

Ketika motor matic Rika memasuki halaman rumah kontrakan kecilnya, aroma masakan yang bercampur bauan rempah dan minyak kayu putih langsung menyambutnya. Itu pertanda Ibu Cahya sudah pulang dari warung tempatnya berjualan, dan suasana damai di rumah sudah berakhir.

Rika melepas helm, menghela napas panjang—napas persiapan perang. Ia mencium punggung tangan Ibu Cahya yang duduk di kursi rotan ruang tamu, tangannya dingin dan kaku.

“Assalamualaikum, Bu. Rika pulang,” sapa Rika dengan suara yang dibuat seceria mungkin.

Ibu Cahya, wanita yang usianya menginjak enam puluh tahun namun ketajamannya masih setajam mata pisau, hanya bergumam pelan tanpa menoleh. Matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan sinetron dengan volume kencang.

“Baru pulang?” tanya Cahya, akhirnya menoleh, namun pandangannya menyapu Rika dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan ekspresi jijik yang sudah Rika hafal.

“Iya, Bu. Tadi ada sedikit pekerjaan tambahan di sekolah.”

“Pekerjaan tambahan? Atau malah cari-cari kerjaan biar tidak cepat pulang?” Cahya mendesis, menyindir. “Saya kira guru honorer itu kerjanya santai, gajinya kecil, waktunya banyak. Ternyata malah menyusahkan begini.”

****

Rika menutup pintu pelan. Ia menahan diri untuk tidak membalas. “Semua pekerjaan pasti ada tuntutannya, Bu. Rika cuma berusaha tanggung jawab.”

“Tanggung jawab?” Cahya tertawa singkat, tawa kering yang menusuk. “Coba kamu artikan, tanggung jawab itu apa, Rika? Seorang istri itu tanggung jawabnya di rumah. Mengurus suami, memastikan dapur ngebul, dan yang paling penting, ya memberi cucu!”

Rika merasakan perutnya seolah ditinju. Ia menaruh tas kerjanya di sofa dengan gerakan hati-hati. “Masih diusahakan, Bu.”

“Diusahakan? Sudah tahun ke berapa pernikahan kalian, Rika? Sudah berapa banyak uang yang habis untuk dukun itu? Dokter itu, dokter itu, kamu kira semua itu murah? Kami sudah habis-habisan membiayai pengobatan kamu, tapi hasilnya apa?” Suara Cahya mulai meninggi, mengalahkan suara sinetron di televisi.

Rika berlutut, mencoba melepaskan sepatu yang terasa berat. Ia mencoba mencari tempat untuk bersembunyi.

"Bukan hanya uang, Rika. Tapi harapanku. Kamu tahu, saya ini sudah tua. Saya ingin menimang cucu dari anak saya satu-satunya. Tapi kamu? Kamu lebih mementingkan kertas-kertas Bahasa Inggris yang tidak akan membuat masa depan kamu terjamin itu!”

Rika akhirnya berdiri tegak, membalikkan badan menghadap mertuanya. Ia berusaha menjaga suaranya tetap rendah, agar tidak terdengar seperti sedang melawan.

“Bu, Rika juga ingin punya anak. Setiap bulan Rika berharap, setiap kali datang bulan Rika menangis. Ibu pikir Rika tidak berusaha?” Rika menarik napas, bibirnya bergetar. “Rika minum semua ramuan yang Ibu suruh. Rika bolak-balik ke dokter sampai rasanya sudah tidak punya malu lagi untuk diperiksa. Rika sudah coba semuanya, Bu.”

Cahya mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menyipit penuh kecurigaan. “Mencoba? Atau kamu memang sengaja menunda? Kamu terlalu sibuk dengan sekolahmu itu, Rika. Pagi-pagi sudah pergi, sore baru pulang. Kapan kamu punya waktu untuk suami kamu? Kapan kamu punya waktu untuk merawat diri?”

****

Air mata Rika sudah tidak bisa ditahan lagi. Setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Ia merasakan tuduhan ini lebih menyakitkan daripada tusukan.

“Saya kerja, Bu! Saya jadi guru honorer, bukan main-main. Saya butuh uang untuk bantu suami saya. Gaji Ramdhan tidak cukup untuk biaya hidup kita, Bu. Apalagi untuk biaya pengobatan dan usaha punya anak ini!”

“Oh, jadi kamu menyalahkan anak saya?!” Cahya tiba-tiba berdiri, ekspresinya berubah drastis menjadi marah. “Anak saya itu sudah bekerja keras! Tapi kamu? Kamu itu hanya honorer, Rika! Gajimu seberapa, sih? Dua ribu per bulan? Tiga ratus ribu? Itu tidak ada artinya dibandingkan uang yang kami keluarkan untuk usaha punya cucu ini!”

Cahya melangkah mendekat, Rika mundur selangkah.

“Seharusnya kamu malu! Sudah tidak bisa memberi cucu, malah sibuk di luar sana mencari muka jadi guru. Aku ini sudah tua, Rika. Anak itu berkah! Tapi kamu malah menghambat berkah itu dengan kesibukanmu yang tidak jelas!”

“Ibu kira saya tidak sedih, Bu? Ibu kira saya bahagia pulang sore hanya untuk mendengar hinaan seperti ini?” Suara Rika serak, air matanya kini mengalir deras. “Saya kerja, Bu, agar saya merasa berguna! Agar saya tidak bergantung pada siapa pun. Karena anda Bu,” Rika menjeda, mengambil napas, suaranya kini penuh kesedihan, “Saya tahu, kalau saya tidak punya anak, saya tidak akan punya tempat di rumah ini! Saya hanya menantu yang menyusahkan di mata Ibu!”

Cahya terdiam. Ekspresi wajahnya mengeras, namun ada secercah bayangan kejutan di sana.

“Omong kosong! Kamu terlalu dramatis!” Cahya berusaha menyangkal, namun nadanya sedikit goyah.

“Saya tahu, Bu. Kalau saya PNS, Ibu mungkin akan sedikit bangga. Kalau saya punya anak, Ibu pasti akan menyayangi saya. Tapi karena saya cuma guru honorer dan belum bisa memberi cucu, saya selalu salah. Saya menantu yang tidak tahu diri, terlalu ambisius di sekolah, tapi tidak becus di rumah.” Rika menyeka air matanya dengan kasar.

“Saya hanya ingin menjadi guru yang baik, Bu. Saya ingin dihargai sebagai manusia yang bekerja, bukan sebagai mesin pembuat anak yang gagal!”

Keheningan melanda ruang tamu. Cahya menatap Rika, dan Rika menatap balik, kali ini tanpa rasa takut, hanya kepasrahan. Rika sadar, ia baru saja mengucapkan semua yang selama ini ia tahan. Itu adalah kejujuran yang menyakitkan, dan ia tahu, hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi.

Cahya membuang muka, kembali duduk di kursi rotannya. “Terserah kamu mau bicara apa. Pokoknya, cepat ganti baju. Sudah waktunya menyiapkan makan malam. Jangan sampai suami kamu pulang, makanan belum ada.” Cahya kembali fokus pada sinetronnya, seolah percakapan emosional yang baru saja terjadi hanyalah iklan yang tidak penting.

1
Purnama Pasedu
nggak lelah Bu cahaya
Aretha Shanum
ada orang gila lewat thor
La Rue
Ceritanya bagus tentang perjuangan seorang perempuan yang bermartabat dalam meperjuangkan mimpi dan dedikasi sebagai seorang perempuan dan guru. Semangat buat penulis 👍❤️
neur
👍🌹☕
Purnama Pasedu
Shok ya
Purnama Pasedu
Bu rosba panik
Purnama Pasedu
bo rosba nggak kapok ya
Purnama Pasedu
Bu rosba,,,itu Bu riika bukan selingkuh,kan dah cerai
Purnama Pasedu
benar itu Bu Guru
Purnama Pasedu
wanita yg kuat
Purnama Pasedu
lah Bu rosba sendiri,bagaimana
Purnama Pasedu
bener ya bu
Jemiiima__: Halo sahabat pembaca ✨
‎Aku baru merilis cerita terbaru berjudul BUKAN BERONDONG BIASA
‎Semua ini tentang Lucyana yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
‎Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
‎Apakah Lucy berani jatuh cinta lagi? Kali ini pada seorang Sadewa yang jauh lebih muda darinya.
‎Mampir, ya… siapa tahu kamu ikut jatuh hati pada perjalanan mereka.
‎Dukung dengan like ❤️ & komentar 🤗, karena setiap dukunganmu berarti sekali buatku. Terimakasih💕
total 1 replies
Purnama Pasedu
lawan yg manis ya
Purnama Pasedu
bawaannya marah terus ya
Purnama Pasedu
Bu rosba iri
Purnama Pasedu
jahat ya
Purnama Pasedu
kalo telat,di marahin ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!