Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kodrat yang Dipertanyakan
Flashback:
"Aurora sayang, sebagai seorang wanita, kita harus menerapkan feminin energy agar alam semesta memberikan kita kemudahan tanpa perlu susah-susah berusaha," ucap Mulyani, ibu Aurora, sambil menyisir rambut halus anaknya dengan lembut.
"Feminin energy itu apa, Mommy?" tanya Aurora yang saat itu masih berusia lima tahun, bola matanya berkilat penuh rasa ingin tahu.
"Feminin energy adalah konsep yang mewakili kualitas lembut, intuitif, penuh kasih. Wanita seperti kita kodratnya adalah untuk disayang, dihormati, dimanjakan. Sementara maskulin energy adalah kebalikan itu semua. Mereka adalah penyedia, pelindung, yang secara alamiah akan melindungi si feminin energy. Nah, Aurora, kamu ingin jadi feminin atau maskulin, Nak?" tanya Mulyani dengan suara selembut bisikan, namun penuh penekanan.
"Maskulin, Mommy! Aurora ingin melindungi Mommy!" jawab Aurora kecil dengan polos, matanya berbinar penuh tekad.
Senyum Mulyani sontak memudar, berganti dengan tatapan tajam yang menusuk. Gerakan tangannya yang semula lembut berubah kaku. Dengan nada yang tak lagi manis, ia menegaskan, "Tidak boleh!"
"Kenapa tidak boleh, Mommy?" Aurora kecil menatap ibunya dengan dahi berkerut, bingung.
"Mommy sudah katakan bahwa kodrat kita adalah untuk menjadi penerima, bukan pemberi. Kita hanya harus menjadi anggun dan lemah lembut agar bisa menarik pria maskulin. Jika kau malah mau menjadi maskulin, yang ada kau malah akan menarik pria feminin. Kau mau menikah dengan pria feminin yang tidak bisa apa-apa dan hanya menunggu diselamatkan? Itu bukan kodrat kita! Jangan menyalahi kodrat, Aurora!" suara Mulyani meninggi, menusuk telinga anak itu hingga membuatnya menciut, menunduk dengan perasaan bersalah yang belum sepenuhnya ia mengerti.
---
Aurora tersentak, tubuhnya sedikit berguncang saat memori itu menghantam. Ia memegangi kepalanya yang berdenyut, seolah ada sesuatu yang ingin ia lupakan namun justru semakin jelas terpatri. 'Aneh. Itu hanya salah satu adegan dari novel yang aku tulis untuk menyindir influencer si paling feminin energy. Tapi kenapa aku merasa seolah kejadian itu benar-benar terjadi padaku? Apa karena aku sudah masuk ke tubuh Aurora?' pikirnya, jantungnya berdegup semakin kencang.
Belum sempat ia menenangkan diri, suara pintu mobil terbuka terdengar. "Tunggu sebentar di sini!" perintah Aditya singkat sebelum keluar dari mobil.
Aurora menoleh cepat, menatap punggung pria itu menjauh. 'Dia mau ke mana? Tiba-tiba keluar mobil begitu saja,' batinnya dengan kesal. Jemarinya mencengkeram tas di pangkuan, mencoba menahan kegelisahan. Namun beberapa detik kemudian, ia memalingkan wajah ke arah lain, pura-pura tidak peduli meski rasa penasaran terus menggerogotinya.
Waktu berjalan lambat. Hening yang mencekam hanya diisi suara detak jarum jam digital di dashboard mobil. Hingga akhirnya pintu mobil kembali terbuka. Aditya masuk dengan tenang, namun di tangannya tergenggam sebuah plastik putih kecil. Ia menyerahkannya pada Aurora tanpa basa-basi.
"Ini untuk anda. Terimalah!" ucapnya dingin, seolah perhatiannya adalah sesuatu yang lumrah.
Aurora menunduk, membulatkan mata saat melihat isi kantong itu—minuman pereda nyeri haid. Jemarinya bergetar, tak percaya. "Dari mana kau tahu aku sedang haid?" suaranya nyaris bergetar, antara kaget dan malu.
Aditya hanya menatap lurus ke depan, tersenyum tipis sebelum kembali menjalankan mobilnya. "Karena saya memiliki dua orang adik perempuan. Saya tahu ciri-ciri wanita yang sedang menstruasi. Biasanya emosinya tidak stabil dan naik turun. Tapi tenang saja! Itu hanya hormon sementara. Jika sudah selesai menstruasi, maka akan kembali menjadi wanita yang logis seperti semula."
Aurora terdiam, pipinya merona merah padam. Ia buru-buru memalingkan wajah, menatap keluar jendela untuk menyembunyikan perasaan yang campur aduk di dadanya. Bibirnya bergetar ketika akhirnya berbisik pelan, "Te- Terima kasih."
Aditya kembali tersenyum tipis, sekilas saja, namun cukup membuat Aurora merasakan getaran aneh di dadanya. "Tidak perlu berterima kasih. Sudah, minum saja!"
Aurora mengangguk pelan. Jemarinya meraih botol dari plastik itu, berusaha membuka tutupnya. Dengan mudah tutup botol berputar di tangannya, menghasilkan bunyi klik yang renyah. Aurora terdiam beberapa detik, menatap cairan dalam botol itu seakan ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Bibirnya bergerak, menggumam lirih, "Salah! Harusnya aku meminta bantuan saja. Ada laki-laki di sini, untuk apa aku membukanya sendiri?"
Aditya melirik sekilas, lalu terkekeh pelan. Suaranya terdengar ringan, tapi tetap memiliki wibawa khas dirinya. "Tapi aku sedang menyetir, Aurora. Kau bisa membukanya sendiri. Itu bukan hal yang buruk. Apa mau aku puji sebagai wanita kuat?" tanyanya dengan seringai nakal, membuat ketegangan di udara berubah menjadi percikan yang lebih personal.
Aurora refleks menoleh, menatapnya tajam namun matanya justru berkilat penuh emosi yang sulit dijelaskan. "Anda, anda, tiba-tiba aku," gumamnya, seolah melawan dirinya sendiri.
Aditya terdiam. Tatapan matanya kembali fokus ke jalanan yang basah oleh sisa hujan, namun garis wajahnya tampak menegang. Aurora bisa menangkap dari ekor matanya—telinga pria itu memerah. "Maaf, saya kurang sopan—"
"Jangan! Seperti tadi saja!" seru Aurora, kali ini suaranya meninggi, penuh emosi campuran antara malu dan kesal. "Aku kamu saja! Jangan saya anda! Tidak asik!"
Aditya menahan napas sejenak, lalu mengangguk pelan. Suaranya terdengar lebih rendah, lebih serius, namun tetap tenang. "Baiklah, mulai sekarang, saya— maksudnya aku akan menggunakan panggilan aku kamu untuk berkomunikasi."
Aurora menyilangkan tangan di dada, wajahnya masih sedikit merona. "Jangan terlalu formal, pak pengacara!" ucapnya dengan nada ketus, meski kilatan nakal jelas tergambar di matanya. Lalu dengan cepat, ia melemparkan pertanyaan yang tak terduga. "Omong-omong, kau lebih suka wanita yang feminin atau maskulin?"
Aditya sedikit menoleh, hanya sebatas gerakan kecil untuk menatap wajah Aurora sekilas, sebelum kembali menancapkan fokus pada jalanan yang remang. Salah satu alisnya terangkat, memberi ekspresi setengah mengejek, setengah serius. "Saya suka wanita yang menjadi dirinya sendiri tanpa terlalu banyak mengikuti standar sosial. Lagi pula, aslinya semua manusia punya sisi maskulin dan feminin. Baik perempuan maupun laki-laki."
Aurora terdiam, bibirnya menekuk senyum tipis. "Yang menjadi dirinya sendiri?" ulangnya, suaranya setengah berbisik. Matanya menyipit penuh rasa ingin tahu. "Bagaimana jika wanita itu aslinya adalah wanita yang suka roasting? Semua hal dia roasting?"
Aditya tidak tergesa menjawab. Udara di dalam mobil terasa menegang beberapa detik, hanya diisi suara mesin yang bergemuruh halus. Barulah setelah itu ia membuka mulut, nada bicaranya santai, tapi setiap kata terucap seakan penuh perhitungan. "Tidak ada yang salah dengan roasting. Asalkan harus tetap melihat situasi. Jangan sampai roasting pada orang yang anti kritik atau mudah tersinggung."
Aurora mengangguk paham, menyandarkan kepalanya di jok kursi. Namun jauh di dalam dadanya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. 'Dia menjawab dengan serius. Apa ini artinya dia bisa menerima sifatku yang cerewet dan keras?' pikirnya, sembari berusaha menahan senyum yang nyaris lolos.
Aditya melirik sekilas, suaranya melembut, seolah mencoba menembus dinding pertahanan Aurora. "Perasaanmu sudah lebih baik?"
Aurora menoleh, kali ini tanpa menutupi wajahnya lagi. Sebuah senyum hangat terukir di bibirnya, sederhana namun tulus. Ia mengangguk pelan. "Terima kasih."
Tatapan Aditya seketika berpaling lagi ke arah kemudi, lebih cepat dari sebelumnya, seakan takut menatap terlalu lama. Namun telinganya kembali memerah, bahkan kali ini terlihat lebih jelas. Kedua tangannya mencengkeram setir sedikit lebih erat, berusaha menutupi getaran yang tiba-tiba menyerang hatinya.