Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.
Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sore itu, Arka akhirnya bicara
Aula fakultas sore itu penuh dengan suara riuh, tapi ada aura khidmat yang menyelimuti. Spanduk lomba terpajang besar, lampu-lampu panggung menyorot podium, sementara para peserta duduk dengan wajah tegang bercampur harap. Asha duduk di kursi barisan tengah, kedua tangannya tak berhenti memainkan ujung jilbab baby pink yang dikenakannya.
Di sisi kanan dan kiri, para senior duduk dengan percaya diri. Ada yang sedang bercanda, ada yang sibuk mendiskusikan karya sastra dengan istilah-istilah akademis yang kadang sulit Asha cerna. Ia hanya bisa diam, mendengarkan, dan sesekali tersenyum kecil. Rasanya seperti orang asing di antara mereka.
Ketika MC mulai membacakan nama-nama pemenang, detak jantung Asha makin tak karuan. Saat
"Dan juara tiga diraih oleh… Asha Zeanna Zahira!" terdengar, ia seperti tidak percaya telinganya. Tangannya spontan menutup mulut, matanya membulat. Beberapa teman dan senior menoleh ke arahnya sambil bertepuk tangan.
Dengan langkah gugup Asha berjalan kearah panggung. Tangannya dingin, tapi senyumnya merekah tanpa bisa ia tahan. Piagam yang diserahkan panitia terasa begitu ringan, namun maknanya berat sekali, ini adalah bukti bahwa ia bisa.
Asha menyampaikan beberapa kalimat, ia cukup terkejut dengan hasil yang ia dapat dari kerja kerasnya selama ini. Setelah menyampaikan beberapa patah kata, ia juga tak lupa mengucapkan terimakasih kepada para senior yang selalu membimbing nya, dan dosen yang mau mendengar keluh kesahnya selama ini.
Setelah itu ia pun turun dari panggung, Asha kembali ke kursinya. Nafasnya masih belum teratur, wajahnya memerah, setengah tak percaya dengan apa yang baru terjadi. Di tengah kehebohan aula, tiba-tiba seseorang menghampirinya.
Ia menyodorkan sebotol air mineral, senyumnya terlihat sangat tulus.
"Selamat ya, adik junior." ucapnya dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi rapinya.
Asha tertegun, lalu menerima botol itu.
"Makasih, Kak..." Asha menggantung ucapannya seraya mengingat siapa nama senior di depannya ini.
"Arka," ucap pria itu.
"A-ah iya kak Arka, makasih airnya." balas Asha menganggukkan kepalanya perlahan saat tahu nama pria di depannya.
Arka duduk di kursi sampingnya, agak mendekat tapi tetap menjaga jarak. Ia banyak mengetahui tentang Asha dari teman-temannya, dan saat ospek 1,5 tahun lalu. Salah satunya, Asha sangat menjaga jaraknya dengan para pria.
"Sama-sama," jawab Arka lembut.
"Eumh Sha, aku denger-denger kamu pernah ngajar di Rumah Qur'an ya?" tanya Arka tiba-tiba.
"Hehe iya kak," jawab Asha seadanya.
"Sekarang masih?" tanya Arka membuka topik dengan gadis di depannya.
"Udah enggak kak," jawab Asha berusaha mengalihkan pandangannya agar tak bertemu dengan Arka.
"Ooo gitu," ucap Arka mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
"Dulu juga aku pernah diajak ngajar di Rumah Qur'an sama sepupuku," Arka menatap kearah Asha yang memandang kearah lain. Namun ia malah senang, karena jika Asha menatap kearah lain, itu berarti dirinya bisa menatap kearah Asha.
"Sepupu kakak juga ngajar?" tanya Asha menoleh kearah Arka. Namun tatapan mereka sempat bertemu, dengan cepat Asha menoleh kearah lain dengan malu.
"Iya, sampe sekarang masih ngajar disana dia." ucap Arka tersenyum melihat tingkah Asha.
"Berarti kakak juga pernah ngajar di Rumah Qur'an?" kata Asha penasaran.
"Enggak. Aku diajakin doang, tapi gak mau." jawab Arka dengan tawanya.
Obrolan pun mengalir begitu saja, Arka merasa beruntung karena dirinya termasuk pria pertama yang bisa mengajak ngobrol Asha dengan rentang waktu yang cukup lama, selain dosen.
Hingga tak ada lagi topik yang ingin mereka bicarakan, mereka pun terdiam sejenak, hanya ditemani riuh di sekeliling. Asha sibuk memeluk piagamnya, sementara Arka memandanginya sesaat, seakan sedang berjuang dengan dirinya sendiri. Lalu, akhirnya ia menarik napas panjang.
"E-eum Asha," panggilnya dengan nada serius.
Asha menoleh, matanya masih berbinar karena euforia kemenangan. "Iya, Kak?"
Arka menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi dengan tatapan yang dalam. "Sebenernya aku udah lama pengen ngomong sesuatu. Dari pertama kali kamu masuk kampus ini, aku sering ngeliatin kamu. Tapi bukan karena apa aku cowok brengsek ya, aku cuman suka cara kamu ngejalanin hidup kamu yang tenang, sederhana, nggak neko-neko, tapi fokus gitu. Jujur, itu bikin aku kagum." katanya panjang lebar.
Asha menatap kearah Arka tak percaya, bukan, bukan karena dirinya berfikir Arka ini laki-laki brengsek. Tapi ia berfikir, Arka sudah terkena fitnah dirinya, dan ia merasa kecewa pada dirinya sendiri.
Arka melanjutkan, suaranya sedikit bergetar.
"Tiga semester ini aku cuman diem, nahan semua perasaan, aku nggak mau bikin kamu risih. Tapi hari ini, ngeliat kamu berdiri depan mata aku, aku jadi sadar kalo terus diem, aku bakal nyesel. Jadi, aku pengen kamu tau, sebenernya aku suka sama kamu."
Keheningan sejenak. Dunia sekitar seperti mengecil. Suara tepuk tangan, kamera, tawa mahasiswa lain, semua mengabur. Hanya ada Arka dengan tatapan seriusnya, dan Asha yang merasa tak mampu berkata-kata.
Ia akhirnya menghela napas, lalu tersenyum tipis.
"Aku nggak nyangka bisa denger ini hari ini, Kak. Sebelumnya makasih kakak udah suka aku, jujur aja kak, aku udah punya calon." jawab Asha to the point.
Mendengar pengakuan Arka, entah mengapa Asha merasa telah menyakiti Afkar. Padahal ia tak melakukan apapun, namun ia sudah berjanji akan menjaga dirinya sampai waktu yang ditentukan itu tiba.
Arka mengangguk pelan, ada senyum getir di wajahnya.
"O-oh gitu ya, maaf ya aku gak tau." ujar Arka merasa bersalah.
Asha mengangguk pelan, ia mengerti perasaan Arka. Namun dirinya tak ingin membuat Arka berharap padanya, terlebih ia juga sudah membuat janji dengan Afkar hingga selesai nya masa pendidikannya.
"Kalo gitu aku duluan ya kak, Assalamu'alaikum." ucap Asha terburu-buru, tanpa menunggu jawaban dari Arka terlebih dahulu.