Setelah Mahesa Sura menemukan bahwa ia adalah putra seorang bangsawan yang seharusnya menjadi seorang raja, ia pun menyusun sebuah rencana untuk mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi milik nya.
Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya menjadi modal awal bagi nya untuk membangun kekuatan dari rakyat. Intrik-intrik istana kini mewarnai hari hari Mahesa Sura yang harus berjuang melawan kekuasaan orang yang seharusnya tidak duduk di singgasana kerajaan.
Akankah perjuangan Mahesa Sura ini akan berhasil? Bagaimana kisah asmara nya dengan Cempakawangi, Dewi Jinggawati ataupun Putri Bhre Lodaya selanjutnya? Temukan jawabannya di Titisan Darah Biru 2 : Singgasana Berdarah hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resi Agastya
*****
Seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang pertapa dengan janggut panjang yang telah ditumbuhi uban terus melangkah sambil memutar tasbih biji genitri di jalan setapak yang membelah Alas Jati Caruban. Meskipun hutan lebat yang banyak ditumbuhi pohon jati ini kondang sebagai sarang perampok dan begal sepertinya ia tidak merasa khawatir sedikitpun. Langkahnya tenang dengan memegang sebuah tongkat kayu hitam dengan ujungnya terikat sebuah labu kecil yang sepertinya berisi minuman bekal perjalanan.
Saat langkah kaki nya hampir menapaki tepi Alas Jati Caruban, tiba-tiba 8 orang berpakaian hitam dengan dandanan sangar dan wajah garang muncul dari balik semak belukar. Tak cuma mereka, 4 orang lainnya dengan pakaian serupa juga muncul di belakang lelaki tua itu. Jelas bahwa mereka tidak punya tujuan yang baik.
"Pak tua!! Serahkan harta benda mu kalau masih mau hidup!! ", teriak seorang lelaki bertubuh gempal dengan kepala botak tetapi memiliki jambang lebat dan kumis tebal. Sepertinya ia adalah pimpinan kelompok ini.
" Aku cuma seorang pertapa miskin yang sedang lewat. Aku tidak punya apa-apa. Tolong biarkan aku pergi dari sini.. ", ucap lelaki berpakaian pertapa itu dengan nada tenang seolah-olah tidak takut sedikitpun pada kelompok perampok itu.
" Aaahhh tidak peduli. Yang lewat sini harus menyerahkan hartanya! Jika menolak, aku Mustakawaja Si Perampok Kepala Baja akan membunuh mu sekarang juga! ", teriak si kepala botak sambil menyeringai kejam.
" Hong Wilaheng Sekareng Bawana Langgeng...
Maaf jika itu kemauan kalian, aku tidak bersedia. Aku hanya punya baju dan tongkat ku ini, tidak bisa jika harus di serahkan kepada kalian.. ", tolak lelaki berpakaian pertapa itu lembut namun tegas.
Mendengar jawaban itu, si kepala botak langsung geram bukan main. Baru kali ini dia di tolak permintaan nya dan jika hal ini dibiarkan saja maka anak buahnya pasti tidak akan menghormatinya lagi. Dan ini tidak boleh terjadi.
"Semuanya! Tangkap tua bangka itu dan rampas semua hartanya! "
Para lelaki berpakaian hitam itu langsung menerjang ke arah pertapa miskin ini dengan senjata masing-masing. Si pertapa tua mundur setengah langkah sembari memutar tongkatnya lalu mengayunkan nya ke salah satu penyerangnya.
Dhhiiieeesssshhhh...
Ooouuuugggghhhhh!!!
Anak buah si perampok kepala botak itu langsung terjungkal setelah tongkat si pertapa tua menghantam pinggangnya. Melihat hal ini, kawan-kawannya bergegas mengeroyok pertapa tua ini dengan segenap senjata yang mereka miliki.
Whhuuuugggg.. dhhaaaasshh dhhaaaasshh...
Aaaarrrggggghhhhhhh!!!
Lagi-lagi dua orang anggota perampok Alas Jati Caruban terjungkal usai tongkat si pertapa tua mengenai tubuh mereka. Sepertinya pertapa tua ini memang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi hingga ia dengan mudah menjatuhkan lawan dengan gerakan tongkat kayu hitamnya.
Melihat anak buahnya satu persatu tersungkur dengan tubuh memar dan mulut berdarah, si perampok kepala botak gusar setengah mati. Dia yang biasanya tinggal perintah saja, kali ini ingin turun tangan sendiri. Segera ia memutar senjata nya yang berupa gada dan langsung melompat ke arah pertapa tua itu sambil mengayunkan gada besi nya.
"Modar kowe pertapa busuk...!!!! Chhiiiyyyyyaaaaatttttttt..... "
Whhhuuuuuuuugggggg!
Saat yang berbahaya ini tiba-tiba sekelebat bayangan melesat cepat dan menahan gebukan gada Mustakawaja dengan satu tangannya. Mata Mustakawaja melebar kala melihat itu terjadi.
"Kauuu.... "
Belum sempat Mustakawaja menyelesaikan omongan nya, sosok lelaki bertubuh kekar yang tak lain adalah Mahesa Sura langsung melayangkan tendangan keras ke arah perut si kepala rampok itu dengan sekuat tenaga.
Dhhiiieeesssshhhh... Ooouuuugggghhhhh!!!
Mustakawaja menjerit tertahan dan terhuyung-huyung ke belakang sebelum berlutut dengan satu dengkul menyangga tubuh. Nafasnya megap-megap karena sakit luar biasa seperti baru di hantam balok kayu besar.
Bagaimana caranya Mahesa Sura sampai di tempat itu? Siang itu setelah memeriksa persiapan para prajurit nya yang sedang berlatih peperangan di padang rumput luas yang ada di barat Kampung Widas, ia ingin buang air besar dan bergegas menuju ke sungai kecil yang ada di tepi hutan. Baru selesai buang air besar, telinganya yang peka karena Ajian Indra Dewata mendengar suara pertarungan yang cukup jauh.
Tertarik dengan suara pertarungan ini, Mahesa Sura segera menggunakan kekuatan Kotang Antakusuma dan melesat ke udara. Dia mendarat di pucuk pohon waru hutan yang tumbuh menjulang tinggi. Dari sana ia melihat pertarungan antara si pertapa tua melawan keroyokan perampok Alas Jati Caruban yang terkenal kejam dan bengis.
Sebagai seorang pendekar meskipun ia belajar dan dibesarkan oleh Empat Tokoh Sesat Tak Terkalahkan, namun ia selalu dididik untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dia juga diwajibkan untuk menolong yang lemah dan teraniaya selama ia mampu untuk melakukannya. Maka ia segera melesat cepat kala Mustakawaja mulai beraksi dengan gada besinya.
"Bajingan!!! Kau sudah bosan hidup rupanya hah?! Berani-beraninya ikut campur dalam urusan Mustakawaja Si Perampok Kepala Baja!! ", teriak Mustakawaja sembari menahan rasa sakit pada perutnya.
" Kalian para perampok, tidak bisa dibiarkan merajalela. Bahkan seorang pertapa tua yang tidak punya apa-apa pun kalian ganggu. Manusia manusia rendah seperti kalian tidak patut dibiarkan hidup..!! ", balas Mahesa Sura tegas.
" Bocah tengik!! Kau cari mati.. !!! "
Setelah menggembor buas demikian, Mustakawaja segera berlari cepat ke arah Mahesa Sura sembari mengayunkan gada besi nya ke arah kepala Si Iblis Wulung.
Whhuuuugggg!
Mahesa Sura tidak berusaha untuk menghindari gebukan gada Mustakawaja, namun ia hanya tersenyum tipis setelah merapal mantra Ajian Gelap Ngampar. Cahaya putih kebiru-biruan seperti warna gelap ( petir dalam bahasa jawa ), mulai terpancar di telapak tangan kanan sang pendekar. Sepertinya ia tak ingin berlama-lama untuk menghadapi Mustakawaja Si Perampok Kepala Baja ini.
Seringai lebar yang terukir pada wajah Mustakawaja hilang seketika setelah gada yang ia arahkan ke kepala Mahesa Sura tiba-tiba berbelok arah seolah tak mau menyentuh kulit sang pendekar.
"Ba-bagaimana mungkin??! ", jerit Mustakawaja tidak sadar.
Belum hilang keterkejutan Mustakawaja, tapak tangan kanan Mahesa Sura yang sudah berselimut cahaya putih kebiru-biruan Ajian Gelap Ngampar langsung bergerak ke arah dada nya. Dan..
BLLLAAAAAAAMMMMMM!!!!
AAAAARRRRRGGGGGGHHHHHH...!!
Tubuh Mustakawaja terpental jauh ke belakang dan menghantamkan batang pohon jati besar di belakang nya. Kepala perampok yang sangat ditakuti ini langsung muntah darah sebelum diam dan tak bergerak lagi. Dada nya gosong seperti baru disambar petir dan inilah yang menjadi penyebab kematiannya.
Di saat yang bersamaan, anggota perampok terakhir tumbang usai tongkat pertapa tua ini menghajar punggungnya. Entah pingsan atau mati yang jelas seluruh anggota perampok Alas Jati Caruban telah ditundukkan.
Usai mengakhiri perlawanan musuhnya, pertapa tua itu segera berjalan mendekati Mahesa Sura yang baru menghabisi Mustakawaja.
"Terimakasih atas bantuan mu, Pendekar muda. Kalau kau tidak turun tangan, entah bagaimana nasib orang tua ini", ucap si pertapa tua ini dengan senyuman.
" Resi terlalu merendah. Andaikan saja saya tidak ikut campur, Resi juga akan mudah untuk mengalahkan mereka. Maafkan saya yang sudah mengganggu ", balas Mahesa Sura dengan sopan.
Pertapa tua itu manggut-manggut senang mendengar omongan Mahesa Sura. Tiba-tiba mata tua nya melihat sesuatu yang bersinar di punggung Mahesa Sura. Melihat itu, pertapa tua itu pun langsung tersenyum lebar.
'Akhirnya orang yang aku cari ketemu juga'
"Anak muda, aku Resi Agastya. Bolehkah aku tahu nama mu? ", tanya pertapa tua yang mengaku bernama Resi Agastya ini.
" Saya Mahesa Sura, Resi..
Sepertinya Resi bukan orang sini. Apakah ada tujuan hingga berjalan sendirian di hutan berbahaya seperti ini? ", Mahesa Sura menatap wajah tua Resi Agastya penuh perhatian.
" Yang ku cari sudah ketemu, Mahesa Sura. Ku lihat dari perputaran nasib di wajahmu, kau sedang terlibat dalam suatu perubahan arus sejarah. Apakah kau benar-benar yakin untuk memulai perang dengan paman mu sendiri? "
Pertanyaan Resi Agastya ini membuat Mahesa Sura terkejut bukan main. Ini adalah rahasia yang dijaga rapat-rapat oleh nya tetapi hari ini seorang pertapa tua yang entah darimana datangnya tiba-tiba saja menanyakan keyakinan hatinya untuk melawan Bhre Kertabhumi Dyah Sindupati. Benar-benar mengejutkan nya.
"Darimana Resi tahu masalah ini? ", tanya Mahesa Sura dengan kewaspadaan tinggi.
Resi Agastya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dengan tenang ia pun menjawab,
" Karena aku tahu apa yang akan terjadi.. "
dibikin series kolosal pasti bagus