Seorang wanita muda bernama Lydia dipaksa menikah dengan mafia kejam dan misterius, Luis Figo, setelah kakaknya menolak perjodohan itu. Semua orang mengira Lydia hanyalah gadis lemah lembut, penurut, dan polos, sehingga cocok dijadikan tumbal. Namun di balik wajah manis dan tutur katanya yang halus, Lydia menyimpan sisi gelap: ia adalah seorang ahli bela diri, peretas jenius, dan terbiasa memainkan senjata.
Di hari pernikahan, Luis Figo hanya menuntaskan akad lalu meninggalkan istrinya di sebuah rumah mewah, penuh pengawal dan pelayan. Tidak ada kasih sayang, hanya dinginnya status. Salah satu pelayan cantik yang terobsesi dengan Luis mulai menindas Lydia, menganggap sang nyonya hanyalah penghalang.
Namun, dunia tidak tahu siapa sebenarnya Lydia. Ia bisa menjadi wanita penurut di siang hari, tapi di malam hari menjelma sosok yang menakutkan. Saat rahasia itu perlahan terbongkar, hubungan antara Lydia dan luis yang bertopeng pun mulai berubah. Siapa sebenarnya pria di balik topeng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Pagi itu, vila keluarga Moretti terasa lengang meski cahaya matahari musim gugur masuk dengan lembut melalui jendela besar. Seakan semua orang yang biasanya penuh suara kini enggan berkata. Suasana berubah sejak kabar kepulangan Lydia dan Luis Figo mulai dibicarakan semalam. Tak ada yang ingin percaya, apalagi menerima kenyataan bahwa kebersamaan yang singkat ini harus segera berakhir.
Isabella duduk di meja makan dengan wajah muram. Matanya sembab, seolah semalaman ia habiskan untuk menangis. Alessandro berusaha menenangkan istrinya, meski sesekali ia menatap Lydia dengan sorot penuh sayang dan enggan melepas. Matteo, yang biasanya penuh energi, pagi itu lebih banyak diam. Pandangannya terus tertuju pada Lydia, seakan ingin menghafal setiap gerak geriknya agar tak lupa nanti.
Luis duduk di samping Lydia, tangannya sesekali menyentuh jari-jarinya, memberi kekuatan tanpa kata. Ia sendiri tampak muram, meski wajah dinginnya selalu berusaha menyamarkan. Tapi siapa pun yang cukup peka, akan tahu hatinya sama beratnya dengan semua orang.
“Benarkah harus besok pagi kalian berangkat?” suara Isabella parau memecah keheningan.
Lydia menelan ludah. “Ya, Mama… pesawat sudah datang dan sudah diatur. Dan… pekerjaanku di sana tidak bisa aku tinggalkan terlalu lama.”
Isabella menggeleng, air matanya jatuh lagi. “Aku baru saja merasa punya anak perempuan… dan kau harus pergi secepat ini.” Suaranya pecah, membuat Lydia ikut terisak.
“Ma, jangan begitu,” Lydia mencoba tersenyum meski matanya basah. “Aku tetap anak Mama. Jarak tidak bisa mengubah itu. Aku janji, aku akan sering kembali. Aku janji, kita akan bertemu lagi.”
Alessandro meraih bahu istrinya. “Isabella, kita harus kuat. Lydia memang harus kembali. Tapi kita sudah tahu, ikatan ini tidak akan hilang. Ia sudah menjadi keluarga kita selamanya.”
Matteo berdiri tiba-tiba, kursinya bergeser keras. “Aku benci perpisahan ini!” teriaknya, lalu buru-buru keluar dari ruang makan. Pintu kayu berderak keras menutup di belakangnya.
“Matteo…” Lydia ingin mengejarnya, tapi Luis menahan tangannya lembut. “Biarkan dulu. Dia butuh waktu menerima semua ini.”
----
Hari berjalan dengan lambat, seakan waktu enggan bergerak. Lydia mencoba menghabiskan hari bersama keluarga Moretti, duduk di taman, minum teh bersama Isabella, bercakap sebentar dengan Alessandro, dan akhirnya bisa tersenyum bersama Matteo setelah ia kembali dari kamar. Matteo berjanji akan menghubunginya setiap hari, seakan ingin memastikan jarak ribuan kilometer tak akan memisahkan mereka.
Malam pun tiba. Langit villa dipenuhi bintang, udara dingin menyelinap melalui celah balkon. Lydia berdiri di sana, mengenakan gaun tidur sederhana berwarna putih. Rambutnya tergerai, matanya memandang jauh ke langit, seakan mencari jawaban apakah ia benar-benar harus pergi.
Pintu kamarnya berderit pelan. Luis masuk, masih dengan kemeja hitam sederhana, wajahnya setengah dalam bayangan. Ia menutup pintu perlahan, lalu melangkah mendekat. “Kau tidak tidur?”
Lydia menoleh, tersenyum samar. “Bagaimana bisa aku tidur, saat besok aku harus meninggalkan semua ini?”
Luis berdiri di sampingnya, ikut menatap ke langit. Beberapa detik mereka terdiam, hanya angin yang berbicara. Lalu Lydia menoleh padanya. “Bolehkah aku melihatmu… tanpa topeng itu lagi Luis?”
Pria itu terdiam. Tangannya refleks menyentuh bagian wajah yang masih ditutupi kain tipis berwarna hitam. Luka lama, bekas pertempuran, yang selalu ia sembunyikan. Ia menghela napas berat. “Tidak banyak yang sanggup menatapnya.”
“Tapi aku ingin,” bisik Lydia lembut. “Aku ingin mengenalmu sepenuhnya. Tanpa rahasia. Tanpa dinding.”
Luis menatap matanya, dalam dan ragu. Tapi akhirnya, dengan gerakan pelan, ia melepas kain itu. Luka itu tampak garis panjang melintang di pipi kiri, bekas terbakar di rahang. Wajah yang tetap tampan, tapi ternoda oleh sejarah menyakitkan.
Lydia terdiam sejenak, bukan karena jijik atau takut, melainkan karena hatinya remuk membayangkan penderitaan yang pria ini lalui. Perlahan, ia mengangkat tangannya, menyentuh bekas luka itu dengan jemari lembut.
“Tidak ada yang perlu kau sembunyikan dariku,” katanya, suaranya bergetar. “Luka ini… adalah bagian darimu. Dan bagiku, kau tetap Luis yang sama. Bahkan lebih kuat, lebih berharga.”
Luis menutup mata, membiarkan sentuhan itu menenangkan hatinya. “Lydia…” suaranya serak. “Tidak pernah ada yang bisa menyentuh luka ini tanpa membuatku ingin lari. Tapi denganmu… aku merasa damai.”
Air mata Lydia jatuh. Ia mendekat, memeluknya erat. “Aku janji, aku akan menyembuhkan luka ini. Kalau bukan dengan obat dokter, maka dengan obat ajaibku.”
Luis mengernyit, sedikit tersenyum untuk pertama kalinya malam itu. “Obat ajaibmu?”
Lydia menatapnya sambil tersenyum di balik air matanya. “Cinta. Itu obat ajaibku. Dan aku tidak akan pernah berhenti memberikannya padamu.”
Hati Luis bergetar hebat. Ia membalas pelukannya, menunduk ke lehernya, menghirup wangi lembut yang membuatnya ingin melupakan dunia. “Kau… satu-satunya alasan aku ingin hidup lebih lama.”
Malam itu mereka berbicara lama tentang masa depan, tentang janji untuk bertemu lagi, tentang impian kecil yang ingin mereka raih bersama meski terpisah jarak.
Dan saat waktu kian larut, Luis akhirnya mencium kening Lydia, lembut tapi penuh janji. “Besok kau akan pergi… tapi ingat, tidak ada jarak yang bisa memisahkan kita.”
Lydia tersenyum dalam tangisnya. “Aku percaya.”
Fajar Perpisahan
Esok paginya, semua keluarga berkumpul di halaman vila. Mobil hitam sudah menunggu untuk membawa Lydia dan Luis ke bandara.
Isabella memeluk Lydia erat-erat. “Ingat janjimu. Jangan terlalu lama pergi. Hatiku akan selalu menunggumu.”
“Ya, Mama…” Lydia hampir tak bisa berkata, suaranya tersendat air mata.
Matteo menyalaminya, lalu memeluknya erat. “Kau harus sering menelpon. Jangan sampai aku marah padamu.”
Lydia mengangguk sambil tersenyum, meski air matanya jatuh lagi. “Tentu. Kau juga harus menjaga Mama dan Papa.”
Alessandro menepuk pundak Luis. “Jaga dia baik-baik. Aku titipkan anakku padamu.”
Luis hanya mengangguk dalam-dalam, sorot matanya tegas sekaligus penuh tanggung jawab.
Pintu mobil akhirnya tertutup. Dari balik kaca, Lydia melihat keluarga barunya berdiri di sana, melambaikan tangan dengan wajah penuh tangis. Hatinya nyaris runtuh. Tapi Luis menggenggam tangannya erat, menatapnya.
“Kita akan kembali,” ucapnya pelan. “Ini bukan akhir. Hanya jeda.”
Lydia menatapnya, lalu mengangguk. Air matanya menetes, tapi senyumnya terukir. “Ya… hanya jeda.”
Mobil itu perlahan melaju meninggalkan vila.
Dan di belakang, keluarga Moretti berdiri, dengan hati yang sama-sama berharap
bahwa janji untuk bertemu kembali bukan sekadar kata, melainkan takdir.
Bersambung
btw,nysek y kl prpisahn sm kluarga....brsa berat...😭😭😭
tp kl bnrn,aku orng prtma yg bkln kabooorrrr.....😁😁😁
bingung eike 🤔🤔🤔😁
lope2 sekebon buat author /Determined//Determined//Kiss//Kiss//Rose//Rose/
Smngtttt...😘😘😘