Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
[Slow Burn]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Antara Dosen dan Rahasia
Langit sudah sedikit gelap. Selina berjalan keluar dari kampusnya. Entah kenapa, hari ini dia ingin berjalan saja dibandingkan naik ojol—sekalian meringankan kepalanya yang berat.
Selina memikirkan bagaimana caranya mengungkit topik Leonhard kepada Baskara lagi. Dia rasa, Baskara cukup tahu tentang orang yang menguntitnya.
Dia begitu tenggelam dalam pikirannya sampai tidak sadar ada mobil sedan hitam yang melambat dari arah belakang. Klakson pendek membuatnya tersentak. Selina menoleh, dan pandangannya langsung menangkap sosok di balik kemudi.
Jendela mobilnya turun pelan. “Ngapain jalan sendirian malem-malem?” suaranya datar, tapi sorot matanya tajam—jelas menunjukkan kekhawatiran.
Selina hampir tersandung kakinya sendiri saat melihat Baskara dari balik jendela mobil. Tangannya ditempelkan di atas dada, menunjukkan rasa kagetnya.
“Bapak ngapain?”
“Kok nanya balik? Saya yang nanya kamu—kamu ngapain jalan sendirian udah mau gelap gini?” Mobil Baskara mendekat ke arahnya sehingga jarak mereka hanya terlisah dengan pintu mobil.
Selina sedikit membungkuk untuk melihat Baskara yang di dalam mobil.
“Ya saya mau pulang…”
Terdengar suara kunci mobil terbuka dari dalam. Baskara mendekatkan wajahnya ke jendela.
“Masuk. Saya antar.”
Selina mundur selangkah. “Oh? Gak udah repot-repot, Pak. Kosan saya dari sini deket kok,” tolaknya.
“Selina.” Nadanya berubah sedikit lebih berat. “Masuk. Saya antar. Kebetulan saja juga ke arah kosan kamu,” tambahnya.
Selina berpikir sejenak… kemudian dia teringat. Ini bisa dijadikan kesempatan untuk bertanya lebih tentang Leonhard. Dia tersenyum.
“Kalo gitu… saya numpang ya, Pak.”
Baskara mengangguk dan hendak keluar dari mobilnya tapi tertahan dengan panggiln Selina.
“Eh? Pak… ngapain keluar?” tanya Selina bingung. Baskara membalikkan badannya ke arah Selina.
“Bukain pintu…?”
Selina mengernyit. “Hah…” gumamanya pelan. “Gak usah, Pak. Saya bisa sendiri…” dia langsung membuka pintu mobil itu sebelum Baskara keluar. “Aman, kan?”
Baskara tertawa kecil. “Gak baik nolak bantuan,” komentarnya santai. Ia mencondongkan diri mau membantu Selina mengencangkan sabuk pengaman. Selina terdiam kaku ketika badan besar Baskara itu menutupi pandangannya.
“Yang sebelah sini emang sedikit macet,” ujar Baskara. Saat ini, Selina sesang menahan nafasnya—mereka terlalu dekat sampai-sampai dia bisa mencium aroma parfum dosennya itu.
“Uhm…”
Baskara menoleh ke arahnya, kini wajahnya sangat dekat. Dia bisa langsung menatap kornea dosennya di bawah remang lampu jalan yang masuk dari jendela. Mereka saling mengunci tatapan.
Dalam hatinya, Selina benar-benar bisa melihat Leonhard di Baskara dari jarak sedekat ini dan… rasanya aneh kalau hatinya merasakan hal yang sama ketika bersama dua kembaran ini. Tidak mungkin kan Selina jatuh cinta dengan dua orang sekaligus, parahnya mereka saudara kembar?
Mata Baskara turun dari matanya ke setiap sudut wajah gadis itu. Bayangan Selina memejamkan matanya saat mereka bersentuhan bibir, kembali melayang dalam pikiran. Tak lama, dia disadarkam oleh Selina yang bergerak tidak nyaman di tempat duduknya.
“Sorry…” ucap Baskara. Suaranya sedikit berangin. Selina hanya mengangguk pelan sambil menelan ludah.
“S—saya udah biasa kok pulang sendiri…” lirih Selina mencoba mencari topik untuk mengalihkan kecanggungan.
“Biasa sendiri bukan berarti harus selalu sendiri,” ucap Baskara akhirnya, suaranya rendah tapi tegas. Ia masih menatap Selina, membuat gadis itu nyaris lupa cara bernapas.
Selina berdeham kecil, buru-buru mengalihkan pandangan ke depan. “Tapi saya gak mau merepotkan, Pak.”
Baskara mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, cukup untuk membuat Selina bisa mencium samar aroma parfum kayu dan tembakau yang khas. “Kamu gak repotin, Selina.”
Sekilas, nada itu lebih mirip Leonhard daripada Baskara. Terlalu familiar. Terlalu hangat.
Selina refleks menoleh dan mereka lagi-lagi saling menatap—diam tapi intens. Untuk sepersekian detik, seolah waktu berhenti.
Baskara cepat-cepat mengalihkan pandangan, menekan rahangnya yang menegang. “Kita jalan.”
Selina cuma mengangguk pelan, tapi tangannya sedikit gemetar saat membetulkan sabuk pengaman. Wajahnya panas. Jantungnya seperti dipukul dari dalam dada.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, dia sadar—jarak antara Baskara dan Leonhard mungkin gak sejauh yang dia kira.
Selina memainkan jarinya, dilema untuk membuka topik baru, tapi dia juga sudah kemakan kepo.
“Uhm… pak? Bapak nawarin saya bareng karena udah tau ada yang stalking saya dari Leonhard, kan?” tanya Selina hati-hati. Dia melirik ke arah Baskara yang matanya masih fokus pada jalan taya.
“Hm?”
Selina menunggu, tapi sepertinya Baskara tidak berniat untuk melanjutkannya. Dia membuang nafas berat.
“Iya kan, Pak? Leonhard yang bilang kalau… ada yang ngingit saya?”
Baskara masih diam beberapa detik, seolah sedang memilih kata yang paling aman untuk keluar dari mulutnya. Sorot matanya tak lepas dari jalan, tapi jari-jarinya di kemudi sedikit menegang.
“Dia bilang gitu ke kamu?” akhirnya keluar juga suaranya—tenang, tapi terdengar seperti sedang menahan sesuatu di baliknya.
Selina mengangguk pelan. “Iya… dan dia nyuruh dua bodyguard ngawasin saya di kampus.”
Baskara menarik napas dalam-dalam. “Kamu takut?”
“Ya… bukan takut, sih. Cuma ngerasa gak nyaman aja. Maksud saya, kenapa segitunya? Emangnya saya siapa buat dia sampe harus dijagain?”
Baskara menoleh sebentar, cukup untuk melihat wajah Selina yang terlihat tulus bertanya. Ada sedikit getir di ujung senyumnya.
“Kamu tahu Leonhard,” katanya datar, tapi ada nada protektif di sana. “Kalau dia udah anggap seseorang bagian dari tanggung jawabnya, dia bakal ngelakuin apapun buat jagain. Kadang… berlebihan.”
Selina mengerutkan dahi. “Berlebihan?”
Baskara hanya menghela napas. “Kadang dia gak sadar, cara dia melindungi justru bikin orang ngerasa dikekang.”
Selina menatapnya lebih lama, sedikit heran dengan nada personal di ucapan itu. “Kedengeran kayak Bapak ngomong dari pengalaman pribadi.”
Baskara tersenyum miring, tapi matanya tetap lurus ke depan dan tidak menjawab lagi.
Keheningan kembali mengisi mobil. Tapi kali ini, udara di antara mereka berat—penuh pertanyaan yang tidak diucapkan.
“Jadi… bapak udah mau ngaju nih kalau Leonhard kembaran bapak?” goda Selina.
Baskara tertawa, “Kamu lagi jebak saya, ya?”
“Gak juga sih… tapi bapak sendiri yang narik umpan pancingan itu,” ujar Selina sambil tersenyum. Baskara melirik sekilas ke arahnya—walaupun sekilas, dia baru sadar kalau Selina punya senyum yang begitu manis.
“Tapi kalian beda aura banget sih… kalau Leonhard itu intimidating, kalau Bapak tuh…” lanjut Selina
Baskara melirik cepat ke arahnya. “Apa?”
Selina menggigit bibirnya sebentar. “Soothing. Kayak… bikin tenang.”
Kata-kata itu cukup untuk membuat Baskara terdiam beberapa detik. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa aneh—hangat tapi juga menegangkan.
“Kamu gak lagi nyogok saya lewat pujian demi nilai bagus, kan?” goda Baskara. Selina langsung menyerongkan duduknya ke arah Baskara.
“Loh! Nggak ya, Pak! Emang saya mahasiswa apaan… saya bisa dapet nilai straight A’s pake otak saya sendiri.”
Baskara tertawa lagi. “Siapa tahu, kamu punya maksud lain lagi…”
Selina menyenderkan punggungnya ke jok mobil, matanya fokus ke jalan yang sangat familiar.
“Saya masih tau diri kali, Pak.”
“Hmm,” gumam Baskara sambil menahan senyum, pandangannya kembali ke depan tapi nada suaranya terdengar menggoda. “Berarti kamu gak menutup kemungkinan?”
Selina mengerjap beberapa kali, baru sadar arah percakapan mulai nyerempet aneh. “Bapak ini ngelucu, ya?” ujarnya cepat, mencoba menutupi wajahnya yang sudah mulai memanas.
Baskara hanya terkekeh kecil, tapi senyumnya pelan-pelan luntur saat menatap Selina yang sekarang menunduk, memainkan ujung rambutnya. Ada sesuatu di situ—rasa bersalah, tapi juga godaan samar yang bikin dadanya berdebar.
“Selina?”
Dia langsung menoleh ketika namanya dipanggil.
“Kalau ada stalker lagi… dan kamu susah hubungi Leonhard—hubungi saya aja. Karena yang palinh dekat sama keberadaan kamu di kampus, ya cuma saya.”
Selina tidak berhenti berkedip. Dia buat kebaikam apa dalam masa lalunya, sampai-sampai dia bisa dilindungi seperti ini sama orang yang… mungkin punya kuasa besar di kota ini.
Pikiran Selina berputar cepat, tapi lidahnya kelu. Antara kaget, bingung, dan—kalau dia jujur—sedikit takut juga.
Baskara bukan tipe orang yang asal bicara. Jadi kalau dia sampai bilang begitu, berarti dia benar-benar akan melakukannya. Dan ide kalau seseorang seperti dia—seseorang dengan koneksi sekuat itu—siap turun tangan demi dirinya… rasanya gila.
“Kenapa?” tanyanya akhirnya, suaranya pelan tapi jelas. “Kenapa bapak juga ikut peduli?”
Baskara menatapnya lama. Tatapan yang tajam tapi nggak menyerang. “Karena saya tahu rasanya diburu,” jawabnya datar. “Dan saya nggak mau lihat orang lain ngalamin hal yang sama.”
Rasanya diburu? Apa maksudnya itu?
Selina menelan ludah. Ada sesuatu di balik kalimat itu—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar empati. Tapi dia nggak berani bertanya.
“Lagipula…” Baskara menambahkan sambil menarik napas panjang, “kalau kamu kenapa-kenapa di bawah tanggung jawab saya di kampus, nama saya juga yang kena.”
Selina nyaris tertawa kecil. “Oh, jadi itu alasannya?”
Baskara menatapnya lagi, satu sudut bibirnya terangkat. “Separuhnya.”
Suasana mendadak terasa aneh. Hening, tapi bukan hening yang canggung—lebih ke hening yang berat, seperti ada sesuatu di udara yang nggak bisa mereka ucapkan.
“Oke,” Selina akhirnya bicara lagi, menunduk sedikit. “Kalau gitu, noted. Tapi semoga saya nggak perlu nelpon bapak, ya.”
“Kalau kamu sampai nelpon,” suara Baskara turun satu nada, tenang tapi dalam, “itu artinya keadaan kamu udah nggak aman. Dan kalau itu terjadi, saya akan datang secepat mungkin.”
Selina menatapnya lama, mencoba mencari gurauan di balik nada serius itu. Tapi nggak ada. Dia benar-benar serius.
“Oh..!” seru Baskara, ada jeda sebentar sebelum dia melanjutkan. “Kalau dia berani nyentuh kamu… segera lapor ke saya.”
“Siapa? Stalker atau… Leonhard?”
Pertanyaan itu membuat Baskara bungkam. Ujung jarinya yang tadi santai di kemudi kini menegang, mengetuk setir pelan. Ia tidak menyangka Selina akan menanyakan hal itu. Dia pun bingung harus menjawab apa karena dia juga sadar dirinya sebagai Leonhard… sudah menyentuhnya lebih dari genggaman tangan.
“Kok diem?” tanya Selina membuyarkan pikirannya.
“Hah… oh—ya maksudnya stalker kamu itu. Tapi… kalau Leonhard nyentuh kamu, mungkin saya gak bisa ikut campur,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
“Maksud bapak?”
Hening. Baskara tidak memberi jawaban. Selina pun sudah lelah bertanya, jadi dia biarkan walaupun sangat mengganggu pikirannya.
Tak terasa mobil berhenti di depan gerbang kosan Selina. Hening mengisi kabin mobil, cuma suara mesin dan napas keduanya yang terdengar.
Selina menoleh pelan, menatapnya sebentar. “Thanks for the ride, Pak.”
Baskara mengangguk, suaranya rendah. “Always. Selama saya bisa, saya bakal pastiin kamu pulang aman.”
Kalimat itu sederhana, tapi berat di udara. Selina membalas tatapan itu dengan senyum kecil, lalu membuka pintu mobil.
Begitu pintu tertutup dan Selina mulai melangkah menjauh, Baskara masih diam di tempat. Tangannya menggenggam setir erat.
Sial, pikirnya.
Setiap kali dia menatap gadis itu, garis antara Leonhard dan Baskara makin kabur.