Seorang pria bernama Lorenzo Irsyadul, umur 25 tahun hidup seorang diri setelah ibunya hilang tanpa jejak dan dianggap tiada. Tak mempunyai ayah, tak mempunyai adik laki-laki, tak mempunyai adik perempuan, tak mempunyai kakak perempuan, tak mempunyai kakak laki-laki, tak mempunyai kerabat, dan hanya mempunyai sosok ibu pekerja keras yang melupakan segalanya dan hanya fokus merawat dirinya saja.
Apa yang terjadi kepadanya setelah ibunya hilang dan dianggap tiada?
Apa yang terjadi kepada kehidupannya yang sendiri tanpa sosok ibu yang selalu bersamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A Giraldin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18: Arrive
“Woaahh,” pukau nya kagum karena melihat rumah bordil tempat Violet bekerja.
Terlihat sepuluh rumah dengan nama yang berbeda-beda. Empat di kanan, empat di kiri, 1 di depan, dan 1 lagi di belakang. Ukuran yang sama, sama-sama atap trapesium genteng beton, tembok semen warna kuning, jingga, ungu, hijau, biru, merah, abu, emas, silver, dan obsidian menyala.
Semua itu terlihat indah karena semua bangunan dikasih permata putih terang yang membuat sepuluh bangunan tersebut terasa hidup. Tanah, rerumputan, ladang bunga, peternakan, dan pertanian tersebar di bagian bawah tempat ini.
Tengah dan atas selain bangunan adalah gerbang hitam besar dan panjang serta tembok beton putih bening berbentuk lingkaran dengan jeruji-jeruji tajam di bagian atas yang membuat tak ada siapapun yang bisa melarikan diri dengan memanjat tembok.
Sekeliling sebelum ke tempat utama, bagian sisi melingkar sejauh 5 meter adalah sungai jernih dengan tumbuhan laut dan ikan laut tersebar sepanjang sungai melingkar.
Jembatan kayu di satu sisi atau sisi yang ada di depan mereka berdua sekarang. Melihat Lorenzo yang terpukau akan bangunan yang ada di depannya membuat Violet langsung berkata-kata. “Indah sekali bukan? Tapi, itu hanya bagian luar saja.”
Lorenzo berhenti terpukau dan tersenyum kecil serta langsung berbicara sendiri di dalam hatinya setelah melihat bagian paling atas semua bangunan tersebut. “Taman bermain, kebun binatang, akuarium, restoran, hotel, penjara, stasiun kereta, pantai, ladang bunga, dan labirin... lambang... ternyata seperti itu ya. Entah apa yang diinginkan Liliana sampai membuatku berpikir aku harus menjelajahi satu persatu tempat tersebut. Ternyata... jawabannya sepertinya, ia hanya ingin aku menemukan inti dari 10 tempat di komputer itu.”
Bayangan Liliana muncul di pikirannya dan ia tersenyum lebar sambil melanjutkan pembicaraannya di dalam hatinya. “Hebat sekali, julukan Komandan sepertinya bukan abal-abal ya! Aku semakin bersemangat lho, Liliana. Tubuh dan pikiran Widlie yang mengatakannya. Sebagai jiwanya, aku juga... ikutan bersemangat.”
“Oyyy!!” teriaknya kecil ke telinga kanannya sambil membalikkan badan ke arah tersebut. Karena daritadi tak didengar, ia ngambek lagi dan langsung menjewer telinganya.
Saat dijewer, Lorenzo kesakitan dan langsung teriak kecil. “Adududuhh... sakitt...” ia langsung membalikkan badan ke arahnya dan jeweran nya pun dilepaskan oleh Violet. “Kenapa kau menjewer telingaku?” tanyanya dengan mengepal tangan kanannya ke atas juga ekspresi kesal jelas di wajahnya ia keluarkan saat menatapnya.
“Kau memikirkan apa tadi? Kau dengar ucapanku tidak?” tanyanya kepadanya dengan kedua tangannya memegang perutnya dan disilangkan.
Lorenzo langsung mengatakannya dengan mengembuskan napasnya terlebih dahulu. “Tempat yang indah bukan? Itu luarnya dan dalamnya tidak. Kalau menurutku, ya, yang kau katakan itu benar. Jadi, kenapa?”
Jawaban dan pertanyaan langsung ia balas dan jawab. “Kau mendengarkan juga ternyata. Yahh... aku tidak peduli apa yang kau pikirkan sih. Lalu, kalau dalamnya buruk, apakah kau ingin membantuku?”
Pertanyaannya dengan menjawab pertanyaannya dan membalas jawabannya langsung ia jawab. “Tentu saja. tapi, aku hanya seorang pelanggan dan juga... kalau kau tidak menyukai tempat ini...” dirinya membalikkan badannya ke arah depan tempat ini. “Apa yang harus ku lakukan? Mengeluarkan mu dari sini atau apa?”
Ia tertawa kecil. “Fufufu, kau ini orang baik ya, Paman Lorenzo!” pujinya.
Wajah Lorenzo langsung memerah hebat dan balik bertanya kepadanya. “Be-berisik...” sedikit malu-malu sampai menundukkan kepalanya bahkan asap putih keluar dari dalam kepalanya. Ia yang melihatnya tertawa kecil dan langsung melanjutkan pembicaraannya. “Panggil aku Lorenzo saja. Kata “Paman” aneh menurutku. Lalu, kalau kau ingin keluar dari tempat ini, aku akan membantumu. Terakhir... apa yang harus ku lakukan?”
Ia tersenyum lebar. “Aku hanya seorang pelacur. Tujuanku adalah membahagiakan pelanggan dengan tubuhku. Jadi...” ia mengeluarkan kunci untuk membuka gerbang yang dikunci dari saku kanannya. Pintu terbuka dan kunci ia masukkan kembali ke tempat semula. “Yang harus kau lakukan hanya menjadi pelanggan yang baik saja.”
Lorenzo yang mendengarnya langsung tersenyum kecil. “Begitu ya. Kalau begitu, ayo masuk ke dalam!” ajaknya dengan posisi sejajar dengannya.
Violet hanya bisa tersenyum lebar dan berjalan menuju ke dalam bangunan depan mereka berdua. “Ayo.”
Keduanya pun menuju bagian dalam bangunan yang bernama Playground atau taman bermain. Pintu yang dibuka oleh Violet langsung terlihat jelas oleh mata Lorenzo. Lorenzo yang melihat bagian dalamnya hanya bisa terpukau saja akan desain ruangan ini.
Barang-barang antik warna emas dan silver tersebar di sisi kanan depan. Bagian tengah depan adalah tangga naik ke atas yang ke depannya lagi juga adalah tangga naik ke atas dan diakhiri dengan satu lagi yang bukan menuju ruangan-ruangan para pelacur dan pelanggan bersenang-senang, melainkan... atap.
Warna coklat untuk tembok kayu dan warna merah untuk pintu keluar-masuk terlihat sangat indah. Lampu-lampu mewah di bagian tengah lantai satu ini juga terlihat sangat indah dan cantik.
Tak ada satupun hal yang di sini yang tidak enak dipandang atau semuanya enak dipandang. Mungkin... hanya suara-suara desahan dan gairah saja yang bisa mengganggu kenyamanan para pelanggan yang salah masuk ruangan.
Ruangan yang kedap suara adalah kelebihan tempat ini. Lantai beton warna coklatnya kayu jati halus serta putihnya atap juga membuat bangunan ini enak dipandang juga keren sekali.
Lorenzo langsung bertanya kepadanya dengan membalikkan kepalanya ke arah kiri. “Violet, apa yang akan terjadi kalau aku salah masuk ruangan?”
“Mungkin kau akan kaget. Desahan, gairah, dari pria dan wanita yang melakukan sek* mungkin kau takut melihatnya. Tapi tenang saja, asal kau mengikuti ku, kau akan baik-baik saja.”
Ucapannya yang tersenyum kecil jahat membuatnya sedikit ragu. Tapi, ia sudah membulatkan tekad untuk membantunya. Jadi, ia akan mengikuti ke manapun Violet pergi.
Mereka berdua berjalan bersama menuju ruangan lantai tiga sebelum lantai empat yang merupakan kamar dari nomor 11-20 yang berarti lantai satu adalah kamar nomor 1-10. Saat berada di lantai tersebut, Violet dan Lorenzo berdiri di depan pintu kamar nomor 13.
“Buka ruangan ini, Lorenzo!” perintahnya kepadanya dengan tersenyum kecil jahat.
Ia yang merasa sepertinya itu hanya senyum kecil jahat biasa, membukanya tanpa ragu. “Aku mengerti, aku akan membukanya.” Ia membuka pintu dan... “Eehh...” menutupnya kembali dengan cepat.
Lorenzo menatapnya dengan mata merah marah. “Oyy! Ini ruangan yang salah bukan?”
Ia yang melihatnya hanya bisa tersenyum lebar. “Ahahaha, sepertinya aku salah ruangan. Sekarang coba kau buka ruangan kamar nomor 15.”
Ekspresi Lorenzo langsung kembali seperti semula. “Aku tidak akan melihat lagi tubuh telanjang dengan pria di atas dan wanita di bawah bukan?” tanyanya kepadanya.
“Ya, aku jamin itu.”
Senyumnya yang sama membuatnya malah membuka kamar nomor 14. “Hehehe,” tawa kecilnya sambil menutup kedua matanya. “Aku tidak akan tertipu la__gi.” Ia langsung menutupnya dengan cepat kembali.
Keringat dingin dengan wajah memerah hebat mengucur dari wajah dan lehernya. “Kamar nomor 15, benar bukan?”
“Tentu saja. coba saja! aku tidak bohong kali ini kok!”
Pernyataan membela dirinya langsung ia percaya dan ia langsung membuka pintu ruangan tersebut tanpa adanya sedikit keraguan darinya. “Oke, waktunya kita buka__”
“Aaaa,” kejutnya akan apa yang ia lihat di depannya. “Ruangan normal. Atap putih, kayu coklat, tirai putih yang tertutup dan tak terbuka, futon putih untuk sek*, tak ada orang di dalam sini, oke, waktunya masuk ke dalam.”
Ia berjalan menuju ke dalam tempat ini dengan diikuti oleh Violet yang sekalian menutup ruangan nomor 15 ini. Keduanya sekarang ada di dalam sini.
Mereka berdua dengan kondisi ruangan tertutup tanpa dikunci dengan bagian samping kiri jendela terbuka lebar menuju balkon yang dilindungi jeruji besi, dan keduanya duduk sopan saling berhadapan, wajah masing-masing... memerah hebat tak karuan.
Bersambung...
Tulisanmu bagus, Loh... semoga sukses ya...
ayo, Beb @Vebi Gusriyeni @Latifa Andriani