"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Mantu Rahasia
Rama Kesal
“Sayang, bukannya aku mikir yang aneh-aneh, tapi kamu tuh menggoda banget, sampai-sampai susah buat nahan pikiran sendiri,” ucap Rama sambil melirik Ayu dengan pandangan penuh arti.
Dulu, Rama mungkin nggak akan berani ngelakuin ini.
Tapi sekarang beda.
Kekuatan yang dia punya bikin Rama jadi jauh lebih percaya diri.
Namanya juga cowok, biasanya rasa percaya diri itu dateng barengan sama kekuatan.
“Dasar mesum, sekalipun aku kasih ‘itu’, kamu juga nggak bakal kuat buat gerak, jadi berhenti sok jago deh,” timpal Ayu sambil memutar mata.
Tapi Rama malah narik Ayu masuk ke pelukannya.
“Eh! Kamu sakit loh! Jangan maksa, nanti lukamu makin parah,” kata Ayu Buru-buru.
“Gapapa, sakit dikit yang penting manis,” jawab Rama sambil nyengir.
“Kamu tuh… gombal banget.”
Ayu langsung merah padam, nggak nyangka Rama bisa seluwes itu.
Rama jadi seneng sendiri, baru kali ini dia lihat Ayu bisa semalu ini.
Dia elus wajah Ayu pelan, kayak lagi megang sesuatu yang berharga banget, lalu pelan-pelan dia mendekat.
Ayu bisa ngerasain detak jantungnya makin kenceng. Matanya mulai terpejam, nungguin momen spesial itu…
Tok tok tok!
Pas lagi krusial, tiba-tiba ada yang ngetok pintu.
“Rama! Bukain pintunya!”
Suara galak Yuni kedengeran dari luar.
Rama dan Ayu langsung kaget. Ayu buru-buru bangkit buat buka pintu.
Begitu pintu dibuka, Yuni langsung masuk dengan muka merah padam dan… bawa golok?!
Dia langsung nyamperin Rama sambil ngangkat goloknya tinggi-tinggi.
“Yuni! Kamu ngapain? Jangan main gila!” teriak Ayu, langsung menghadang.
“Kak! Aku udah telepon ke rumah sakit, dan ternyata Heri masuk UGD! Dia belum sadar dan kakinya hancur! Semua gara-gara cowok ini! Hari ini…”
“Cukup!” potong Ayu tegas. “Itu Heri yang duluan nangkep aku, ngancam Rama, bahkan mau mukul dan bunuh dia. Bahkan aku juga dia ancam. Rama cuma ngelindungin aku. Dia nggak bunuh Heri, itu udah baik banget!”
“Jadi kamu bela pecundang ini? Kamu nggak mikirin perasaan Adik iparmu?”
Yuni melotot ke Ayu dengan penuh amarah.
Ayu terdiam sesaat.
Perkataan Yuni tadi… aneh banget.
“Yuni, kamu denger nggak sih barusan? Heri yang mulai duluan,” ucap Ayu, masih menahan emosinya.
“Aku nggak peduli!” bentak Yuni. “Nyawa cowok ini nggak ada harganya dibanding pacarku! Kamu lihat pacarku sekarang di rumah sakit, kamu masih bisa diem aja? Kamu kakak macam apa?!”
“Keluar.”
Suara Ayu jadi dingin. “Rama itu suamiku. Dan kamu dateng-dateng bawa golok mau ngelukain suamiku, kamu pernah mikirin perasaanku nggak?! Keluar. Selama aku di sini, nggak ada yang bisa seenaknya nindas Rama.”
“Kamu…”
Yuni terdiam. Baru kali ini dia lihat Ayu segitu marahnya. Ini pertama kalinya.
Ayu memang udah muak. Dia bisa ngerasa sendiri betapa nggak adilnya perlakuan Yuni.
Dan ini bukan yang pertama buat Rama. Selama setahun terakhir, dia sering diperlakukan kayak gitu.
“Keluar sekarang juga.”
Ayu mendorong Yuni keluar.
Yuni yang sudah kepalang emosi cuma melotot tajam ke arah Rama dan bilang dengan nada penuh ancaman,
“Tunggu aja, mending lo berdoa Heri nggak kenapa-kenapa. Kalau sampai terjadi apa-apa… lo bakal ngerasain sendiri akibatnya.”
Habis bilang gitu, dia langsung pergi sambil ngebanting pintu.
Brak!
Ayu juga ikut menutup pintu kamar dengan keras. Matanya merah karena marah.
Rama langsung nyamperin dan ngomong lembut,
“Udah, Sayang. Gak apa-apa kok. Kamu istirahat dulu aja ya.”
“Tapi nyebelin banget, kan? Lihat dia bawa-bawa golok gitu, gak mikir sama sekali,” ucap Ayu sambil masih kesal, matanya masih berkaca-kaca.
Rama cuma angkat bahu dan senyum kecil.
“Marah percuma, Sayang. Mau aku balas? Mau aku maki-maki? Bisa aja, tapi tetap aja dia adik kamu.”
Ayu langsung diam.
Rama lalu menatap dalam ke arah Ayu dan berkata pelan,
“Kamu tahu nggak… udah setahun lebih aku tahan semuanya. Tapi selama kamu nggak mandang aku kayak orang asing, selama kamu masih di sisiku, dunia bisa hina aku semau mereka… aku masih kuat karena, di mataku, cuma kamu yang penting.”
Ayu nggak bisa nahan air matanya lagi.
Dia langsung meluk Rama erat-erat.
“Aku nggak nyangka kamu peduli segininya… Untung aku nggak pernah bener-bener ninggalin kamu.”
Di luar kamar, Yuni udah mulai ngelapor ke Ayah dan Ibunya Pak Sidik dan Bu Heni.
“Ayah! Ibu! Ayu udah nggak waras! Dia bela-belaan sama cowok gak jelas itu! Heri sekarang masih di rumah sakit, dan dia malah belain orang yang bikin Heri cacat!”
Bu Heni mengepalkan tangannya.
“Ayu benar-benar keterlaluan… Masa sampai segitunya buat cowok pecundang?”
Yuni mulai nangis sesenggukan, “Bu… aku harus gimana? Kalau Heri tahu aku nggak bisa bela dia, bisa-bisa dia minta putus. Aku… aku bingung…”
Pak Sidik menghela napas panjang dan suaranya berubah jadi serius.
“Begini aja. Ayah bakal suruh Ayu bawa Rama ke rumah sakit sekarang juga buat minta maaf langsung ke Heri.”
“Tapi Yah, mereka pasti nggak akan nurut!”
Wajah Yuni udah merah karena kesal.
Pak Sidik langsung berdiri dan berkata tegas,
“Kalau omonganku udah nggak ada harganya di rumah ini, mereka berdua gak usah tinggal di sini lagi!”
Dia pun langsung naik ke atas dan mengetuk pintu kamar dengan cepat.
Ayu yang buka pintu, kaget lihat ayahnya berdiri dengan wajah serius.
“Ayah? Ada apa?”
“Kamu, sekarang juga bawa Rama ke rumah sakit. Minta maaf sama Heri di depan matanya,” perintah Pak Sidik.
Ayu menggigit bibirnya.
“Ayah, Heri yang duluan jahat. Dia nyulik aku, dia ngancam Rama, bahkan mau mukul kami. Kenapa kita yang harus minta maaf? Justru dia yang harusnya minta maaf!”
“Kamu nggak ngerti apa-apa!” bentak Pak Sidik. “Kamu pikir ini soal benar atau salah? Heri itu orang penting di Jaya Real Estate! Bisa jadi CEO-nya itu ayahnya! Kalau kita sampai nyakitin dia, Keluarga Kita bisa habis! Kamu ngerti?!”
“Aku nggak peduli! Aku dan Rama nggak salah, dan kami nggak akan minta maaf!”
Plaak!
Tamparan keras mendarat di pipi Ayu. Lima bekas jari langsung muncul di wajahnya.
Ayu cuma berdiri diam, matanya basah. Tapi dia tetap keras kepala.
“Ayah… Ayah bahkan mukul aku… cuma karena aku nggak mau nurut.”
“Ayu!” Suara Pak Sidik semakin dingin. “Kamu udah gak hormat sama ayahmu sendiri? Kamu pikir kamu bisa seenaknya membangkang?!”
Saat itu, dari dalam kamar, Rama yang tadi diam langsung melangkah cepat.
Dia berdiri di pintu, lalu merangkul Ayu, melindunginya di belakang punggungnya.
Wajah Rama kini serius.
“Ayah…” ucap Rama pelan, tapi suaranya tegas. “Ayah nyuruh Ayu minta maaf ke orang brengsek kayak Heri cuma karena mikirin untung di masa depan? Ada pepatah, ‘laki-laki sejati cari uang dengan cara yang benar.’ Uang yang didapat dari ngerendahin diri sendiri… apa bener-bener bisa bikin hidup nyaman?”
“Kamu diam! Kamu nggak ngerti apa-apa, bukan tempatmu ngomong!” bentak Pak Sidik tajam.
Rama menatap Pak Sidik tanpa gentar, lalu suaranya merendah tapi jelas:
“Tamparan yang tadi Ayah kasih ke Ayu… cuma buat itu aja, aku setuju. Ayo kita ke rumah sakit sekarang.”
Ayu yang dari tadi masih pegang pipinya, kaget dan langsung menatap Rama.
Tapi Rama menatap balik dengan pandangan yakin, seolah bilang, percaya aja sama aku.
Pak Sidik menyilangkan tangan dan berkata dingin,
“Bagus. Tapi denger ya, kalau kamu gagal damai sama Heri, jangan pernah balik ke rumah ini.”
Rama cuma mengangguk ringan.
“Ayu, ayo. Kita beresin ini.”
Ayu menarik napas panjang, matanya masih berkaca-kaca.
“Baik… Aku ikut kamu.”
“Aku ikut juga!” seru Yuni cepat. “Aku mau pastikan kalian nggak bohong sama Ayah.”
Rama melirik Yuni sebentar, lalu menjawab dingin, “Terserah. Tunjukin jalannya.”
Dalam hati, Rama udah nggak bisa nahan rasa kesalnya. Ayu udah sampai ditampar gara-gara cowok sebrengsek Heri, dan orang tua keluarga ini malah kayak nggak bisa bedain mana yang bener mana yang salah.
Kalau ini terus berlanjut, Rama nggak keberatan sama sekali buat ngeluarin Heri dari dunia ini... untuk selamanya.