Nadira Elvarani yakin hidup pahitnya akan berakhir setelah menerima lamaran Galendra, lelaki mapan yang memberinya harapan baru.
Tapi segalanya berubah ketika ia terlibat skandal dengan Rakha Mahendra—anak bos yang diam-diam menginginkannya—menghancurkan semua rencana indah itu.
Di antara cinta, obsesi, dan rahasia, Nadira harus memilih: hati atau masa depan yang sudah dirancang rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon itsclairbae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 — Aku Masih Di Sini
Nadira duduk memandang laut, membiarkan punggungnya bersandar pada dada Rakha. Ciuman mereka telah berakhir, tetapi jejak hangatnya masih tertinggal dalam pelukan yang kini membungkusnya dengan tenang.
“Rakha…” panggil Nadira lembut, sambil mendongak menatap wajah lelaki itu di belakangnya.
“Hm? Kenapa?” sahut Rakha, membalas tatapannya.
“Kamu tidak mau pulang?” tanya Nadira pelan. Mereka masih berada cukup jauh dari tempat tinggal masing-masing, dan malam mulai menyelimuti pantai itu.
Nadira berada di tempat itu karena sengaja pergi, menjauh dari Galendra—dan dari pernikahan yang kian mendekat. Ia butuh jarak. Butuh ruang untuk bernapas dan menata hati yang mulai berantakan.
Namun Rakha? Seharusnya ia tidak berada di sini. Masih banyak tanggung jawab yang menantinya di perusahaan, terlebih sebagai calon pemimpin masa depan di keluarga Mahendra.
“Kita akan pulang bersama setelah kamu siap,” ucap Rakha sambil tersenyum dan menatap wajah Nadira, lalu membelainya lembut.
Nadira terdiam, menatap wajah lelaki itu dalam-dalam. Ia memang berniat tinggal di sana setidaknya sampai hari pernikahannya. Bahkan, dalam hati kecilnya, ia tidak benar-benar ingin kembali. Namun Rakha… ia memiliki tanggung jawab besar yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
“Pak Mahendra akan kerepotan kalau aku pergi dan kamu juga tidak ada di tempat,” ucap Nadira pelan, mengingatkan bahwa Tuan Mahendra tidak bisa menjalankan semuanya sendirian.
"Pulang bersamamu, atau tidak sama sekali," putus Rakha tegas. Ia tidak ingin dibujuk, tidak ingin diyakinkan. Ia hanya akan pulang jika Nadira bersedia pulang bersamanya.
Ia tidak mungkin meninggalkan Nadira di sini, di kota orang lain, dalam keadaan yang kacau. Meskipun kini Nadira terlihat lebih tenang, tidak ada yang tahu seperti apa isi hatinya sebenarnya.
“Tapi... aku tidak bisa pulang sekarang,” bisik Nadira lirih, nyaris seperti permohonan agar Rakha pulang.
Ia tidak bisa pulang. Namun Rakha seharusnya kembali. Ia memiliki tanggung jawab besar demi kelangsungan dan kesuksesan perusahaan. Nadira tidak ingin Rakha bersikap semaunya hanya karena statusnya sebagai anak pemilik perusahaan.
“Aku tidak berniat memaksamu untuk pulang,” jawab Rakha lembut, namun mantap.
Ia tahu Nadira membutuhkan waktu untuk menghadapi semuanya, dan ia akan tetap berada di sana, menemani Nadira hingga perempuan itu siap untuk pulang.
Ia hanya mengatakan akan pulang jika Nadira pulang, tanpa bermaksud mendesak atau memaksa agar Nadira ikut pulang bersamanya sekarang juga.
“Tapi, Rakha…”
“Aku tidak bisa pulang. Aku tidak akan meninggalkan kamu... dan calon anak kita,” ucap Rakha, menyela dengan suara pelan sambil mengusap perut Nadira yang masih rata.
Ia memang belum sepenuhnya yakin. Nadira juga belum memeriksakan diri ke dokter dan belum ada kepastian apa pun. Tapi instingnya kuat. Terlebih, Nadira sudah beberapa hari terlambat datang bulan.
“Calon anak? Maksud kamu apa?” tanya Nadira, suaranya bergetar, terkejut oleh pernyataan Rakha yang begitu tiba-tiba. Ia menatap Rakha lekat-lekat, mencoba menangkap maksud dari kata-kata yang baru saja keluar dari bibir lelaki itu.
Rakha mengusap perut Nadira dengan lembut, seolah mencoba memberi kenyamanan meski hatinya sendiri penuh kecemasan. “Kamu belum datang bulan, kan?” tanya Rakha pelan, lebih seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan.
Nadira terdiam. Seketika, dunia seakan terhenti sejenak. Tubuhnya terasa kaku, dan pikirannya berputar kencang mencoba menangkap informasi yang baru saja disampaikan Rakha. Ia baru sadar, betapa ia telah melewatkan satu siklus bulan yang biasanya selalu tepat waktu.
“Tidak mungkin,” ucap Nadira refleks sambil menjauh dari Rakha, terkejut oleh kenyataan bahwa ia belum juga datang bulan sampai hari ini.
Tangannya terarah ke perutnya sendiri, seolah ingin memastikan—benarkah ada sesuatu yang sedang tumbuh di dalam sana?
Rakha menyadari ketidaksiapan yang terlukis jelas di wajah Nadira, dan rasa bersalah segera menyelimutinya. Ia seharusnya tidak melakukan semua ini sejak awal—jika saja ia tahu bahwa perasaannya pada Nadira ternyata mendapat balasan.
“Aku salah, Nadira... Aku takut kehilanganmu, sampai-sampai aku kehilangan kendali. Kalau aku bisa ulang waktu, aku lebih pilih sakit karena kamu memilih orang lain... daripada harus menyakitimu seperti ini.” Ucap Rakha penuh penyesalan.
Ia terlalu egois. Terlalu ingin segala sesuatunya berjalan sesuai dengan keinginannya. Bahkan, ia memberikan obat perangsang ke dalam minuman Nadira agar mereka bisa berhubungan badan dan menumbuhkan anak di dalam rahim perempuan itu. Ia tahu semua itu salah, dan ia menyesalinya.
"Aku terima kalau kamu marah, dan aku benar-benar minta maaf untuk semuanya. Aku terkesan merendahkanmu dengan kelakuanku, aku sadar," ucap Rakha tanpa henti meminta maaf.
Nadira menghela napas panjang. Ia tidak tahu apakah dirinya harus marah atau pasrah. Ia tidak pernah menginginkan kejadian ini, tetapi jika benar dirinya hamil, maka ia tengah mengandung anak dari lelaki yang dicintainya. Dan seharusnya, itu bukan hal yang buruk.
Cara anak itu hadir memang salah—lahir dari keegoisan sang ayah yang tidak rela melihat ibu dari anaknya dimiliki lelaki lain. Namun, anak itu sendiri tidak layak disalahkan.
“Aku tahu cara kamu memperlakukanku salah, Rakha... Tapi aku sudah tidak masalah dengan itu. Aku juga salah, karena membiarkan semuanya terjadi tanpa bisa menolak. Tapi kalau benar ada kehidupan kecil di sini—” Nadira menyentuh perutnya pelan, “—aku akan menjaganya. Bukan karena aku harus, tapi karena aku mau.”
Ia kemudian menyentuh wajah lelaki di depannya, membelainya, dan meyakinkan bahwa dirinya tidak mempermasalahkan apa yang telah terjadi.
"Aku janji akan bertanggung jawab dan menikahimu jika memang kamu hamil. Bahkan jika tidak pun, aku tetap siap menikah dan menjadikanmu pendamping hidupku," ucap Rakha pelan, masih dengan rasa takut bahwa Nadira akan marah tentang kemungkinan kehamilan itu.
"Iya, Rakha," ucap Nadira, lalu kembali menyandarkan kepalanya—kali ini pada bahu lelaki itu dengan posisi mereka yang saling berhadapan.
***
Karena malam semakin larut dan tidak mungkin mereka bermalam di pantai, Rakha mengajak Nadira mencari penginapan sementara yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka berada sebelumnya.
Awalnya, mereka berencana memesan satu kamar untuk masing-masing, tetapi ternyata hanya tersisa satu kamar kosong, dan mereka pun terpaksa memesan kamar itu untuk berdua.
"Kamu tidur di kasur, aku akan tidur di sofa," ucap Rakha saat mereka masuk ke dalam kamar hotel yang mereka pesan.
Nadira tampak ragu. Ia merasa tidak enak hati membiarkan anak bosnya tidur di sofa, sementara dirinya beristirahat di atas kasur. Meskipun sekarang hubungan mereka bukan lagi sebatas karyawan dan anak atasan, melainkan pasangan yang saling mencintai, Nadira tetap tidak tega melakukannya.
"Kasurnya cukup luas. Kita bisa tidur di sisi masing-masing," ujar Nadira, memberikan saran yang dapat diterima Rakha tanpa menimbulkan rasa tidak nyaman.
“Kamu yakin mau sekasur sama lelaki yang pernah kehilangan kendali?” tanya Rakha, menatap mata Nadira penuh makna.
Nadira menarik napas perlahan. “Aku percaya kamu sekarang bukan lelaki yang sama seperti malam itu. Kalau kamu masih orang yang sama... kamu tidak akan nanya duluan.”