Eclipse, organisasi dunia bawah yang bergerak di bidang farmasi gelap. Sering kali melakukan uji coba demi mendapatkan obat atau vaksin terbaik versi mereka.
Pada awal tahun 2025, pimpinan Eclipse mulai menggila. Dia menargetkan vaksin yang bisa menolak penuaan dan kematian. Sialnya, vaksin yang ditargetkan justru gagal dan menjadi virus mematikan. Sedikit saja bisa membunuh jutaan manusia dalam sekejap.
Hubungan internal Eclipse pun makin memanas. Sebagian anggota serakah dan berniat menjual virus tersebut. Sebagian lain memilih melumpuhkan dengan alasan kemanusiaan. Waktu mereka hanya lima puluh hari sebelum virus itu berevolusi.
Reyver Brox, salah satu anggota Eclipse yang melawan keserakahan tim. Rela bertaruh nyawa demi keselamatan banyak manusia. Namun, di titik akhir perjuangan, ia justru dikhianati oleh orang yang paling dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Sementara itu, Reyver masih berkeliaran di bandara. Mengatur waktu dengan tepat agar Carlo percaya bahwa dirinya memang melakukan penerbangan ke Negara Y.
Mobil sudah dititipkan sejak beberapa menit yang lalu. Kalaupun setelah ini tujuannya adalah Eclipse, yang tentu jaraknya cukup jauh dari bandara, tetapi Reyver tak akan mengambil resiko dengan menggunakan mobil tersebut. Bisa saja nanti Carlo berhasil melacaknya dari sana.
"Sekarang waktunya," batin Reyver saat melihat jam digital di layar ponselnya.
Sebentar lagi pesawat jurusan Negara Y sudah lepas landas, dan sekarang pula saatnya dia mematikan ponsel tersebut. Reyver akan mengecoh Carlo agar lelaki itu tidak sadar dengan rencana barunya.
Tanpa banyak kata, Reyver yang saat ini sedang berada di kamar mandi bandara, membanting ponsel tersebut dengan keras. Sampai layarnya retak parah. Namun, itu belum cukup. Reyver kembali membantingnya dengan lebih keras, berulang kali, hingga remuk menjadi kepingan-kepingan kecil. Lantas Reyver mengumpulkannya dan memasukkannya dalam lubang toilet.
"Kau tidak akan bisa melacakku lagi, Carlo!" ujar Reyver bersamaan dengan suara air toilet. Lantas bibir Reyver tersenyum puas saat melihat kepingan ponsel barusan lenyap tak tersisa.
Kemudian, Reyver mengenakan masker yang tadi sempat disimpan dalam saku, sebelum dirinya keluar dari ruangan tersebut.
Orang-orang masih lalu-lalang di bandara, sangat bising dan terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Di antara mereka, Reyver berjalan cepat sambil memasukkan kedua tangan dalam saku celana.
Tidak ada ponsel, tidak ada uang, sedangkan tujuannya adalah Eclipse yang jaraknya ratusan kilo. Tampaknya Reyver harus sedikit gila kali ini.
_______
"Cari laki-laki sialan itu sampai ketemu! Jika tidak ... nyawa kalian yang menjadi taruhannya!"
Carlo memberikan perintah dengan tegas dan penuh ancaman. Anak buahnya sampai bergidik ngeri karena rasanya kematian sudah di depan mata. Bagaimana tidak, Carlo tidak pernah main-main dengan ucapannya. Sementara tugas mereka adalah mencari Reyver, sebuah perintah yang cukup sulit.
"Baik, Tuan. Kami akan menemukan Tuan Reyver untuk Anda."
Tak ada pilihan, tugas sudah diperintahkan. Mau tidak mau mereka pun harus menurut dan menjalankannya dengan baik.
Setelah mereka pergi, Carlo mengamuk seorang diri. Ia merasa dipermainkan oleh Reyver. Bagaimana mungkin ponsel yang sudah dilacak bisa hilang jejaknya.
Posisi terakhir ada di bandara. Awalnya Carlo berpikir mungkin ponsel tersebut habis baterai atau memang sengaja dimatikan karena akan melakukan penerbangan.
Namun, setelah tiga jam lebih menunggu, tak ada lagi tanda-tanda titik lokasi Reyver. Padahal, pesawat yang membawanya sudah landing di Negara Y, dan seharusnya Reyver sudah berada di sana, pun sudah menyalakan kembali ponselnya.
'Saya tidak melihat Reyver di bandara Negara Y.'
Satu pesan yang Carlo terima beberapa saat yang lalu, dari mata-mata yang dia tempatkan di bandara Negara Y. Sebuah hal yang kemudian membuat Carlo berang dan tidak tenang.
"Tuan, apa mungkin orang kita yang kurang teliti dan tidak melihat keberadaan Reyver di bandara?" ujar Robert, yang kala itu setia menemani sang tuan.
Namun, Carlo menggeleng. "Jika Reyver sudah tiba di Negara Y, pasti titik lokasinya akan terlacak. Tapi ini tidak."
"Mungkin Reyver belum sempat menyalakan ponselnya."
"Apa menurutmu itu masuk akal? Reyver sangat tidak bisa lepas dari Martha. Begitu dia turun pesawat, pasti akan langsung menghubungi Martha. Kecuali ...."
Ucapan Carlo terhenti. Lantas dia menatap Robert yang saat itu juga menatap ke arahnya. Meski tak ada kata yang terucap, tetapi masing-masing menyimpan pemikiran yang sama.
"Panggilkan Martha!" perintah Carlo.
Robert tak banyak bertanya. Ia langsung menghubungi Martha dan memintanya untuk segera datang ke ruangan Carlo.
Tak lebih dari lima menit, wanita itu pun tiba. Langkahnya penuh percaya diri ketika memasuki ruangan, sama sekali tidak menyiratkan sesuatu yang mencurigakan, terlebih yang mengarah pada pengkhianatan.
"Anda memanggil saya, Tuan?" Martha bicara sambil membungkuk sopan di hadapan Carlo.
Pria itu tak langsung menyahut. Namun, terlebih dahulu bangkit dari kursi kebesarannya. Lantas melangkah mengitari Martha yang masih berdiri dengan kepala tertunduk.
"Di mana Reyver?" Carlo bertanya tanpa basa-basi.
"Saya tidak tahu, Tuan. Saya juga tidak mendapat kabar darinya."
Carlo menatap sinis. Lalu menyulut sebatang rokok dan kembali duduk di kursinya. Martha masih berdiri di tempat semula, tanpa bicara, pun tanpa bergerak. Ia pun sedang kacau saat ini, pasalnya berulang kali gagal menghubungi Reyver. Padahal jadwal landing sudah sejak setengah jam yang lalu.
"Kau tahu kan apa konsekuensinya jika berani mengkhianatiku?"
Mendengar pertanyaan Carlo, Martha hanya berani mengangguk pelan. Jangankan mengucap sepatah kata, menelan ludah saja rasanya sangat sulit.
Sementara itu, di sela-sela isapan rokoknya Carlo berkali-kali memperhatikan Martha. Bukan untuk menikmati wajah cantiknya, melainkan untuk membaca kebohongannya.
Namun sial, Carlo tidak menemukan itu. Gestur wajah Martha justru menampilkan kejujuran, tanpa kegugupan ataupun keraguan.
Bersambung...