Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Berubah?
Setelah kejadian di kantor, Ana berpikir semalaman. Ia tahu bahwa bekerja di luar akan menyulitkannya untuk menjaga Dave. Ia juga sadar bahwa Lusi dan Lisa masih terus berusaha menyingkirkan Dave untuk menguasai semua harta kekayaan Dave.
Pagi harinya, saat sarapan di meja makan, Dave kembali menyinggung soal pekerjaan yang diinginkan Ana.
"Jadi, kau sudah memutuskan mau bekerja di mana?" tanyanya sambil menyeruput teh.
Ana yang sedang menyendok buburnya menatap Dave sekilas sebelum menjawab santai, "Aku tidak jadi bekerja."
Dave berhenti mengaduk kopinya. Tatapannya langsung menusuk ke arah Ana.
"Kenapa?"
Ana meletakkan sendoknya dan tersenyum tipis. "Karena bekerja itu melelahkan. Aku lebih suka meminta uang darimu."
Hening sejenak.
Dave menatap Ana dalam diam, ekspresinya mulai berubah dingin.
"Begitu," gumamnya.
Ana menunggu reaksi lebih lanjut dari pria itu, tapi Dave justru melanjutkan sarapannya tanpa berkata apa-apa.
Namun, sikapnya sepanjang hari ini berubah.
Dave terlihat lebih dingin dari biasanya. Ia tidak berbicara banyak dengan Ana, bahkan terkesan mengabaikannya.
Saat makan siang, Dave sengaja makan lebih dulu tanpa menunggu Ana. Saat sore hari, Dave hanya memberi perintah singkat kepada Pak Wen untuk memberikan uang belanja secukupnya kepada Ana.
Ana menyadari perubahan ini, tapi ia lebih memilih diam. Dalam hati, ia tahu Dave sekarang menganggapnya perempuan matre.
Tapi lebih baik seperti ini—biarkan Dave salah paham.
Yang penting, Ana bisa tetap berada di sisinya dan mengawasi agar Lusi dan Lisa tidak berbuat macam-macam.
____
Setelah kejadian pagi tadi, hubungan Ana dan Dave menjadi lebih dingin. Dave tidak banyak bicara, hanya mengamati Ana dengan tatapan yang sulit ditebak.
Di malam hari, Ana membawa makan malam ke kamar Dave.
"Letakkan saja di meja," ucap Dave tanpa melihat ke arah Ana.
Ana menurut. Ia menaruh nampan di atas meja, lalu berbalik untuk keluar.
Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara Dave terdengar.
"Berapa uang yang kau butuhkan?"
Ana berhenti. Keningnya mengernyit.
Ia menoleh, menatap Dave dengan bingung.
"Apa maksudmu?"
Dave mendesah, meletakkan buku yang sedang ia baca, lalu menatap Ana dengan ekspresi dingin.
"Bukankah kau lebih suka meminta uang dariku? Jadi, katakan saja berapa yang kau mau."
Ana mengepalkan tangannya. Tuduhan itu benar-benar menyakitinya, tapi ia berusaha untuk tetap tenang.
"Aku tidak butuh apa pun," jawab Ana singkat.
Dave menatap Ana dengan sinis. "Benarkah? Atau kau hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk meminta jumlah yang lebih besar?"
Ana mengalihkan pandangannya, menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
"Kalau kau tidak ingin makan, aku akan pergi."
Ia berbalik, berjalan keluar dengan langkah cepat.
Dave tidak mencoba menahannya.
Namun, begitu Ana keluar dan menutup pintu, Dave menghela napas panjang. Entah kenapa, hatinya merasa tidak nyaman.
Ada sesuatu dalam ekspresi Ana tadi yang terasa janggal—seperti kesedihan yang dalam, tetapi Ana memilih untuk menyembunyikannya. Dave ingin mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin ia mencoba melupakan, semakin hatinya terasa gelisah.
___
Setelah insiden malam itu, Ana memilih untuk tidak banyak bicara dengan Dave. Ia tetap menjalankan tugasnya, menyiapkan makanan, membantu Dave, dan memastikan semuanya berjalan dengan baik. Namun, ada perbedaan yang terasa—Ana kini lebih menjaga jarak.
Pagi harinya, Ana mengantarkan sarapan ke kamar karena entah kenapa pagi ini Dave tidak keluar dari kamar.
"Aku taruh di meja," katanya singkat, lalu berbalik pergi.
Biasanya, Ana akan memastikan Dave makan, bahkan terkadang berdebat dengannya.
Tapi kali ini, ia tidak menunggu jawaban Dave dan langsung keluar.
Dave menatap punggung Ana dengan kening berkerut. Ada sesuatu yang berubah. Bukannya merasa senang karena Ana tidak lagi mengganggunya, Dave justru merasa tidak nyaman.
Dan seharian itu, Dave memperhatikan Ana secara diam-diam.
Gadis itu tetap tersenyum saat berbicara dengan Pak Wen atau para pelayan, tetapi sikapnya kepada Dave terasa jauh lebih dingin daripada sebelumnya.
Saat makan siang, Ana tidak lagi duduk bersamanya.
Saat sore, Ana sibuk mengurus bonekanya di ruang tamu, seolah lebih memilih menghabiskan waktu dengan boneka dibanding bersamanya.
Malam harinya, ketika Ana datang untuk membawakan makan malam, Dave akhirnya tidak bisa menahan diri.
"Ana."
Ana berhenti, menoleh dengan ekspresi datar. "Ya?"
Dave menatapnya sejenak. Lalu, tanpa sadar ia bertanya,
"Kenapa kau berubah?"
Ana mengerjapkan mata, lalu tersenyum kecil. "Berubah bagaimana?"
Dave menggertakkan giginya. "Kenapa gadis ini berpura-pura tidak tahu?" geram Dave dalam hati.
"Kau tahu maksudku."
Ana menatap Dave dengan tenang, lalu berkata, "Aku hanya melakukan apa yang kau inginkan."
"Apa maksudmu?" tanya Dave dengan nada lebih tajam.
"Bukankah kau bilang aku hanya menginginkan uangmu?" Ana tersenyum kecil, tetapi senyumnya tidak mencapai matanya. "Jadi, aku memutuskan untuk tidak terlalu banyak bicara atau mengganggumu."
Dave terdiam, untuk pertama kalinya, ia merasa telah melakukan kesalahan. Tetapi, ia terlalu gengsi untuk mengakuinya.
Dan ketika malam hari tiba, pintu gerbang rumah Dave kembali diketuk.
Pak Wen yang bertugas di depan melihat Ratna dan Rani berdiri di sana, ekspresi mereka tidak ramah.
"Kami ingin bertemu Ana," ucap Ratna dengan nada memaksa.
Pak Wen tetap berdiri tegak di depan gerbang, tidak membuka pintu.
"Nona Ana sudah tidur, silakan datang besok pagi," jawabnya sopan dan beralasan.
"Kami keluarganya! Apa salahnya kalau kami menemuinya?" Rani mendengus kesal. "Buka pintunya sekarang!"
Pak Wen tetap tidak bergeming. "Maaf, tetapi Tuan Dave sudah memberi perintah untuk tidak mengizinkan siapa pun masuk tanpa persetujuannya."
Ratna mengepalkan tangan, wajahnya merah padam. "Sialan! Ana benar-benar sudah lupa diri! Dia tidak mau membantu keluarganya sendiri!"
Pak Wen tetap tenang. "Silakan pulang, Nyonya."
Ratna dan Rani tidak punya pilihan selain pergi dengan wajah kesal.
Setelah memastikan mereka benar-benar pergi, Pak Wen masuk ke dalam rumah dan menemui Dave yang sedang duduk di ruang kerja.
"Tuan, Ratna dan Rani datang lagi," lapornya.
Dave yang sedang membaca dokumen berhenti sejenak.
Ia mendesah pelan, tetapi tidak menunjukkan reaksi berlebihan.
"Mereka sudah pergi?" tanyanya datar.
"Ya, saya tidak mengizinkan mereka masuk."
Dave mengangguk. "Baik."
Pak Wen ragu sejenak, lalu bertanya, "Apakah saya perlu memberi tahu Nona Ana?"
Dave menatapnya sebentar, lalu menggeleng.
"Tidak perlu. Jangan bangunkan dia."
Pak Wen mengerti, lalu pamit meninggalkan ruangan. Setelah Pak Wen pergi, Dave menyandarkan tubuhnya di kursi.
Tatapannya menerawang.
Haruskah Ana tahu tentang kedatangan mereka?
Tapi, kalau Ana tahu, dia pasti akan merasa bersalah lagi dan berusaha membantu keluarganya yang terus-menerus memanfaatkannya. Dave tidak ingin itu terjadi. Jadi, untuk saat ini, ia lebih memilih diam.
eh.... ada lagi kak othor, dave kan lumpuh kenapa tiba² jalan😭
kalo aku jadi ana, pasti aku akan minta uang bulanan. taat boleh tapi kesejahteraan diri harus prioritas🤭🤣