"Ka-kakak mau apa?"
"Sudah kubilang, jaga sikapmu! Sekarang, jangan salahkan aku kalau aku harus memberimu pelajaran!"
Tak pernah terlintas dalam pikiran Nayla Zahira (17 tahun) bahwa dia akan menikah di usia belia, apalagi saat masih duduk di bangku SMA. Tapi apa daya, ketika sang kakek yang sedang terbaring sakit tiba-tiba memintanya menikah dengan pria pilihannya? Lelaki itu bernama Rayyan Alvaro Mahendra (25 tahun), seseorang yang sama sekali asing bagi Nayla. Yang lebih mengejutkan, Rayyan adalah guru baru di sekolahnya.
Lalu bagaimana kisah mereka akan berjalan? Mungkinkah perasaan itu tumbuh di antara mereka seiring waktu berjalan? Tak seorang pun tahu jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Cuma Kesal
Nayla masuk ke kamar yang biasa ia tempati saat berada di rumah kakeknya. Ia duduk di tepi tempat tidur dan menatap jendela, di mana matahari mulai turun perlahan ke ufuk barat.
Air matanya mulai mengalir saat ia mengingat Rayyan tengah berjalan bersama seorang wanita cantik yang seumuran dengan suaminya itu. Bahkan, mungkin sekarang mereka sedang makan berdua.
Nayla menarik napas panjang. Hatinya terasa nyeri, membuatnya memejamkan mata demi menahan sesak yang tiba-tiba hadir di dadanya.
Ia pun tak mengerti perasaan apa yang sedang ia alami. Kenapa hatinya bisa terasa sangat perih hanya karena melihat Rayyan bersama perempuan lain? Ia pun belum yakin bahwa ia benar-benar menyukai suaminya.
"Apa jangan-jangan gue udah mulai ada rasa sama Kak Rayyan?" bisik Nayla dalam hati sambil meletakkan telapak tangan di dadanya.
Namun, cepat-cepat ia menggeleng kuat. "Ah gak mungkin. Gak mungkin gue bisa suka sama Kak Rayyan secepat ini," tolak Nayla, "mungkin gue cuma kesal aja lihat dia jalan sama cewek lain, sedangkan gue gak boleh dekat sama cowok manapun."
Ia mengangguk sendiri, berusaha meyakinkan bahwa rasa itu hanyalah kesal. Nayla kemudian menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang dan membaringkan tubuhnya.
Ia memeluk guling erat-erat, memejamkan mata, dan memutuskan untuk tidur. Mungkin dengan tidur, perasaannya bisa lebih tenang.
Nayla sudah terbangun sejak tadi. Namun, perasaannya tetap sama seperti semalam. Ia masih kesal saat mengingat kejadian sore itu.
Untuk mengalihkan pikirannya, Nayla menyibukkan diri dengan membantu pekerjaan rumah, seperti sekarang ia sedang memasak makan malam untuk dirinya, serta kakek dan neneknya.
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara Herman dari ruang depan.
Mendengar itu, Nayla langsung mematikan kompor dan melangkah keluar dapur.
"Wa'alaikumussalam," jawabnya sambil menghampiri dan menyalami kakeknya.
Herman mengernyit heran melihat kehadiran cucu kesayangannya. "Loh Nayla kamu di sini Nduk?" tanyanya.
Nayla menampilkan senyum tipis. "Iya Kek. Aku kangen sama Kakek dan Nenek, jadi aku main ke sini," ujarnya.
"Memangnya Rayyan gak sibuk, kamu bisa ke sini?" tanya Herman lagi kini duduk di sofa.
Nayla menyusul duduk di sebelahnya. "Kak Rayyan lagi banyak kerjaan Kek. Makanya aku ke sini sendiri," jawabnya setenang mungkin. Ia berharap kakeknya tidak menyadari sesuatu.
Herman memperhatikan wajah Nayla beberapa saat, lalu bertanya lagi, "Tapi kamu tadi dianter Rayyan ke sini kan?"
Nayla terdiam, pikirannya sibuk mencari jawaban aman. Ia tak bisa sembarangan menjawab agar tidak ketahuan.
"Itu Kek, aku..."
"Nayla!" Suara Rana memanggil tiba-tiba dari belakang. Tak lama kemudian, ia muncul menghampiri mereka.
Nayla menghela napas lega. Ia selamat dari pertanyaan kakeknya.
"Kakek sudah pulang?" tanya Rana pada suaminya.
"Iya baru saja," jawab Hartawan.
Rana lalu menatap Nayla. "Nayla masakannya sudah siap?"
"Kamu masak sendiri ta Nduk?" tanya Hartawan.
"Iya Kek. Tinggal disajikan di meja makan," jawab Nayla.
"Sudah lama Kakek gak makan masakan kamu," ujar Herman tersenyum.
"Kalau begitu, Kakek ganti baju dulu. Setelah itu kita makan malam bareng," ucap Rana.
Herman mengangguk. "Kakek bersih-bersih dulu ya, Nayla."
Nayla mengangguk. Setelah kakeknya pergi, ia menoleh ke neneknya dan berbisik, "Terima kasih, Nek."
Rana tersenyum. "Iya sama-sama."
Nayla tersenyum senang, lalu kembali ke dapur. Rana pun menyusul Herman ke kamar.
Malam mulai larut jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Rayyan mengemudi mobilnya menuju rumah.
Setelah bertemu Rena, ia tak langsung pulang. Ia kembali ke kantor untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Tadi ia meninggalkan beberapa berkas penting usai rapat dengan klien.
Sesampainya di halaman rumah, Rayyan mengernyit. Rumah masih gelap tak ada satu lampu pun yang menyala.
Padahal ia sudah menyuruh teknisi memperbaiki listrik siang tadi. Bahkan orang itu bilang semuanya sudah selesai.
Rayyan mengambil ponselnya dari dashboard dan segera menelepon orang tersebut.
"Halo Pak," suara dari seberang menyapa.
"Apa kamu yakin listrik di rumah saya sudah diperbaiki?" tanya Rayyan langsung.
"Sudah Pak. Saya cek sendiri siangnya."
Rayyan terdiam. "Apa Nayla belum pulang?" batinnya.
"Pak?" panggil orang di seberang. "Ada kendala lagi?"
Rayyan tersadar dan menggeleng. "Tidak saya hanya memastikan."
"Baik Pak."
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Rayyan menutup telepon. Ia turun dari mobil dan berjalan ke teras. Saat memutar knop pintu masih terkunci.
Ia menghela napas berat. "Padahal siang tadi dia janji pulang cepat, tapi sekarang malah belum pulang!" ucapnya jengkel.
Rayyan masuk ke rumah dan menyalakan semua lampu. Ia melempar dasi ke sofa dengan kasar.
Rasa jengkel makin memuncak. "Apa jangan-jangan dia pergi sama mantan pacarnya?" desisnya. Rahangnya mengeras. "Kalau benar gue gak akan maafin!"
Rayyan segera mencari kontak Nayla dan meneleponnya. Nada sambung terdengar, tapi tak dijawab. Ia menunggu dengan sabar, tapi hingga beberapa kali panggilan, tetap tak diangkat. Emosinya memuncak. Ia melempar ponselnya ke dinding.
"Kemana kamu Nayla!" bentaknya frustasi.
Nayla baru saja selesai menata makanan di meja makan. Ia meminta Bi Ijah memanggil kakek dan neneknya. Sementara itu ia ke kamar untuk berganti baju.
Saat baru saja menutup pintu kamarnya, nada dering ponselnya terdengar. Nayla menghampiri nakas dan melihat layar ponsel yang menyala. Nama Rayyan terpampang di sana.
Nayla menghela napas kesal dan meletakkan kembali ponselnya, memilih untuk tidak mengangkat.
Tak lama, panggilan terhenti. Ia kemudian mengambil pakaian dan masuk ke kamar mandi untuk bersiap. Setelah itu, ia turun dan bergabung makan malam bersama orang-orang yang ia cintai.
Pagi pun datang. Nayla yang terbiasa bangun pagi sudah menyiapkan sarapan.
"Selamat pagi Nayla," sapa Rana tiba-tiba muncul di dapur.
"Nenek! Kagetin aja," ucap Nayla kaget.
"Kamu lagi mikirin apa sih, sampai gak dengar Nenek masuk?" tanya Rana tersenyum.
Nayla ikut tersenyum. "Gak kok Nek gak mikirin apa-apa."
"Tapi Nenek perhatiin dari kemarin kamu sering melamun. Ada masalah sama Rayyan?" tanya Rana.
Nayla menggeleng. "Gak Nek. Cuma lagi banyak tugas sekolah aja."
Rana mendesah pelan. "Jangan bohong sama Nenek ya!"
"Aku gak bohong Nek." Nayla tetap berusaha menutupi.
"Hah! Kamu mirip sekali sama bundamu. Waktu ada masalah sama Aditama, dia juga begitu," cerita Rana.
Nayla tersenyum mendengarnya.
"Dalam hubungan pasti ada masa sulit. Tapi harus disikapi dengan kepala dingin. Kalau tidak masalah makin rumit."
Nayla mengangguk perlahan.
"Kalau kamu butuh teman cerita, Nenek selalu siap mendengar," lanjut Rana.
"Lagian sekarang Nenek mau panggil Kakek buat sarapan bareng ya."
Nayla mengangguk. Mereka lalu sarapan bersama. Tapi ponsel Nayla berdering saat itu.
"Siapa itu Nayla ?" tanya Hartawan.
"Aku gak tau Kek. Gak ada namanya."
Setelah dering berhenti, mereka kembali makan. Tapi ponsel kembali berbunyi.
"Angkat aja Nayla. Siapa tau penting," kata Hartawan.
"Baik Kek." Nayla mengangkat panggilan.
"Hallo assalamu'alaikum. Ini siapa ya?"
"Wa’alaikumussalam. Ini Nayla kan?"
"Iya. Ada apa ya?"
"Bisa kita bertemu? Ada hal penting soal suami kamu."
Deg!
Jantung Nayla berdegup keras. Siapa orang ini yang tau soal pernikahannya?
"Boleh tau kamu siapa?"
"Kamu gak perlu tau. Aku hanya ingin bicara soal Rayyan."
Nayla terdiam lalu menjawab, "Baik. Dimana kita bertemu?"
"Nanti saya Sherlock."
"Baik."
Telepon terputus. Nayla memandang ponselnya.
"Siapa Nayla?" tanya Rana curiga.
Nayla menggeleng. "Aku gak tau Nek."
"Kalau begitu, kenapa dia tau nomormu?"
"Aku juga gak ngerti Nek."
"Ada perlu apa dia?"
"Dia ngajak ketemuan, katanya penting soal Kak Rayyan," jawab Nayla pelan.
Rana terdiam sementara Herman juga ikut memperhatikan, wajahnya mulai tampak serius.