“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Segalanya Berbeda
Riri melambaikan tangan pada Ani. Senyum liciknya kian jelas saat ia berbisik pelan,
“Besok… kita buat Kevia tampak buruk di depan semua orang.”
Riri membisikkan rencananya. Nada suaranya penuh kepastian, seolah rencana itu sudah ia susun matang-matang sejak lama.
Mata Ani membelalak. Ia terperanjat, tapi kilatan antusias segera menggantikan ragu. “Ri! Itu… itu jahat. Tapi—” senyum puas tersungging di bibirnya, “—aku suka. Kalau itu ditemukan di tasnya…”
“Boom,” potong Riri dengan suara setajam belati. Senyum liciknya semakin mengerikan. “Semua akan melihat sisi lain Kevia. Semua akan tahu kalau dia gak sesuci yang mereka kira. Bayangkan wajahnya… saat dituduh. Dia akan jatuh. Dan kita…” ia menahan tawa, “…kita yang akan tertawa.”
Hening sejenak. Angin sore berhembus, meniup dedaunan kering yang beterbangan di sekitar kaki mereka. Ani bisa membayangkan jelas bagaimana Kevia dipermalukan di depan kelas.
Ia menoleh pada Riri, matanya kini berbinar sama liciknya. “Oke. Kita harus pastikan semuanya berjalan mulus. Kita gak boleh sampai ketahuan.”
Senyum puas Riri kian lebar. “Tenang saja, Ani. Semua sudah ada di genggamanku.”
Sorot matanya berkilat. Tajam, kejam, penuh kebencian, seakan sudah membayangkan wajah Kevia yang hancur berantakan di hadapan banyak orang.
Di sisi lain...
Mesin meraung dan motor melesat menembus sore, Kevia mendadak terhempas ke dalam kenangan tiga tahun lalu.
Di atas motor lain, bersama pria yang jauh lebih dewasa.
"Kenapa aku kembali teringat padanya…?"
Wajah lelaki itu masih jelas, senyum hangat, aura teduh. Saat itu, ia memeluk pinggangnya tanpa ragu, tidak canggung, tidak ada jarak. Hanya rasa aman. Nyaman.
Sekarang, bersama Kevin, segalanya berbeda. Jarak mereka terasa kaku. Udara di sekitarnya pun asing. Kevia memilih berpegangan pada besi handgrip di belakang jok, jemarinya kaku, enggan meraih pinggang Kevin.
Kevin merasakannya. Rahangnya mengeras, kecewa, tapi juga tertantang. "Kalau gadis lain, pasti sudah meluk aku. Tapi dia… berbeda. Terlalu berbeda. Dan anehnya, aku suka." Senyum samar tersungging di balik helmnya.
Sedang Kevia, di balik helmnya, matanya basah. Bukan oleh angin sore, melainkan oleh rindu pada kehangatan yang hanya pernah ia kecap sebentar.
"Kenapa aku merindukan seseorang yang cuma kutemui dua kali? Bahkan namanya pun aku tak tahu..."
Motor melaju, dua hati sama-sama berdegup, tapi dengan irama yang berbeda.
Motor berhenti di depan rumah besar dengan pagar tinggi.
“Ini rumahmu?” tanya Kevin.
Kevia menggeleng, sorot matanya muram menatap bangunan itu. Bukan rumah, lebih mirip penjara. Penjara yang memisahkan ia dan ibunya dari ayahnya.
“Bukan,” jawabnya pendek.
“Lalu ini rumah siapa?” Kevin mencoba lagi.
Kevia menunduk, menahan banyak kata yang tak ingin keluar. “Aku masuk dulu. Terima kasih sudah ngantar. Maaf, aku gak bisa ajak kamu masuk. Karena ini… bukan rumahku.” Suaranya getir, lalu ia berbalik, tak menjawab pertanyaan Kevin.
Ia melangkah menjauh. Suara motor kembali meraung. Tapi Kevin sempat berteriak, “Besok aku jemput! Kita ke sekolah bareng.”
Kevia spontan berbalik. “Eh, gak usah—”
Terlambat. Motor Kevin sudah melesat, meninggalkan debu dan aroma bensin terbakar.
“Ish… orang itu. Semaunya sendiri,” gumam Kevia, menghela napas kasar.
Baru lima menit ia masuk rumah, suara Riri menggema, memenuhi ruang tengah bak sirine pengganggu kedamaian.
“Kevia! Kevia! Cepat buatkan jus buah!”
Nada perintahnya nyaring, menusuk telinga.
Dari dapur, terdengar jawaban lirih, penuh pasrah.
“Iya.”
Di kamarnya, Kemala hanya bisa menunduk, tubuhnya gemetar menahan getir. Sudah tiga tahun ia terpaksa membiarkan putrinya diperlakukan seperti pembantu di rumah ini. Tiga tahun pula ia hidup bagai burung dalam sangkar, terpisah dari sang suami meski satu atap. Mereka hanya bisa saling melihat dari jauh, tanpa kuasa untuk mendekat, apalagi melindungi.
Tiba-tiba—
PRANG!
Suara kaca pecah menggelegar dari ruang tengah, membuat Kemala terperanjat.
“Minuman apa ini?!” teriak Riri, suaranya melengking penuh amarah. “Hanya membuat minuman saja kau tak becus! Apa gunanya kau di sini?! Cepat buat lagi!”
Sorot matanya menusuk bagai belati saat menatap Kevia, seakan ingin merobek jantung gadis itu.
Kevia hanya menunduk, menarik napas panjang. Ia sudah hafal pola ini.
"Ini pasti karena Kevin," batinnya getir.
Di kamar, Kemala menggenggam jemari erat-erat hingga sendinya memutih. Hatinya remuk, melihat putri yang dilahirkannya diperlakukan sedemikian rupa, sementara dirinya terkekang, tak bisa turun tangan.
Tak lama, Kevia kembali datang membawa segelas jus baru. Tangannya gemetar, tapi ia tetap menyajikannya dengan tenang.
Riri meraih gelas itu, meneguk seteguk, lalu bibirnya kembali melengkung dingin. “Apa kau ingin membuatku diabetes, hah?!”
PRANG!
Gelas itu dilempar lagi, pecah berantakan di lantai.
Kevia terlonjak mundur, meringis. Pecahan kaca menyayat kulit kakinya, meninggalkan garis merah yang segera merembeskan darah.
Riri hanya berdiri dengan tatapan tajam, seolah puas melihat luka itu.
Sementara dari kamarnya, Kemala tak lagi mampu menahan air mata. Tubuhnya bergetar, dada sesak, dan dalam kepalan tangannya, doa terdesak keluar. Doa agar suatu saat, sang putri terbebas dari belenggu penghinaan ini.
Riri melangkah mendekat, sorot matanya tajam, penuh bara. Tangannya tiba-tiba melayang, mencengkeram leher Kevia dengan kasar.
“Berani-beraninya kau berebut cowok denganku!” desisnya, suara bergetar oleh amarah. “Apa kau tak sadar siapa dirimu? Hanya orang miskin yang menumpang hidup enak!”
Wajah Kevia pucat, napasnya tersengal. Kedua tangannya berusaha menyingkirkan genggaman itu, tapi cengkeraman Riri kian kuat.
Bi Iyem yang sedang memungut pecahan kaca mendongak, matanya membelalak.
“Non! Lepaskan, Non Via! Dia bisa celaka kalau Non terus begitu!” suaranya panik, tubuhnya gemetar tak tahu harus berbuat apa.
Tatapan Riri beralih kepadanya, setajam pisau. Bi Iyem langsung tercekat, mulutnya terkunci oleh ketakutan.
Di kamarnya, Kemala yang mendengar keributan itu terperanjat. Tubuhnya yang lemah dipaksa bangkit. Dengan langkah tertatih ia berusaha keluar kamar, memastikan keadaan putrinya. Dan saat pandangannya menangkap Kevia yang dicekik… jantungnya seolah berhenti berdetak.
“Kevia…” gumamnya, suaranya lirih, namun penuh kepanikan yang menyesakkan dada.
Riri mendesis, menunduk tepat di hadapan Kevia.
“Jauhi Kevin. Kalau tidak, aku akan pastikan Ibu melarangmu sekolah lagi.”
Lalu dengan kasar, ia melepaskan cekikannya dan mendorong Kevia keras.
Tubuh Kevia terjerembab ke lantai, menimpa pecahan gelas.
“Kevia!"
"Non!”
Teriak Kemala dan Bi Iyem hampir bersamaan.
Kemala merasa dadanya seperti ditusuk ribuan pisau. Pandangannya berkunang-kunang melihat darah mulai merembes dari telapak tangan putrinya yang bertumpu pada lantai penuh serpihan kaca. Dengan sisa tenaga, ia berusaha merangkak mendekat, bibirnya terus memanggil, “Anakku… Kevia…”
Bi Iyem bergegas mendekat, wajahnya penuh iba. “Astaga, Non Via…” Ia meraih kain terdekat, berusaha menyingkirkan pecahan kaca dan menghentikan darah yang keluar.
Sementara itu, sosok lain muncul. Berjo, sopir tua keluarga, yang baru saja masuk ke ruang tamu. Ia membeku sejenak, menatap pemandangan di hadapannya. Kevia terkapar, Kemala menangis meraih putrinya, dan Bi Iyem panik setengah mati.
“Gusti Allah…” desis Berjo lirih, suaranya tercekat. Tanpa pikir panjang, ia ikut jongkok di samping Kevia, tangannya gemetar membantu Bi Iyem menyingkirkan pecahan.
Kemala menahan lengan Kevia erat-erat, air matanya jatuh tanpa henti. “Maafkan Ibu, Nak… maafkan Ibu…” suaranya pecah, penuh rasa bersalah yang menggunung.
Riri berdiri tegak, menatap mereka semua dengan dingin.
“Ingat siapa dirimu, Kevia,” ucapnya tajam sebelum berbalik pergi, meninggalkan jejak keangkuhan di setiap langkahnya.
Dan ruang itu hanya tersisa tangisan, darah, dan luka. Luka yang jauh lebih dalam daripada sekadar pecahan kaca di kulit.
***
Pagi itu matahari baru naik setengah, cahaya keemasan memantul di gerbang megah rumah Rima. Motor Kevin berhenti perlahan, suaranya meredam di antara kesunyian jalan perumahan elit. Ia melepas helm, menepuk celana abu-abunya, lalu menghampiri pos satpam kecil di samping gerbang.
“Permisi, Pak. Apa Kevia ada?” tanyanya sopan.
Satpam paruh baya itu mengangkat wajahnya dari koran lusuh. Pandangannya menelusuri Kevin dari ujung sepatu hingga kerah seragam yang setengah tertutup jaket.
“Teman Non Via, ya?” tanyanya, nada suaranya penuh selidik.
“Iya, Pak,” Kevin mengangguk cepat.
Satpam itu menarik napas pendek, lalu menggeleng pelan. “Sayang sekali, Nak. Non Via udah berangkat duluan.”
Kevin terdiam. Ada sesuatu di balik nada satpam itu yang membuatnya tak lekas pergi. “Pak… maaf, saya boleh tanya?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....