NovelToon NovelToon
Pernikahan Di Atas Skandal

Pernikahan Di Atas Skandal

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Lari Saat Hamil / Selingkuh / Cinta Terlarang / Pelakor
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Edelweis Namira

Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CEMBURU

Hari ini terlihat tidak sesibuk kemarin. Bahkan beberapa warga sudah mulai memperbaiki rumahnya. Namun masih ada juga yang bertahan di pengungsian. Di pengungsian yang sederhana itulah, Btari sedang duduk di atas tikar sambil memeriksa kakinya. Raka, seperti biasa, datang membawa peralatan medis kecil. Ia berjongkok di depannya, dengan perhatian penuh memeriksa luka Btari.

"Bagaimana, masih sakit?" tanya Raka lembut sambil mulai melepas perban lama.

Btari mengangguk kecil. "Sedikit. Tapi aku sudah merasa lebih baik dibanding kemarin."

Barra yang berdiri tidak jauh dari mereka hanya bisa memperhatikan dengan sorot mata tajam. IaDi pengungsian yang sederhana, Btari sedang duduk di atas tikar sambil memeriksa kakinya. Raka, seperti biasa, datang membawa peralatan medis kecil. Ia berjongkok di depannya, dengan perhatian penuh memeriksa luka Btari.

"Bagaimana, masih sakit?" tanya Raka lembut sambil mulai melepas perban lama.

Btari mengangguk kecil. "Sedikit. Tapi aku sudah merasa lebih baik dibanding kemarin."

Barra yang berdiri tidak jauh dari mereka hanya bisa memperhatikan dengan sorot mata tajam. Di tangannya terdapat dua kotak makanan dan botol minuman. Pikirannya tiba-tiba teringat dengan obrolan dua gadis muda semalam. Apalagi di dapur tadi, ia juga mendengar gosip ini. Wajahnya tampak tegang melihat interaksi antara istrinya dan Raka.

"Kalau begitu, saya ganti perbannya dulu ya," ujar Raka sambil tetap fokus pada pekerjaannya.

Barra akhirnya melangkah mendekat. Suaranya terdengar dingin, tetapi tidak bisa menyembunyikan nada cemburu. "Wah Pak Dokter kelihatan sering sekali mengurus istri saya, ya."

Raka menghentikan tangannya sejenak dan menatap Barra, lalu tersenyum tipis. "Sebagai petugas kesehatan di sini, sudah tugas saya memastikan kondisi semua orang, termasuk Btari."

Barra mendekat lagi, membuat suasana semakin tegang. "Tapi dia ini bukan pasien biasa. Dia istri saya."

Btari yang menyadari ketegangan itu mencoba menenangkan keduanya. "Barra, sudah, aku baik-baik saja. Dokter Raka hanya membantu, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."

Namun, Barra tetap tidak tenang. "Aku khawatir karena kamu selalu bilang baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Dan sekarang, aku harus melihat orang lain yang lebih peduli daripada aku."

Raka tersenyum tipis, tetapi tatapannya berubah lebih serius. "Pak Barra, saya paham Anda khawatir. Tapi selama ini, saya hanya membantu semampu saya. Anda suaminya, saya rasa wajar jika Anda ingin lebih banyak terlibat."

Ucapan itu membuat Barra semakin panas. Ia merenggut perban dari tangan Raka dengan gerakan kasar. "Mulai sekarang, biar saya yang urus. Istri saya bukan tanggung jawab Anda."

"Ini tugas saya karena sedari awal saya yang merawat Btari. Saya tahu anda suaminya, namun saya dokter disini. Saya lebih tahu kondisi pasien saya." Raka kemudian mengambil alih perban itu.

Barra baru saja akan merebut perban itu lagi. Namun tangan Btari menahan tangannya. "Nggak perlu seperti ini, Bar. Dokter Raka lebih mengerti dibanding kamu."

Barra menatap Btari dengan emosi. "Kamu membandingkan aku dengan dia, Bi? Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan? Dia-"

"Tenang, Barra. Nggak ada yang membandingkan kamu sama dia disini. Dia dokter. Kamu arsitek. Dikondisiku yang sekarang, Dokter Raka lebih memahami situasinya." Ujar Btari.

Barra diam. Perasaan cemburu ini memang membuatnya hilang akal. Ia akhirnya duduk di samping Btari.

"Teruskan saja perbannya, Dokter." Ucapnya ketus.

Raka hanya mengangguk. Lalu melanjutkan pekerjaannya. Sementara itu, Btari tampak kikuk di antara keduanya. Apalagi dengan sikap Barra yang masih memasang wajah masam.

"Nggak usah kesal begitu. Senyum, Bar." Bisik Btari.

Raka selesai dengan pekerjaannya. Ia menatap keduanya dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Ia bangkit perlahan, merapikan peralatan medisnya. "Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu. Semoga cepat sembuh, Btari."

"Terima kasih, Dokter." Kata Btari.

"Iya. Sama-sama. Saya permisi dulu." Kata Raka kemudian pergi.

"Biasa aja itu wajahnya. Kayak nggak rela ditinggal pacar pergi." Ucapan sinis Barra membuat Btari menoleh.

Ia menatap tajam ke arah Barra. "Nggak seharusnya kamu bersikap berlebihan seperti itu, Bar."

Barra menatap Btari dengan emosi. Perkataan Btari barusan seolah menyalahkannya. "Aku? Kamu itu suamiku, Bi. Ya wajar aku bersikap seperti itu."

"Iya. Suami sementara. Jadi jangan berlebihan." Kata Btari tegas. Barra berdecih kesal.

"Nih makan. Awas kalau nolak. Dibantu aku nolak terus, dibantu dokter itu terima-terima aja." Gerutu Barra sambil menyiapkan makanan untuk Btari.

"Kalau bantu yang ikhlas. Marah-marah terus nanti cepat tua terus mukanya jelek. Kalau jelek, si pacarmu nggak bakalan mau sama kamu."

"Ada kamu. Udah sah pula jadi istri."

"Idih. Amit-amit punya suami kayak kamu."

"Gini-gini aku beneran suami kamu, Btari." Btari menatapnya kesal. Sementara Barra tertawa keras.

...***************...

Barra duduk di kursi sebelah Btari di bus yang membawa mereka kembali ke kota. Perjalanan panjang ini terasa lebih ringan bagi Barra, meski ia tidak bisa menyembunyikan senyum jahil yang terus terbit di wajahnya.

"Aku nggak habis pikir," Barra memulai sambil melirik Btari yang tengah membaca buku. Buku yang dibawa Barra kemarin. "Ternyata ada juga orang yang sepertinya lebih berat melepasmu pergi daripada aku."

Btari mendongak dari bukunya, menatap Barra dengan alis terangkat. "Apa maksudmu?"

Barra tersenyum sinis, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. "Raka, tentu saja. Aku lihat tadi dia nyaris nggak bisa mengucapkan selamat tinggal. Matanya seperti bilang, 'Jangan pergi, Btari.' Mengharukan sekali." Ujar Barra meniru gaya bicara pemain drama.

Btari mendengus pelan, menutup bukunya dengan santai, tapi jelas tidak tertarik menanggapi. "Barra, nggak usah dramatis seperti itu. Dokter Raka hanya teman. Dia baik kepada semua orang, bukan cuma aku."

Barra terkekeh, melipat tangannya di dada. "Teman, ya? Rasanya aku belum pernah punya teman yang menatapku seperti itu. Kamu yakin dia nggak punya maksud lain?"

Btari menatap Barra dengan datar, jelas tidak terpengaruh oleh godaannya. "Aku tahu kamu suka membuat cerita yang tidak perlu. Tapi tolong, kali ini berhenti. Aku nggak ingin membahas ini lagi."

Barra memiringkan kepala, masih dengan senyum jahilnya. "Kamu ini dingin sekali, ya. Aku cuma bercanda. Tapi jujur saja, kalau aku jadi Raka, aku mungkin akan merasa hal yang sama. Kau cukup menawan, Tuan Putri."

Btari menghela napas panjang, memalingkan wajahnya ke jendela. "Berhenti menggodaku, Bar. Kamu menyebalkan."

"Kalau Raka suka kamu beneran gimana? Dia pasti merasa kehilangan kamu. Apalagi tadi kamu tidak memberikan dia kenang-kenangan." Barra bertanya lagi.

"Sekali lagi bicara asal, aku pukul kamu dengan buku ini, Bar." Ucap Btari kesal.

Barra terkekeh kecil, puas dengan reaksinya. Tapi di dalam hatinya, ia merasa sedikit lega. Melihat Btari yang tetap tenang dan acuh saat nama Raka disebut, membuat kecemburuannya perlahan mereda. Mungkin, meski hanya suami kontrak, ia masih memiliki tempat di hati Btari.

Di sisi lain, Btari hanya menatap jalanan yang berlalu dengan pikiran berkecamuk. Barra memang sering mengganggunya, tapi entah kenapa kali ini, ia merasa ada yang berbeda dalam ejekannya. Namun, seperti biasa, ia memilih mengabaikan semuanya.

1
jen
aku nunggu bgt update nya Thor... ini dibikin penisiriiin /Sob/
Mundri Astuti
iiiihhhh othor bikin pinisirin aja

next thor
jen
aku suka karakter Btari /Good/
jen
mengecewakan. ngapain mau SM cwo ga punya prinsip
jen
kayak nyata kak ... cm suka bingung sm namanya kak.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri
Mundri Astuti
semangat kk author, jangan sampai luluh btari, bisa"nya barra ngomong gitu, kelakuannya semaunya sendiri ngga menghargai
Mundri Astuti
nah bagus btari kamu harus punya sikap dan mesti tegas ke barra
Mundri Astuti
si barra bener" ngga punya hati, dah lah btari jangan percaya bualan barra lagi, bodoh banget barra masih ngarep sama pacarnya aja, bener" ini yg namanya cinta itu buta, ... kucing berasa coklat .
Mundri Astuti
barra baru begitu dah cemburu, gimana perasaan betari saat di tlpnan ma kekasihnya, saat dia perhatian dan khawatir sama kekasihnya
Mundri Astuti
si barra kelaguan, biar aja betari dilirik org noh, dah ada yg mo nadangin, blingsatan" dah
Mundri Astuti
cuekin aja btari jangan diangkat, ngga usah diladenin si bara
Arsène Lupin III
Saya terhanyut dalam dunia yang diciptakan oleh penulis.
Oscar François de Jarjayes
Cinta banget sama karakter-karaktermu, thor. Mereka bikin ceritamu semakin hidup! ❤️
Aishi OwO
Bikin happy setiap kali baca. Gak bisa berhenti bacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!