follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18
Kehilangan Maulida adalah luka terbesar keluarga Wira. Luka yang tak akan pernah kering, sampai kapanpun.
Entah bagaimana perasaan Wira dan Feni jika mengetahui hal ini. Anak mantu kesayangan mereka yang membuat Uli lebih memilih mengakhiri hidupnya.
Semua tersembunyi dengan rapi di balik kata teman baik dan sebuah perjodohan. Keluarga Anton terlalu rapi menyembunyikan semuanya hingga tak sedikitpun Wira dan Feni tau akan hal ini.
Andai dulu Wira tidak menolak saat akan dilakukan autopsi pada Uli, mungkin mereka bisa tau apa yang menyebabkan Uli meninggal. Juga orang-orang yang membuat Uli seperti itu.
Dan kisah hidup Mikha saat ini pun pasti tidak akan pernah terjadi.
"Nggak kapok Lo menginap lagi di tempat Gavin? Perlu gue bilang ke Mama lagi?"
Mikha memalingkan wajah dan berlalu begitu saja. Enggan menatap wajah orang yang telah menghancurkan hidupnya dan hidup keluarganya.
Andai Mikha tak berpikir ulang, mungkin saat ini Mikha sudah mengadukan perbuatan Gilang ke orangtuanya.
Tapi kembali lagi, kepergian Uli adalah sebuah luka. Mikha tak sanggup membuka luka lama itu di hadapan kedua orangtuanya. Apalagi mereka pasti akan sangat kecewa jika mereka tau Gilang adalah pelaku utamanya.
"Kalau suami ngomong itu dihargai. Jawab sedikit kek. Ini malah pergi gitu aja. Nggak sopan namanya."
Mikha tertawa sinis. "Suami?" ucap Mikha sinis. "Baru sadar kalau Lo ini seorang suami? Minta dihargai? Pernah Lo menghargai gue?" lanjutnya dengan sarkasme.
"Jangan pernah meminta hal yang Lo aja nggak pernah ngasih hal tersebut ke orang lain, Gilang!" lanjut Mikha dan langsung melangkahkan kakinya menuju kamarnya.
Hari ini harusnya Mikha ke kantor. Waktu magang tinggal beberapa hari lagi. Harusnya dia manfaatkan sebaik mungkin demi nilainya.
Tapi keadaan hatinya sedang tidak memungkinkan untuk bekerja. Apalagi harus bertemu dengan Gavin dan bekerja dengan dia.
Rasanya masih kecewa. Belum ingin bertemu dengan Gavin untuk hari ini saja. Atau mungkin juga sampai besok, Mikha belum tau.
Yang jelas saat ini Mikha lebih memilih mematikan handphonenya, agar Gavin tak bisa menghubunginya. Atau siapapun itu, Mikha sedang tidak ingin diganggu.
Mikha duduk di depan laptop. Jemarinya dengan cepat mengetik di kolom pencarian. Apa yang harus disiapkan untuk menggugat cerai suami?
Sepertinya memang sudah saatnya untuk melepas semuanya. Dua hal besar yang menjadi alasan kuat untuk menuntut cerai sudah ada di tangannya.
Mikha tak ingin menunggu lama lagi. Ingin segera lepas dari keluarga Gilang. Termasuk Gavin.
Mikha merasa dirinya hanya sebagai pelampiasan. Gavin tak tulus menyayanginya. Jadi lebih baik Mikha juga pergi dari Gavin.
"Makan, Kha!"
Mikha tak percaya dengan apa yang ada di depan matanya, dan apa yang baru saja dia dengar dari bibir Gilang.
Seumur pernikahan mereka, baru kali ini Mikha mendengar Gilang menawarinya untuk makan. Bahkan dua piring nasi Padang sudah ada di atas meja.
"Kenapa malah bengong? Gue udah beli makanan buat Lo. Dimakan daripada Lo sakit."
Mikha masih mematung di tempatnya. Belum duduk, apalagi menyentuh makanan tersebut. Takut kalau makanan itu sudah diberi racun atau guna-guna oleh Gilang.
"Tenang aja! Nggak gue kasih racun, kok. Aman," kata Gilang seolah dia tau apa yang ada di pikiran Mikha.
Mikha segera duduk meskipun rasanya enggan memakan makanan dari Gilang. "Kenapa Lo mendadak baik begini?" Mikha membuka suara.
"Kan, gue udah bilang kemarin kalau pengen memperbaiki hubungan kita."
"Buat apa?"
Kini giliran Gilang yang terdiam. Tidak mungkin kalau dia mengatakan kalau takut masalah perselingkuhan kemarin diadukan kepada orangtuanya dan orangtua Mikha. Bisa berantakan semuanya.
"Ya masa buat apa? Ya biar kita bisa nerusin pernikahan ini."
'Sayangnya gue nggak minat,' ucap Mikha dalam hati. Tidak tau saja kalau saat ini Mikha tengah mengumpulkan berkas-berkas untuk menggugat cerai dirinya.
"Oh. Ya harusnya, sih, memang begitu," balas Mikha tanpa minat. Harusnya dia diam. Tapi sepertinya dia harus memancing Gilang. Bagaimana ekspresi dia jika Mikha membahas soal Uli.
"Lo tau nggak, sih, Lang kalau gue itu punya kakak cewek?"
"Oh, ya? Sekarang dia kemana?"
Oke. Ekspresi Gilang memang sempat terkejut. Tapi dia berhasil menyembunyikan semuanya sehingga terlihat baik-baik saja.
"Dia udah meninggal. Bunuh diri."
Perlahan, ekspresi wajah Gilang terlihat gugup. Gerak tubuhnya terlihat salah tingkah.
"Gue nggak tau apa yang buat dia sampai nekat begitu, Lang. Tapi gue bakalan cari tau penyebabnya. Kalau Lo bisa bantu gue menyelidiki tentang kematian kakak gue, gue nggak akan ngasih tau para orangtua soal video Lo yang lagi indehoy sama sekertaris Lo itu."
"Memangnya kalau yang buat kakak Lo bunuh diri itu ketemu, Lo mau apain?"
Mikha tertawa kecil. Terlihat sekali kalau Gilang sedang gugup. Nada suaranya tak bisa membohongi Mikha. "Mau gue masukin ke penjara."
"Memangnya ada bukti?"
"Kan, dicari buktinya. Makanya gue minta bantuan Lo buat cari orangnya sekaligus bukti-buktinya. Kalau enggak mau, sih, nggak apa-apa. Tapi cepat atau lambat video itu akan gue kirim ke Papa mama gue dan juga ke Papa mama Lo."
"Lo ngancam gue?"
Mikha tertawa lagi. Terlihat sekali kalau Gilang sedang ketakutan sekarang. "Gue nggak ngancam, Gilang. Bukannya di sini kita saling menguntungkan? Lo bantu gue, gue bisa dapatkan bukti-bukti itu dan bisa tau siapa orangnya. Itu keuntungan buat gue. Dan keuntungan buat Lo, aib Lo aman di tangan gue. Dan tidak ada perceraian di antara kita meskipun selamanya kita hidup kayak gini. Terserah, sih, Lo mau apa nggak. Gue nggak maksa."
Gilang terdiam. Menata hati dan rangkaian kata yang akan dia ucapkan di hadapan Mikha. "Setelah sekian tahun lamanya, kenapa baru sekarang Lo mau menyelidiki kematian kakak Lo?"
"Karena kemarin gue nemuin foto kakak gue sama seseorang. Jadi gue pikir, ada yang nggak beres sama kematian kakak gue. Saat itu gue masih belum ngerti kalau kakak gue mati bunuh diri. Padahal jelas-jelas gue lihat mulut kakak gue mengeluarkan busa. Sayang, saat itu ART gue langsung bawa gue masuk ke kamar. Dia menghilangkan pikiran buruk tentang kakak gue yang mati bunuh diri demi mental gue, Lang."
Mikha terdiam sejenak. Mengingat saat itu Mbak Mia, salah satu asisten rumah tangganya, mengatakan kalau Uli sakit dan akhirnya meninggal. Uli meninggal karena sakit, bukan karena bunuh diri. Itu yang ditanamkan Mia di pikiran Mikha pada saat itu.
"Tapi seiring gue dewasa, ditambah lagi gue lihat foto itu, gue semakin yakin kalau kakak gue sedang dalam masalah saat itu. Tadinya gue nolak pikiran buruk gue kalau kak Uli itu meninggal karena bunuh diri. Karena Mbak Mia meyakinkan Gue kalau kak Uli itu sakit, bukan bunuh diri. Gue lihat sendiri busa itu keluar dari mulut kak Uli, Lang. Semakin besar gue semakin ngerti, dong, kalau itu namanya bunuh diri. Sakit macam apa yang meninggalnya mulutnya ngeluarin busa begitu?"
Gilang hanya membisu, tak bisa berkata-kata mendengar ucapan panjang dari Mikha.
Keduanya tak pernah berbicara sepanjang ini. Sekalinya bicara panjang, ucapan Mikha mampu membungkam mulut Gilang yang selama ini terlalu songong di hadapan Mikha.
"Jadi gimana, Lang? Mau bantu gue nggak?" Suara Mikha membuyarkan lamunan Gilang.
"I-iya." Gilang mengangguk kaku. "Gue mau bantu."
Mikha tersenyum lebar, tapi senyuman itu palsu. "Thanks, ya."
Gilang mengangguk lagi dan tak bisa berkata-kata lagi.
🌹🌹🌹