"Aku bukan orang baik buat kamu."
Diputuskan dengan sebuah sms dan dengan alasan superklasik, membuat Andara marah.
Buana Semesta, lelaki yang sudah membagi rasa dengannya selama hampir setahun belakangan tiba-tiba mengiriminya sms itu. Andara sebenarnya sudah tahu kalau peristiwa itu akan terjadi. Dia sudah prediksi kalau Buana akan mencampakkannya, tetapi bukan Andara jika bisa dibuang begitu saja.
Lelaki itu harus tahu siapa sebenarnya Andara Ratrie. Andara akan pastikan lelaki itu menyesal seumur hidup telah berurusan dengannya. Karena Andara akan menjadi mimpi buruk bagi Buana, meskipun cowok itu tidak sedang tertidur.
Banyak cara disusunnya agar Buana menyesal, termasuk pura-pura memiliki pacar baru dan terlihat bahagia.
Tetapi bagaimana jika akhirnya Buana malah terlihat cemburu dan tidak suka dengan pacar barunya?
Juga bagaimana jika Andara bermain hati dengan pacar pura-puranya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nadyasiaulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Defying Gravity
"Kita terlalu dekat untuk disebut asing, namun terlalu jauh untuk disebut kekasih."
🔥🔥🔥
Satu hari, Andara pernah iseng membuat klasifikasi cowok ganteng menjadi tiga kelas. Kelas pertama adalah cowok yang berwajah ganteng, dan menyadari dirinya ganteng terus jadi sering tampil, sering foto, mengekspos ketampanan untuk menjaring banyak massa juga tebar pesona. Kelas ini adalah kelas yang paling nggak disukai Andara.
Kelas kedua adalah cowok yang ganteng tapi nggak sadar dirinya ganteng, nggak suka tampil sama sekali dan cuek sama penampilan juga nggak ambil manfaat dari kegantengannya. Kelas ini adalah varietas unggul dan hampir punah karena jarang pernah ada.
Lalu, kelas ketiga adalah cowok ganteng, dia sadar dia ganteng tapi dia biasa aja. Dia nggak mengekspos muka atau tubuhnya, dan juga nggak gila perhatian. Kelas ini ada, tetapi saking mereka tidak mengekspos diri, ya, tentu saja susah untuk ditemukan. Apalagi jika antara dia dan kita nggak pernah ada garis hubung dan tidak berada dalam lingkar pertemanan yang sama, alamat nggak bakal ketemu.
Kin? Jelas, dia adalah salah satu manusia kelas ketiga. Beruntunglah Andara bisa mengenalnya. Nggak mudah untuk dekat dengan cowok seperti Kin. Berkenalan mungkin bisa-bisa saja tetapi mereka pasti bisa mengendus siapa yang tertarik karena fisik atau tidak.
"Lo jadi balik besok?" tanyanya sambil menyesap es teh leci. Mereka telah selesaikan makan siang dengan ngalor-ngidul membicarakan kedai kopi.
"Kenapa? Mau antar?" Kin berkedip-kedip jenaka.
Andara melengos sembari memutar mata. Ya ampun, kenapa mata Kin lucu sekali, sih? Kan jantungnya jadi berulah lagi. "Cuma ke Johor kali, bukan ke Suriah. Kalau lo berangkatnya mau jihad ke Suriah, mungkin bakal gue antar. Sekalian minta maaf siapa tahu selama ini banyak salah," timpalnya.
Kin tertawa sambil menepuk pelan kepala Andara. "Harus ke Suriah banget biar lo antar?"
Andara berdecak. Mungkin selama ini antara dirinya dan Kin sering ada kontak fisik dan itu adalah tindakan lepas tanpa disadari. Seperti saat Kin memeluknya di Splash atau saat dia menggelayut manja dengan Kin ketika ada Buana. Tetapi kenapa tepukan pelan tadi terasa menyenangkan daripada biasanya? "Atau Gaza, deh. Kalau lo mau ke Gaza juga gue antar. Kalau lo cuma ke JB, NY, OZ, SG atau apalah itu, ngapain?! Nanti juga ketemu lagi."
"Siapa tahu pesawat gue jatuh?" Kin menyipitkan mata sembari menyesap jus semangka yang tinggal setengah. Andara mengamati itu. Ternyata Kin belum cukup sableng untuk memesan espresso sebagai teman makan siang.
Bukannya sedih, Andara malah terkekeh dan menggerakkan telunjuk di udara. "Itu salah satu jalan kematian yang gue pengin malah," jawabnya santai seperti membicarakan musim, "gue pengin mati meledak di udara."
"Gokil sih!"
"Atau tenggelam di lautan." Andara mengganti gaya duduk, menopang dagu ke arah Kin, menunggu bagaimana reaksi lawan bicaranya. Ternyata muka cowok itu menyenangkan untuk dilihat lama-lama. Dalam tubuh Kin mungkin ada komposisi Sake atau Shochu kali, ya? Bisa memabukkan seperti ini.
"Ra, bakat bawaan lo memang begini, ya? Semua berbau-bau ASPD*."
"Nggak ada seorang psikopat yang bercerita jujur tentang rencananya, dan nggak ada seorang sosiopat yang punya rencana matang," ujarnya terkekeh menanggapi tuduhan Kin kalau dia termasuk sebagai orang dengan gangguan kepribadian antisosial. "Kenapa? Lo takut gue bunuh?"
Bola mata Kin berkilat lucu. "Enggak, tuh. Asal bunuhnya pakai cinta."
"Najis! Kalau orang dengar bisa dikira beneran, dan lo pasti dibilang ngebucin." Kalimat Andara terpotong karena seorang pelayan izin untuk mengangkat bekas makan siang mereka. Dia menoleh ke pelayan tampan yang tersenyum ke mereka dan balik memberikan senyum. Pelayan itu pergi dibarengi dorongan Kin di kepalanya. "Aduh, apaan, sih?!"
"Nggak usah mupeng gitu." Kin mencibir.
Andara tergelak begitu tahu Kin dengan mudah dapat membaca gerakan ekor matanya. "Elah, Kin. Nikmat Allah itu jangan didustakan, dosa! Apa salahnya gue mensyukuri karunia yang diberikan di depan mata." Dia lalu berdalih.
Sebenarnya Andara lebih tertarik dengan muka Kin daripada muka pelayan tadi, tetapi memandangi muka itu terus bisa membuat Kin meraba kejanggalan. Andara meringis. Dia juga tidak tahu apa yang sedang terjadi di dirinya. Hari ini, tangan Tuhan seperti sedang bekerja dan membolak-balik hati. Dia cukup paham risiko jatuh hati dengan Kin. Ini seperti taruhan nyawa. Ketika dia berhasil, dia mendapatkan kekasih yang asyik, tetapi jangan pernah lupakan kalau asmara bisa merusak pertemanan. Jika perasaannya diberitahu dan Kin menjauh, Andara akan kehilangan seorang teman baik. Atau jika perasaan mereka berbalas, belum tentu selesai, sebab akan ada kemungkinan gagal dan dua hal akan pergi bersamaan darinya; kekasih juga teman baik. Kepergian seorang kekasih tentu sulit. Namun, kepergian teman baik seperti Kin? Andara menelan ludah, dia tidak bisa membayangkan.
"Mata lo gampang banget ngelirik sana-sini, tapi move on lo susah," ejek Kin.
"Sotoy! Gue aja udah mulai suka sama cowok lain keleus."
"Weits, siapakah cowok tidak beruntung itu?"
Andara menonjok pelan lengan Kin dan cowok itu hanya tertawa-tawa. "Sialan!"
Iya, memang sialan karena cowoknya adalah lo. Lo, Kin!
***
Rapat kali ini dilalui Andara dengan bungkam. Saat Mbak Inka menjelaskan rincian program yang menjadi tema bulan depan pun tidak ada yang tercantol di otaknya. Dia hanya ingin rapat segera selesai atau kalaupun tidak, semoga setengah jam cepat berlalu agar dia segera pergi dari ruang rapat dengan alasan siaran.
Pembahasan mulai alot antara mengangkat tema September Ceria atau September Mengudara karena di bulan September juga ada Hari Radio Republik Indonesia. Andara melirik Bang Anco yang lebih setuju dengan September Mengudara karena September Ceria dinilai terlalu tua, tetapi Tirto berpendapat tidak ada salahnya kembali ke gaya lama, karena anak muda sekarang perlu dikenalkan dengan sejarah. Apa pun itu, Andara tidak peduli. Sudah pukul setengah tujuh malam dan Kin pasti sudah di jalan, mungkin saja sudah di bandara sebab pesawat ke Johor Bahru akan lepas landas pukul delapan. Sialan, kenapa dia gelisah, sih? Berulang kali Andara memaki diri sendiri tetapi rasa konyol bin aneh itu tetap ada.
"Gimana, Ra?" tanya Mbak Inka. Tatapan wanita itu seperti menghunus karena tahu Andara tidak memperhatikan dari tadi. "Menurut lo, September Ceria atau September Mengudara?"
"Wake me up when September ends, Mbak." Tanpa kompromi, bibirnya langsung menyeletuk saja. Mata Mbak Inka sudah membulat, sementara Natha yang berada di samping menahan kekehan. "Eh, sori, bercanda. Maksud gue, kalau gue setuju kok September Ceria. Bikin jingle dari lagu September Ceria Vina Panduwinata yang di-remake ulang juga nggak akan bikin kesan oldies."
"Good, gue pikir lo melamun dari tadi."
Iya, memang dia melamun. Sudah tahu kok bertanya. Andara menyengir sambil pura-pura melihat jam tangan. "Mbak, gue izin, ya? Mau on air."
Izin dari Mbak Inka seperti mengantarkannya keluar dari zona perang. Hal yang pertama kali Andara periksa adalah ponsel. Nihil, Kin nggak menghubungi dan ini membuat Andara semakin gila. Wajar sih di antara mereka kan memang tidak ada apa-apa. Seharusnya dia tidak berharap lebih. Sembari berjalan bolak-balik di depan studio, dia menggaruk-garuk kepala dan mengacak rambut. Sejak kapan sih mau mengirimi orang pesan saja menjadi sesusah ini?
Sampai tiba saat dirinya duduk di singgasana penyiar yang bertugas, rasa gelisah itu belumlah reda. Hanya dengan mengandalkan bisikan hati, Andara membuka bank lagu, mencari sebuah lagu yang tidak ada di daftar putar. Berbasa-basi sedikit untuk opening dan menjadikan Mr. Brightside sebagai lagu pembuka. Sungguh di pikiran Andara hanya ada Kin saat ini. Setelah mematikan mikrofon, dia bahkan menaruh kepala di atas mixer.
Kin Dhananjaya: Kayaknya ada yang addict sama Mr. Brightside sekarang.
Pesan yang masuk membuat Andara memekik. Badannya langsung berdiri dan melompat-lompat histeris. Ini sumpah Kin mendengar siaran? Aduh, dia harus membalas apa? Kenapa kata-kata rasanya hilang dengan percuma? Andara mengacak rambut lagi, mengabaikan riap-riap yang menusuk matanya.
Kenapa dia jadi sekacau ini memikirkan kepergian Kin? Toh, cowok itu hanya pergi ke Johor untuk kembali masuk kuliah, tempat tersebut juga tidak terlalu jauh dari Jakarta. Tetapi kenapa dia merasa berat karena ditinggalkan? Dan kepala ini terasa carut-marut.
Damn, Andara. Take it easy! Dia berusaha menyugesti diri sendiri. Melawan gravitasi Kin terasa sangat sulit. Jarinya sampai gemetar, berulang kali mengetik dan menghapus jawaban tanpa dikirim. Gila, ya, norak sekali dirinya.
Andara mengempas ponsel di meja dan menyetel sebuah lagu lagi agar dia bisa membalas pesan Kin. Ditariknya napas agar tenang dan dia mulai mengetik ulang.
Andara Ratrie: Lo masih di jalan jam segini?
Dia menggigit bibir saking deg-degan menunggu jawaban. Ini terbodoh yang pernah ada antara dia dan Kin. Hatinya mencelus saat Kin membaca balasan tetapi tidak mengetikkan jawaban. Ya ampun, padahal biasanya akan terasa wajar jika salah satu dari mereka tidak menjawab pesan dan hilang tanpa salam. Malah dia yang sering tidak menjawab pesan terakhir Kin.
Untuk mengeyahkan pikiran yang bercabang, daftar lagu yang harus diputar dia susun ulang. Beberapa lagu dinaik-turunkan sesuai keinginannya. Sepuluh menit berlalu, pesan Kin masuk lagi.
Kin Dhananjaya: Pas lagi nurunin koper, gue dengar lo puterin itu.
Andara Ratrie: Oh, sekarang di mana?
Kin Dhananjaya: Ruang tunggu.
Pantas balasan Kin lama, rupanya dia dari pemeriksaan imigrasi. Andara masih ingin berkirim pesan, membaca balasan Kin saja membuatnya semangat. Ini norak dan ini gila! Tetapi ya sudahlah, sudah terjadi, dia nikmati saja.
Kin Dhananjaya: Lo sih nggak mau antar gue. Jadi gue sendirian.
Andara Ratrie: Ih, jyjyque~ terus gue lambai-lambai tangan sambil nangis drama gitu, ya?
Kalaupun Andara sampai mengantar, dia takut kalau tindakan impulsifnya jalan lebih dahulu daripada otak. Gimana kalau dia tiba-tiba memeluk Kin dan bilang 'Jangan pergi' coba? Andara bergidik sendiri. Pasti Kin akan mengejeknya tujuh turunan. Masih memperhatikan layar ponsel, Andara juga sempatkan menoleh ke monitor. Lagu Reload pilihan Bang Anco malam ini adalah Andity, bergegas diputarnya lagu berjudul Semenjak Ada Dirimu itu. Dan dia tersipu, kok lagu ini terdengar indah, ya?
Semenjak ada dirimu dunia terasa indahnya. Semenjak kau ada di sini ku mampu melupakannya. Andara ikut bernyanyi riang sambil membalas pesan. Matanya melirik ke luar, terlihat dari jendela kaca studio ada beberapa penyiar sudah masuk ke ruang tengah, berarti rapat sudah selesai.
Tiba-tiba pintu studio didorong kasar, Bang Anco masuk sambil berkacak pinggang. "Andara... Lo mabok?! Kok Reload lo putar dua kali dalam satu jam?!" bentak Bang Anco membuat seluruh penyiar di ruang tengah menoleh.
Aliran darahnya merambat turun. Ponsel yang dipegang jatuh. Ya Tuhan, dia lupa kalau Mr. Brightside juga merupakan lagu lawas koleksi Reload. AC studio terasa lebih dingin dari biasa dikarenakan wajah Bang Anco yang benar-benar marah.
"Dan lo... Gue diam bukan berarti nggak perhatiin lo! Lo belakangan ini selalu memutar Mr. Brightside melulu saban on air. Lo pikir kuping pendengar sama dengan kuping lo?! Lo kayak lagi tunjukin kalau wawasan musik lo di situ-situ aja, tahu nggak lo?!"
Bang Anco biasanya tidak pernah marah. Lelaki itu enak sekali diajak diskusi tentang musik, dan sangat terbuka oleh ide-ide para penyiar. Sepertinya kemarahan Bang Anco kali ini memang hasil kesabaran yang bertumpuk beberapa waktu.
"Lo ini penyiar Best FM atau penyiar radio kampung?!"
Beku bukan lagi deskripsi yang tepat untuknya kali ini. Mati di tempat, mungkin itu lebih tepat untuk Andara. Sebab setelah itu SP 1 meluncur ke mejanya, dan keluar peraturan baru; tidak boleh membawa ponsel saat siaran.
🔥🔥🔥
*ASPD \= AntiSocial Personality Disorder. Terbagi menjadi dua kondisi; psikopat dan sosiopat.
keep on writing yaaa.. pasti bisa jadi one of the best Indonesian author deh, yaqiinn.. thank you for sharing this roller coaster story of Andara, Buana dan Kin :)