Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemui Jelita
“Kamu kemana sih, Mas? Beberapa hari ini pulangnya malam terus?” tegur Bu Sri ketika Rian baru tiba di rumahnya.
“Ada keperluan, Bu,” jawab Rian seadanya.
“Keperluan apa?” tanya Bu Sri lagi. Ia mengekori putra sulungnya itu hingga ke lantai atas. “Kamu juga belum beresin gosip itu, Mas. Lama amat. Jangan-jangan gosipnya beneran.”
“Astaghfirullah, Bu.” Rian menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamarnya yang masih tertutup. Ia membalikkan badannya dan menghadap ke sang ibu.
“Ibu nggak percaya sama Rian? Memangnya ada tampang Rian sebejat itu?”
Bu Sri menghela nafasnya berat. “Ibu kesal, Mas kamu kayaknya lambat banget meluruskan masalah ini. Telinga Ibu udah sakit mendengar ucapan warga yang ngatain kamu,” keluh Bu Sri.
“Rian udah minta Adam dan staf kelurahan yang lain buat bantu klarifikasi ke warga yang datang ke kelurahan hari ini, Bu. Ya semoga aja cepat mereda gosipnya,” ucap Rian.
“Ya… semoga saja,” jawab Bu Sri pelan. Dirinya sudah terlalu pusing menghadapi gosip yang terus-terusan singgah pada putranya itu. Ada saja gosipnya, dan semua itu menyangkut dengan orang yang sama, Nadya.
“Memangnya pihak Nadya belum ada konfirmasi sama sekali, Bu? Mereka nggak ada menyangkal?” tanya Rian lagi.
Bu Sri menggeleng. “Ibu heran. Seharusnya pihak perempuan yang merasa dirugikan dengan gosip seperti ini. Tapi kok… mereka cuma diam aja. Itu ibunya juga nggak ada mengelak atau apalah. Malah keenakan kayaknya,” ketus Bu Sri.
“Makanya, Mas dari dulu Ibu udah bilang sama kamu, cepat-cepat luruskan sama si Nadya itu. Lihat sekarang. Ibu dari dulu udah nggak suka sama keluarga mereka. Kayaknya emang ngejar kamu banget buat dijadikan menantu di keluarga mereka. Ibu nolak bukan karena status sosial, ya… Bukan karena itu. Tapi… entah kenapa Ibu nggak suka aja sama dia,” tutur Bu Sri.
“Rian juga nggak suka sama dia,” sahut Rian cepat.
“Terus… kamu suka siapa?’ tanya Bu Sri dengan nada bicara yang penasaran. “Oh, kamu kemana aja, kok lama pulangnya, Mas?”
“Mengejar jodoh, Bu. Udah Rian mau mandi dulu ya, Bu.” Tanpa menunggu jawaban dari sang ibu, Rian masuk ke dalam kamarnya dan langsung mengunci pintu kamarnya itu.
“Mas…” Bu Sri mengetuk pintu kamar Rian sambil memanggil sang putra.
“Nanti pasti Rian ceritakan, Bu,” teriak Rian dari dalam kamarnya.
“Ada-ada aja. Sok main rahasiaan. Paling lagi ngejar cintanya cucu Pak Doni,” decak Bu Sri lalu turun ke lantai bawah.
Di kamarnya, Rian tidak langsung mandi seperti ucapannya. Pria itu malah duduk di kursi, menyandarkan kepalanya pada sandaran dan menatap ke langit-langit kamarnya sambil tersenyum. Dirinya mengingat peristiwa tadi, ketika ia kembali datang ke rumah sakit di sore menjelang maghrib.
Dengan membawa sekantong makanan yang berisikan makanan berat beserta cemilan bahkan minuman dingin, Rian berjalan menuju ruang psikologi dengan langkah ringan dan riang. Sesekali ia membalas sapaan orang-orang yang ia jumpai. Setelah berjalan beberapa lama, dirinya sampai di depan pintu yang bertuliskan Ruang Psikolog dan tertera nama Jelita Anindya disana. Di depan ruangan ada sebuah meja yang diperuntukkan untuk admin dari psikologi. Namun sepertinya penghuni meja itu sudah pulang, hingga akhirnya Rian mengetuk pintu ruangan Jelita dengan pelan.
“Masuk.” Terdengar suara wanita menyahut dari dalam. Dengan gugup Rian mendorong pintu itu ke arah dalam.
“Jelita…” panggil Rian pelan, hingga membuat jelita mengalihkan perhatiannya dari iPad ke arah pintu.
“Lho, Mas Rian? Ada apa?” tanyanya dengan dahi yang mengkerut.
Rian mengangkat plastik itu, menunjukkan pada Jelita jika dirinya menepati janjinya tadi pagi.
“Tapi… ‘kan saya belum jawab iya, Mas,” ucap Jelita yang bingung saat ini karena memang dirinya yang belum mengiyakan permintaan Rian.
“Saya nggak punya kontaknya Mbak Jelita. Makanya saya langsung datang saja,” ungkap Rian. Jelita mengangguk pelan. Dirinya memang belum bertukar nomor ponsel, lalu bagaimana caranya mereka bisa berkomunikasi, pikirnya.
Rian masih tetap berdiri di depan pintu tanpa bergerak lebih jauh. Jelita tak kunjung memintanya untuk masuk, sehingga dirinya tidak berani untuk melangkah ke depan.
Diam beberapa saat, dengan Jelita yang sepertinya tengah termenung. Jelita kemudian tersadar setelah mendengar suara Rian yang berdeham.
“Eh ma— maaf, Mas,” ucap Jelita setengah gelagapan. Ia kemudian berdiri dan berjalan menghampiri Rian. Rian langsung memberikan kantung itu pada Jelita.
“Terima kasih, Mas,” ucap Jelita tulus. Ia menerima bungkusan itu dengan kepala yang tertunduk.
“Sama-sama, Jelita,” jawab Rian dengan senyum lebar yang mengembang di bibirnnya.
Jeda beberapa saat dengan mereka yang masih berdiri berhadapan, hingga Rian kembali bersuara. “Boleh saya minta nomornya Jelita? Biar gampang nanti saya hubungi.”
Jelita tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir sejenak. Tampak ragu namun bingung cara menolaknya. Hingga akhirnya ia berikan juga nomor ponselnya.
Suara dering ponsel Jelita yang terletak di atas meja kerjanya berbunyi. “Itu nomorku,” ucap Rian yang kemudian hanya dijawab anggukan oleh Jelita.
“Aku pulang dulu. Jangan lupa dimakan,” ujar Rian terakhir sebelum akhirnya ia pergi menjauh dari ruangan psikologi. Senyum lebar tidak hilang dari bibir lurah itu, bahkan hingga kini dirinya yang berada di kamarnya.
“Sudah kemajuan, sekarang punya nomornya. Besok miliki hatinya,” gumam Rian, senyum-senyum sambil membayangkan dirinya dan Jelita yang tengah memakai baju adat khusus pernikahan.
*
*
*
Sementara itu, gadis yang baru saja tiba di sebuah kamar hotel itu duduk menghadap jendela yang menghadap langsung ke arah jalan raya. Di tangannya kini ada sebuah botol plastik berisikan kopi yang tadi dikirim oleh lurah tempat tinggalnya.
Jujur Jelita sedikit bingung, sebab dirinya tidak pernah berada di posisi ini. Sejak zaman SMA bahkan kuliah, tidak ada satupun pria yang memang secara sengaja mendekatinya. Sesekali ia hanya mendengar jika ada pria yang menyukainya, namun pria-pria itu tidak pernah bertingkah berlebihan seperti yang dilakukan oleh Rian saat ini.
Ia tatap lekat botol yang isinya sudah berkurang setengah. Ada kehangatan di dalam dadanya, namun sejenak berganti dengan keraguan dan ketakutan, apalagi terhadap gosip yang masih berhembus dan membawa namanya.
Jelita tidak pernah menjadi sorotan. Dan… ia juga tidak menyukainya. Sedangkan berdekatan dengan lurah muda itu, namanya akan terus terbawa.
“Aku harus gimana?”
Keesokan paginya, Jelita tiba di rumah sakit sedikit telat. Entah kenapa dirinya merasakan keanehan pagi itu. Beberapa orang yang dilewatinya menatapnya dengan pandangan menyelidik. Entahlah jika itu hanya perasaannya saja.
Semakin dekat dengan ruangannya, tatapan itu semakin terasa. Dan kini… Jelita tahu alasan dari tatapan-tatapan itu. Langkahnya langsung berhenti di persimpangan lorong.
Seorang wanita berdiri di depan pintu ruangannya. Gestur tubuhnya seakan lega ketika melihat Jelita yang telah tiba. Wina berdiri, menghampiri Jelita yang masih berdiri di dekat tembok persimpangan.
“Beliau nunggu dari tadi, Mbak. Mau Wina usir aja, bilang Mbak ada jadwal konsul sekarang?” tawar Wina yang sepertinya takut akan terjadi pertumpahan darah nantinya di ruangan Jelita.
“Nggak perlu, Win. Sepertinya beliau memang sangat ingin bertemu dengan saya.”
Jelita kemudian melangkah, menghampiri wanita berpakaian sederhana namun terlihat rapi dan sopan.
“Silahkan masuk.”
*****
Eh Mas Lurah baru dapat nomor telepon aja udah langsung mikirin mau pake adat apa. Sabar ngapa, Mas 🤭🤣🤣
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂