Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 — Malam Panjang di Balai Desa
Rencana Rendra dan Dimas untuk langsung menuju Sumur Tua terpaksa diubah. Saat mereka berlari menyusuri jalan setapak dari gubuk Nyai Melati, suara teriakan massa dari desa semakin dekat.
Nyai Melati telah memberi mereka waktu, tetapi kekuatan mantra dan bubuk merah marunnya hanya bisa memperlambat amukan yang didorong oleh ketakutan massal. Rendra harus mencari tempat berlindung sementara yang lebih kokoh daripada gubuk Nyai Melati, dan satu-satunya bangunan semi-permanen adalah Balai Desa.
Mereka berhasil mencapai Balai Desa di tengah hujan yang kembali deras. Rendra memaksa Dimas masuk, dan mengunci pintu aula utama dengan gembok yang ia temukan. Aula itu gelap, dingin, dan masih berbau lumpur sisa kericuhan sebelumnya.
“Kita tunggu di sini sebentar, Dimas,” bisik Rendra, napasnya tersengal. “Aku akan coba membuka pintu belakang lagi, menuju hutan.”
Dimas hanya mengangguk lemah. Ia meringkuk di sudut aula, tubuhnya bergetar hebat. Ia tampak semakin pucat dan basah, meskipun ia tidak terkena hujan. Air keruh masih menetes dari sudut mulutnya.
Rendra mencoba pintu belakang yang tadi ia gunakan untuk melarikan diri. Pintu itu kini tertutup rapat. Massa telah mengantisipasi pelarian mereka.
Mereka terperangkap.
Rendra kembali ke aula utama. Malam tiba dengan cepat. Hujan di luar semakin deras, suaranya seperti tabuhan gendang perang yang memekakkan telinga.
Di luar, suara gerombolan massa mulai terdengar lagi, lebih terorganisir dan lebih kejam.
“Rendra! Dimas! Keluar! Jangan sembunyi dari tumbalmu!” teriak suara Sanusi, yang kini memimpin penduduk desa.
Teriakan itu diikuti oleh bunyi benturan keras di pintu depan. Penduduk desa mencoba mendobrak gembok dan pintu kayu tua itu.
Rendra menarik Dimas, menyembunyikannya di belakang mimbar kayu yang sudah usang.
“Jangan bersuara, Dimas. Aku akan melindungimu.”
“Nggak usah, Kak,” bisik Dimas, suaranya kini kembali bercampur gemericik air. “Percuma. Dia (Yang Basah) sudah tahu kita di sini. Dia yang bawa mereka ke sini.”
Dimas mengangkat tangannya yang berkuku hitam. Ia mengarahkan jarinya ke jendela Balai Desa yang berlapis terali kayu.
Tiba-tiba, kaca jendela dipecahkan dari luar dengan bunyi "PRANG!" yang keras.
Bukan karena batu atau tangan manusia. Kaca itu pecah seolah didorong oleh tekanan air yang tak tertahankan.
Di kegelapan, Rendra melihat bayangan-bayangan bergerak di luar, bayangan penduduk desa, memegang obor.
Lalu, sebuah suara yang mengerikan terdengar. Bukan suara manusia.
Suara itu adalah jeritan yang panjang dan memilukan dari langit, suara yang membuat setiap inci kulit Rendra merinding. Jeritan itu terdontak, seolah entitas di atas sana sedang disiksa, dan suaranya membuat telinga Rendra berdenging.
Suara jeritan itu diiringi oleh hujan yang makin menggila. Hujan yang turun kini terasa seperti hujan batu, butiran-butiran air itu menghantam atap dan dinding dengan kekuatan yang luar biasa.
Rendra melihat lampu minyak tunggal di tengah aula. Lampu itu berkedip-kedip, hampir padam.
Lampu minyak padam sendiri.
Kegelapan total menyelimuti Balai Desa. Kegelapan yang lengket, tebal, dan penuh bau amis.
Rendra mencengkeram erat Dimas, senternya mati karena basah. Ia dikelilingi oleh suara benturan dan teriakan histeris dari luar.
Di tengah kegelapan yang pekat, ketakutan Rendra mencapai puncaknya. Ia tidak bisa melihat apa-apa, tetapi ia bisa mendengar.
Suara langkah-langkah basah mendekat.
Bukan hanya di luar. Suara itu kini berada di dalam Balai Desa.
Langkah-langkah itu adalah gemericik air yang bergerak, pelan, berirama, seolah seseorang baru keluar dari rawa dan berjalan di lantai kayu yang kotor.
Langkah-langkah basah itu bergerak di sepanjang tepi dinding. Satu. Dua. Tiga. Mereka bergerak lambat, seolah sedang menikmati teror yang mereka ciptakan.
Suara Dimas terdengar di telinga Rendra. “Dia datang, Kak. Mereka datang. Dia mau aku.”
Tiba-tiba, langkah-langkah basah itu berhenti. Mereka berhenti di depan pintu kantor Kepala Desa yang tadi Rendra buka.
Rendra menahan napas. Ia hanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdebar di tengah kegelapan total.
Lalu, terdengar suara jeritan yang memekakkan telinga. Jeritan itu datang dari luar, dari arah gerombolan penduduk desa.
Itu adalah jeritan manusia yang diserang secara tiba-tiba dan brutal. Jeritan itu segera terpotong.
Lalu, sunyi.
Jeritan itu diikuti oleh jeritan lain, dari sudut yang berbeda. Lalu jeritan ketiga. Semuanya segera sunyi.
Penduduk desa yang kerasukan telah menjadi korban Yang Basah.
Rendra tahu, entitas itu tidak hanya menyerang dari luar. Itu menyerang dari dalam, menggunakan air dan kegelapan.
Di kegelapan Balai Desa, Rendra mendengar suara lain. Suara aneh, seperti lumpur yang diaduk, dan tulang yang dipatahkan.
Dimas, di pelukan Rendra, mulai gemetar semakin hebat. Dari mulutnya, terdengar suara yang sangat jauh, suara tangisan Laras yang samar. Dimas menjadi penerima frekuensi horor itu.
Rendra meraba-raba di lumpur, mencari senternya yang mati. Ia menemukan kotak korek api basah di sakunya. Ia harus melihat. Ia harus tahu.
Ia berhasil menyalakan sebatang korek api, api kecil yang rapuh berkedip di kegelapan Balai Desa.
Cahaya korek api itu mengungkapkan kengerian yang membuat Rendra hampir berteriak.
Lantai aula yang tadi hanya dipenuhi lumpur, kini penuh dengan lumpur merah kental.
Dan di tengah lumpur merah itu, tergeletak tubuh-tubuh tanpa kepala.
Itu adalah para penjaga Balai Desa, penduduk yang tadi berjaga di aula. Tubuh-tubuh mereka tergeletak kaku, dengan leher yang putus. Darah mereka bercampur dengan lumpur, menciptakan genangan merah pekat yang berbau amis.
Tubuh-tubuh itu telah diserang oleh sesuatu yang sangat kuat dan sangat cepat, meninggalkan jejak kebrutalan yang tak tertahankan.
Korek api itu padam. Kegelapan kembali menyelimuti.
Rendra mencengkeram Dimas, panik. Ia harus lari. Sekarang.
Tiba-tiba, lampu minyak di tengah ruangan menyala kembali. Tidak ada yang menyentuhnya. Lampu itu menyala dengan sendirinya, memberikan cahaya yang lemah dan berkedip.
Cahaya itu menyinari lantai, ke tempat di mana tubuh-tubuh tanpa kepala itu berada.
Dan di antara genangan lumpur merah dan tubuh yang terpotong, Rendra melihat jejak kaki basah.
Jejak kaki itu bukan jejak kaki manusia normal. Itu adalah jejak kaki telanjang yang besar, tetapi telapak kakinya tampak terlalu panjang, dengan jari-jari yang berlumut, dan melangkah dengan berat.
Jejak itu berasal dari pintu Balai Desa yang hancur, melewati tubuh-tubuh yang terpotong, dan berakhir di... dinding belakang, tempat Rendra dan Dimas bersembunyi.
Rendra melihat ke atas. Di dinding kayu, tepat di atas kepala mereka, tertulis sebuah pesan baru. Ditulis dengan cairan merah kental.
“Tumbal Pertama Harus Dibayar.”
Pesan itu bukan ditulis oleh tangan manusia.
Rendra mendongak. Di sana, di sudut ruangan, berdiri sesosok bayangan. Tinggi, kurus, dan sepenuhnya basah kuyup. Ia tidak bisa melihat wajahnya, tetapi ia bisa merasakan dinginnya air yang memancar darinya.
Itu bukan Yang Basah sebagai Laras. Ini adalah manifestasi kemarahan dari semua yang mati, entitas yang terbentuk dari lumpur, air, dan dendam.
Rendra memeluk Dimas. Dimas, yang kini diam, hanya menatap bayangan itu dengan mata yang basah, kuku hitamnya mencengkeram jaket Rendra.
Mereka harus lari. Rendra melihat ke arah pintu yang terbuka. Di sana, di tengah genangan lumpur merah, ada kesempatan.
“Kita harus ke Nyai Melati, Dimas!” teriak Rendra.
Mereka berlari, melompat di atas tubuh-tubuh yang terpotong. Rendra tidak melihat ke belakang. Ia hanya merasakan dingin, bau amis, dan urgensi untuk menyelamatkan Dimas.