Membawa Bayi Kembar Sang CEO

Farah duduk di sisi tempat tidur menatap kedua anak itu. Alia sempat memeluknya erat dari biasanya sebelum akhirnya tertidur di sisi kakaknya.

Wajah mereka damai.... membuat hati Farah terenyuh melihat itu. Ditambah lagi pertanyaan Anaya masih terngiang begitu jelas.

'Mama, siapa papa aku?'

'Papa, kemana? Kenapa papa ngak pernah datang?'

'Apa paman Dimas bisa jadi papa kita?"

Farah menghembuskan nafas panjang, seolah beban tiga tahun terakhir kembali menyusut menjadi satu titik di dadanya.

Farah menyelimuti anak-anak, mencium pucuk kepala nya dengan penuh kasih sayang sebelum ia turun ke bawah.

Farah duduk di meja kecil, tempat ia bekerja. Kedua tangannya menutup wajah, menenggelamkan wajahnya di balik kedua telapak tangan itu.

Perasaan campur aduk mengalir begitu kuat— merasa bersalah, takut, marah, dan lega secara bersamaan.

Rasa bersalah karna ia merasa perannya saja sudah cukup membahagiakan kedua anaknya. Ia sudah berusaha menjadi sosok ibu dan ayah untuk mereka. Tetapi dia salah, ternyata selama ini anak-anak nya merindukan sosok ayah.

ia sudah membesarkan anak-anak tanpa seorang ayah sejak awal. Ia melewati malam panjang tanpa tidur nyenyak, kesulitan uang, dan kekhawatiran yang tak pernah ia ceritakan dengan siapapun.

Namun pertanyaan putrinya membuatnya sadar bahwa anak-anaknya sudah tumbuh besar. Pertanyaan seperti ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Namun, Farah belum siap akan hal itu.

Sampai sekarang, ia masih menyimpan trauma akan masalalu nya. Ketakutan yang berlebihan—gangguan kecemasan atau anxiety disorder. Kondisi ini adalah gangguan mental di mana seseorang mengalami rasa cemas, takut, atau khawatir yang berlebihan, sulit dikendalikan.

Farah menekan dadanya, menahan Sesak. "Maafkan mama ya, Anaya.... Angkasa," bisiknya lirih. "Maaf kalau mama belum bisa jawab semuanya,"

Matanya terasa panas.

Dinding tebal yang ia bangun selama bertahun-tahun akhirnya runtuh, air mata yang ia sembunyikan selama ini mengalir tanpa bisa ia tahan.

Farah menutup wajahnya dengan kedua tangan. Membiarkan dirinya menangis dalam diam.

Tangis seorang ibu yang selama ini terlihat tegar dan kuat akhirnya pecah karena terlalu lama harus kuat sendirian.

Ketika Farah larut dalam kesedihannya, angkasa membuka mata karena mendengar suara pelan seperti orang menahan tangis.

Angkasa bukan tipe anak bangun malam. Biasanya sekali tidur ia akan pulas sampai pagi. Namun malam Itu berbeda. Suara Isak tangis itu mengusik tidurnya.

Ia pikir itu Anaya.

Tapi ketika menoleh adiknya tidur pulas di sampingnya.

Angkasa mengucek matanya sebelum akhirnya bangun.

Ia bangkit perlahan agar tidak membangunkan sang adik. Ia bangkit dari ranjang mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka.

Ia melihat mama duduk di meja kerja, bahunya naik turun, wajahnya ia tutup dengan kedua tangannya. Suara itu berasal dari mama.

Cahaya lampu temaram memperlihatkan bagaimana mama menyeka air matanya dengan cepat seolah takut ada yang melihatnya.

Angkasa mematung menyaksikan itu.

ia belum pernah melihat mama menangis seperti itu. Dan ia yakin itu bukan air mata bahagia.

Mama selalu kuat, selalu tersenyum, selalu bilang baik-baik saja. Tadi malam ini, ia menyaksikan mama menangis sampai terisak.

Ia Tahu pasti sesuatu telah terjadi.

Angkasa mendengar samar-samar pembicaraan mama dengan adiknya tadi.

Ayah?

Kata papa terasa asing baginya. Selama ini ia tidak perduli dengan siapa sosok papa asal mama dan adiknya— Anaya, baik-baik saja, ia tidak membutuhkan siapapun termasuk ayah. Baginya mama adalah segalanya.

Angkasa kembali naik ketempat tidur, ia berbaring sambil memeluk lengan Anaya, matanya masih terbuka menatap wajah damai sang adik.

Dikepala nya satu kesimpulan muncul jelas.

Ayah adalah alasan mama menangis.

ia tidak tahu siapa ayah mereka? Tidak tahu ada dimana? tidak tahu bagaimana wujud orang itu.

Tapi ia tahu satu hal, Orang itu yang telah membuat mama menangis.

Ia menggigit bibir, menahan emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Antara marah, benci, dan terluka.

Angkasa memeluk erat adiknya, "jangan tanya yagi coal papa." bisiknya, walaupun adiknya itu tertidur. "Kita punya mama, itu cudah cukup."

Dengan pandangan kosong ia menatap langit-langit kamarnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan membiarkan orang itu membuat mama menangis lagi.

Jika suatu hari nanti, orang itu datang, ia akan menjadi garda terdepan melindungi mama.

Ia membenci orang yang telah membuat mama menangis.

Pelan-pelan matanya mulai terpejam, namun sebelum benar-benar tidur ia berbisik pelan.

"Acu janji bakalan jagain mama Dali olang jahat itu."