Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hijrah Rasa -17
Siang itu, matahari bersinar terik, namun hawa kota tetap dingin. Dua gadis, mengenakan coat berwarna cokelat dan abu-abu, duduk di taman kampus IUAV University Tolentini. Farah dan Zira berbincang ringan, membahas seminar yang baru saja mereka ikuti di Aula Magna, kampus utama IUAV Università, Venezia.
Pagi tadi, mereka berjalan kaki menyusuri jalanan batu menuju Santa Croce 191, tempat digelarnya seminar tahunan bertema "Islamic Architectural Heritage and Contemporary Urban Identity". Seminar itu menghadirkan peneliti dan arsitek dari berbagai negara, membahas pengaruh gaya arsitektur Islam dalam konteks Eropa modern, serta jejak sejarahnya yang masih kuat terasa di kota-kota seperti Granada, Cordoba, bahkan Venezia.
Bagi dua gadis itu yang notabene seorang mahasiswi S2 Arsitektur—acara ini adalah peluang langka. Selain bisa menyimak langsung pemaparan para ahli, mereka juga berharap dapat menjalin relasi akademik yang bisa memperkuat posisi mereka sebagai calon arsitek internasional.
Farah menyandarkan tubuh, sesekali mengelus lengan karena angin menusuk. Zira duduk dengan kaki menyilang, tangan dimasukkan ke saku coat-nya.
“Planning ke Basilika Santo Marco gimana?”Ujar Farah tiba-tiba.
“Ngapain? Bukannya kamu nggak suka bau-bau Islam gitu?”Jawab Zira santai, alisnya terangkat. Nada suaranya seperti menyindir, bukan bertanya.
“Apaaan sih. Mulai deh,” Farah memutar bola matanya malas. Tapi bibirnya masih menahan senyum. “Kalau nggak suka, ngapain coba aku ikut seminar ini.”
Zira terkekeh. “Ini fakta, Fa. Ngapain juga kamu jauh-jauh kuliah di sini, padahal kamu tahu kan, hampir semua bangunan di kota peninggalan islam, apalagi yang kita pelajari hampir semuanya ada jejak Islam-nya.”
Farah menghela napas pelan.“Kamu juga tahu kali, Ra. Basilika Santo Marco itu gereja. Ya, gue akui arsitekturnya banyak ornamen Islam, tapi at least... itu gereja.”
Zira tertawa pendek. “Fa, mau kamu ngeles sampai ke ujung Italia pun, percuma. Kamu makin kelihatan bodoh.” Ada jeda kecil sebelum dia melanjutkan. “Dan alasan kamu milih kuliah di sini bukan semata karena IUAV itu top banget kan?”
“Ra, please—” Farah mencoba mengelak, tapi Zira memotong cepat.
“Karena kamu dulu punya tujuan, datang ke sini bukan buat kuliah doang. Tapi karena kamu pengen riset soal peradaban Islam dan sejarahnya, kan, Fa?” tanya Zira sambil menahan tawa.
Zira benar.Farah dulu begitu mencintai sejarah Islam, menyelami setiap kisah dengan penuh semangat. Tapi setelah luka besar menghantam keluarganya, ia menjauh— bahkan nyaris kehilangan semua kepercayaannya ,hatinya terlalu lelah untuk bertanya. Kini, tanpa sadar, jejak-jejak itu kembali menghampirinya. Perlahan, ia mulai membuka diri, seolah hatinya rindu pada sesuatu yang pernah membuatnya utuh.
“Iya, kamu benar dulu aku pernah punya impian menapaki jejak peradaban Islam di kota kanal ini. Puas, Mrs. Rayyan?” Farah mendesis kesal.
Tawa Zira semakin lepas. Tapi bukan tawa mengejek. Lebih pada tawa karena akhirnya Farah jujur.
“Assalamualaikum.”
Sebuah suara bariton menyela. Serentak, keduanya menoleh.
Seorang pria berdiri di depan mereka. Coat hitam panjang, celana semi-formal abu, sepatu pantofel, dan sorot mata teduh yang mengamati mereka bergantian. Udara seolah berhenti sejenak.
Farah langsung tersenyum. Sementara Zira, sempat terdiam sepersekian detik, lalu buru-buru menjawab salam.
“Wa’alaikumussalam,” ujar Zira terbata, matanya sekilas melirik Farah yang kini tampak berseri.
“Kalian juga di sini?” tanya pria itu ramah.
Farah mengangguk. “Iya, Bang. Ikut seminar abang tadi.”
Almeer Amani. Nama itu terngiang kembali di kepala Zira. Pria asal Turki itu adalah pemateri utama seminar tadi pagi—peneliti sejarah arsitektur Islam yang presentasinya membuat ruangan Aula Magna senyap dan terpukau.
Almeer tersenyum, lalu menangkupkan tangan ke dada, memberi salam khas. Sorot matanya ramah, tapi dalam.
Zira mengangguk dan menirukan gestur itu, meski masih menyisakan keterkejutan dalam ekspresinya.
Percakapan pun mengalir. Mereka bertukar cerita soal pameran arsitektur Islam yang akan digelar minggu depan di Sala Scarpa, diskusi soal desain kubah di Alhambra, dan relasi tipologis antara masjid-masjid kuno dan gereja Bizantium.
“Masya Allah, Bang Almeer ini... pastinya udah sering ke Granada dan Cordoba?” tanya Zira antusias, matanya membesar.
Almeer mengangguk pelan. “Alhamdulillah. Dua tahun lalu.”
“Hagia Sophia juga, Bang?”
“Alhamdulillah, pernah.”
Farah yang dari tadi lebih banyak diam, kini angkat suara. “ Maaf ya bang Kalau boleh tahu, Abang... kenapa fasih banget Bahasa Indonesia? Pernah tinggal di Indonesia atau memang sudah—”
Zira menyenggol bahu Farah pelan. Tapi Almeer menjawab dengan tenang.
“Saya ada darah Indonesia. Ayah saya orang Malang.”
“Masya Allah.” Zira menatapnya dengan mata berbinar, senyumnya tulus.
Farah berdehem pelan. “Suami, ingat,” bisiknya lirih.
Zira menyikut lengan Farah. “Bawel.”
Almeer melirik jam tangannya. Wajahnya berubah sedikit serius.
“Maaf, saya harus pergi sekarang. Ada janji dengan salah satu dosen di sini.”
Zira dan Farah ikut berdiri.
“Baik, Bang. Sampai ketemu lagi. Makasih banyak atas waktunya,” ujar Farah sopan.
Almeer kembali mengulas senyum.
“Oh ya, Fa… saya sudah coba hubungi Azzam soal rencana kita ke Basilika, tapi belum dibalas. Bisa tolong sampaikan ke dia langsung?”
Senyum Farah agak kaku. “Iya, Bang. Nanti saya sampaikan ke Bang Azzam.”
Zira langsung tergelak. Hampir terbahak.
“Kalau begitu saya pamit dulu. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Begitu Almeer menghilang di balik dinding kampus, Zira tak bisa menahan tawanya.
“Bisa diam nggak!” seru Farah, gemas.
“Ke ujung dunia pun, jodoh kamu itu tetap Bang Azzam, Fa.” Zira terbahak. Ada jeda. “Wait, Bang Almeer tahu nggak, kalau kamu sama Azzam udah nikah?”
Farah menggeleng pelan. “Nggak. Bang Azzam bilang ke Bang Almeer kalau aku adiknya.”
“What? Bang Azzam ngomong gitu?” Zira tampak kesal.
“Udahlah, nggak usah dibahas.” Farah hanya terkekeh.
Farah tahu, dan sadar, pernikahan mereka bukan karena cinta. Farah memanfaatkan Azzam demi impiannya kuliah di Venezia, sementara Azzam memanfaatkan koneksi keluarga Farah untuk bisnis propertinya. Ayah Farah, Danial Adhyaksa, pengusaha tekstil dan properti ternama, sahabat ayah Azzam. Mereka hanya pion dari kesepakatan impian dan sebuah ambisi.
Namun, kota ini perlahan mengubah segalanya.
Dan mungkin, di antara arsitektur Islam, Farah sedang membangun ulang satu bangunan paling rumit: hatinya sendiri.
***
Kantor pusat perusahaan Azzam berdiri kokoh di tengah Cannaregio, distrik bisnis yang tenang di tengah semarak turis Venezia. Pagi itu, kanal kecil di luar jendela memantulkan cahaya keemasan matahari musim semi. Suara air yang tenang berpadu dengan derik kipas angin gantung dan denting jam antik di dinding.
Azzam duduk di balik meja kerjanya. Jas hitamnya tergantung di sandaran kursi, kemeja hitam pas tubuh tampak rapi tanpa cela. Di atas hidungnya, kacamata tipis membingkai mata yang fokus pada layar laptop. Jari-jarinya bergerak cepat, sesekali berhenti hanya untuk menarik napas dalam dan lepas lagi dengan helaan berat.
“Mau sampai kapan kamu, menyakitinya seperti itu, Zam?” Ujar Rayyan Pria berwajah teduh itu.
Rayyan bersandar di sofa berbahan suede abu tua, tak jauh dari meja kerja Azzam. Suaranya pelan tapi mantap.
Azzam menghela napas kasar. “Sampai dia menyerah. Sampai dia sadar kalau pernikahan ini bukan permainan, bukan batu loncatan buat impiannya.”
Rayyan menggeleng pelan, pandangannya menusuk. “Lantas menurut kamu, apa sudah benar kalian melakukan itu?”
Azzam tidak menjawab. Sekilas menoleh, lalu kembali pada layarnya.
“Saya tahu, Zam. Kamu nggak akan mau melakukan itu kalau nggak ada perasaan. Pasti,” Sindir Rayyan.
Azzam mendengus pelan. “Jangan sok tahu, Gus.”
Rayyan terkekeh. “Lantas buat apa kamu menikahinya? Saya kenal kamu sudah lama Zam. Kamu tidak pernah ambil keputusan kalau bukan karena sesuatu.”
“Ray… sudahlah. Saya nggak mau bahas ini.”
Suara Azzam datar, tapi nadanya serak. Ada sesuatu di balik ketegasannya—entah mungkin rasa bersalah
Rayyan menyilangkan tangan, lalu tersenyum tipis. “Mulai sekarang, perlakukan dia dengan baik. Dia istri kamu, cinta atau tidak perlakukan dia layaknya istri kamu.”
Azzam diam. Tapi diamnya membenarkan ucapan Rayyan. Ia hanya tidak siap membenarkan kebenaran yang baru saja diucapkan sahabatnya.
Pintu ruangan terbuka. Langkah sepatu hak tinggi berdetak pelan di lantai marmer.
Sienna masuk, membawa sesuatu di tangannya. Rambut blonde gold-nya dikepang samping, blus putih dan rok hitamnya memberi kesan profesional dan berani sekaligus.
“Zam, gue bawain lo sesu—”
Ia terhenti saat melihat Rayyan di sofa, dan Azzam di balik meja.
Rayyan menoleh, santai. “Assalamualaikum.”
“Maaf, gue lupa. Waalaikumsalam.” jawab Sienna cepat.
Rayyan hanya mengulas senyum, kembali menatap iPad di tangannya. Jarinya berselancar di layar, seolah tidak terganggu sama sekali.
Sienna meletakkan bungkusan di atas meja kecil dekat Rayyan, lalu beralih ke sisi meja Azzam.
“Perlu gue bantu?”
“Nggak perlu.”
“Nggak apa-apa, sini gue bantu.”
Sienna bersikeras, kini berdiri di belakang Azzam. Satu tangannya bertumpu di meja, tubuhnya condong ringan ke arah pria itu.
Rayyan berdehem pelan. Suara itu cukup untuk menyadarkan keduanya akan jarak yang terlalu dekat.
Azzam segera berdiri. “Na, tolong ya. Lo bantu kerjain kerjaan gue.”
“Oke. Lo tenang aja. Gue bisa kerjain ini kok,”
Sienna menjawab ringan, meski sorot matanya sempat bertaut dengan milik Rayyan sekilas.
Azzam berpindah ke sofa, duduk di sebelah Rayyan. iPad di tangannya menyala. Ia mulai memeriksa file dari Rizam yang masuk semalam.
Ponsel Rayyan bergetar. Ia menjauh sedikit, berdiri di depan jendela besar yang menghadap kanal. Cahaya matahari sore mencuri masuk, membias di lantai marmer.Setelah beberapa menit, ia kembali.
“Zira ngajak makan malam di kafe dekat apartemen. Bisa kan?”
Azzam mengangguk pelan. “Bisa. Insya Allah.”
Sienna langsung mengangkat wajah dari layar monitor.
“Tapi Zam, malam ini kita ada janji dengan Tuan Audero.”
Azzam menoleh sekilas lalu merogoh sakunya, dan menelepon seseorang. Setelah bicara singkat, terdengar ketukan di pintu. Seorang wanita muda masuk—rapi, dengan rambut diikat sederhana.
“Bapak panggil saya?” katanya dalam bahasa Venezia.
“Iya, Valeri. Saya minta tolong kamu gantikan saya menemani Sienna bertemu Tuan Audero malam ini .Haris akan mengantar kalian,” ucap dalam bahasa venezia.
Mata sienna membulat.“Zam, harus lo yang hadir dong.”
Azzam tak menoleh. Ia hanya bicara pelan pada Valeri, lalu mempersilahkannya keluar.
Pria itu menoleh kembali pada Sienna.
“Lo bisa pergi dengan Valeri malam ini. Gue ada acara keluarga.” ujar Azzam datar,
Sienna mendengus. Ia kembali ke layar laptop, menahan geram yang tak sempat tertumpah. Mau tak mau, ia harus menerimanya—Azzam bukan hanya sahabatnya, tapi juga atasannya.
Rayyan tersenyum kecil. Ia tahu: Azzam masih punya nurani.
Rayyan tahu, Dan di balik semua luka yang ia toreh, masih ada hal yang ingin ia perbaiki.
Sementara Azzam menatap Sienna, terlihat gurat kesal di wajah wanita itu.
“Sorry Na, sudah seharusnya kita akhiri semuanya,” monolognya.
____
Di sebuah kafe mewah yang ramai di kota Venezia, suasana malam terasa begitu hidup. Di luar, kanal yang tenang berkilau dengan cahaya lampu yang memantul di permukaan air, menciptakan pemandangan yang indah. Di dalam kafe, tawa dan percakapan memenuhi udara, tetapi ada dua sosok yang duduk dengan intim, berbicara dengan semangat—Zira dan Farah, yang sedang menikmati secangkir kopi setelah seminar panjang.
“Bisa-bisanya ya, kita nggak ngeh kalau Bang Almeer itu seorang peneliti Islam,” kekeh Zira, tertawa geli dengan rasa malu. Ia menutup wajah dengan tangan, seakan tidak percaya bisa sedalam itu melewatkan informasi penting.
“Bener, padahal dia sempat ngomong loh waktu itu, tapi kita nggak sadar. Dan yang paling mengejutkan, dia salah satu dosen pembimbing di IUAV,” jawab Farah, masih terdengar kagum dengan kenyataan yang baru saja mereka ketahui.
“Iya, aku denger juga tadi dari asdos, pas dia ngobrol sama temen kita,” kata Zira, terus berbicara dengan bersemangat. “Semoga dia bisa jadi pembimbing kita nanti,” ujar Farah, tersenyum kecil dengan harapan yang mulai mengalir.
“Aamiin paling kenceng!” Zira menjawab penuh antusiasme, terkekeh ringan, senangnya meluap.
Namun, tawa mereka tiba-tiba terhenti saat dua sosok pria menghampiri meja mereka. Azzam dan Rayyan, dengan langkah tenang mereka, seolah membawa suasana baru yang lebih intens.
“Assalamualaikum,” sapa mereka berdua, senyum mereka seirama, penuh ketulusan.
Farah dan Zira menoleh, dan Zira membalas dengan hangat, “Waalaikumusalam,” sambil tersenyum, tetap ceria meski sedikit terkejut.
“Asyik banget nih kayaknya,” kata Rayyan, duduk di sebelah Zira dengan ekspresi ceria. Azzam memilih duduk di samping Farah, perlahan namun pasti, menurunkan tubuhnya dengan tenang.
Farah hanya sempat menoleh ke Azzam, mata mereka bertemu sejenak. Ada semacam percakapan yang tak terucap di antara keduanya, namun hanya berlangsung sekejap—Farah langsung mengalihkan perhatian pada Zira yang kembali bercerita dengan penuh semangat.
“Gini loh Mas, tadi aku sama Farah ke seminar di IUAV pusat, kita nggak nyangka bisa ketemu Bang Almeer, dan kebetulan dia salah satu pembicara. Aku terkejut banget, pantas aja dia tahu banyak tentang sejarah peradaban Islam dan seluk-beluknya. Ternyata dia seorang peneliti Islam!” Zira berbicara cepat, wajahnya menyiratkan kekaguman yang dalam.
“Hmm... Almeer Ar-Rasyid, bukan?” tanya Rayyan, alisnya sedikit terangkat, menunjukkan ketertarikan yang mendalam.
Zira menoleh pada Farah, seolah meminta konfirmasi. “Fa, nama aslinya siapa sih? Kamu kan udah sering ketemu sama dia.”
Farah menggeleng pelan, matanya mencari-cari jawaban. “Kalau tidak salah, namanya Almeer Amani Ar- Rasyid. Aku ketemu ya kebetulan aja, nggak berani nanya,” jawab Farah hati-hati
suaranya agak meredup.
Tanpa sadar, matanya kembali teralihkan pada Azzam yang sejak tadi terus menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca.
“Kenapa? Baru sadar kalau istrimu ini cantik,” bisik Farah pelan sembari mendekatkan wajahnya pada Azzam.
Azzam mutar bola matanya malas, lalu mengalihkan padangannya kearah lain. “Idih…
anda terlalu percaya diri nona.”
Wajah Farah terlihat kesal. “Kalau gitu, nggak usah mepet -mepet juga kan.” Seketika Farah memundurkan kursinya agar sedikit berjarak dari Pria itu.
Zira dan Rayyan saling berpandangan, menahan tersenyum tipis. Mereka bisa merasakan masih ada ketegangan antara Farah dan Azzam tapi mereka memilih untuk tidak membahasnya membiarkan waktu yang akan menjelaskan.
Mereka kembali berbincang-bincang soal rencana liburan mereka. Seperti biasa Zira lah yang paling antusias soal liburan mereka, padahal liburan semister masih beberapa bukan lagi.
Tak terduga Farah ditengah obrolan mereka, Farah kembali mendapati Azzam, menatapnya begitu dalam. Farah mengerutkan keningnya. Lalu berkata. “ Mas… kenapa sih?” Tanya Farah.
sembari mengibas-ibas tangannya di depan wajah pria itu, berusaha menarik perhatian pria itu yang tampak begitu terbenam dalam pikirannya.
Namun, Azzam tetap diam.
Farah menoleh pada Zira dan Rayyan, keduanya hanya tersenyum kecil. Mereka tahu Azzam sedang terperangkap dalam pikirannya sendiri, entah apa yang mengganggu hatinya. Tapi tak ada yang berani bertanya lebih jauh.
Farah kembali mencoba, kali ini dengan lebih keras.. “Mas!” Pekik Farah bersamaan dengan tepukan keras pada jidat pria itu.
Azzam mendongak perlahan, merasa perih pada jidatnya.
“Kenapa sih?Main tabok-tabok aja.”
Farah tergelak. “Ngapain sih bengong gitu, Aku kirain Mas, sekarat.”
Azzam menyentil kesal jidat istrinya. “Mulutnya.”
“Ishh…Sakit tau, harusnya mas bersyukur. Aku khawatir tau,” ucap Farah lirih sembari menunduk.
Azzam dengus pelan.“Nggak usah, sok perhatian pakai khawatir segala.Cih.”
Farah menoleh tajam. “Dasar, manusia kutub. Udah di khawatirin juga.Makasih kek,” kesal Farah.
“Pamrih banget,” Cibir Azzam.
Tanpa angin tanpa hujan, Farah tiba-tiba terisak.
“Seharusnya Mas minta maaf karena bermesra-mesraan dengan wanita lain. Merasa bersalah sedikit saja bisa, kan? Mas nggak lupa kalau aku ini istrimu,” ucapnya dengan suara bergetar.
Seketika hati Azzam mencelos, reflek dengan gerakan cepat Azzam menarik tubuh Farah dan memeluknya. “Maaf,” ucap Azzam pelan.
Sementara Zira dan Rayyan mengulas senyum. Tanpa Azzam dan Farah sadari perlahan Kedua berdiri dari kursinya hendak meninggalkan kedua, memberi pasangan itu ruang untuk mengurus rumah tangganya.
Baru beberapa langkah Rayyan dan Zira melangkah, tapi tiba-tiba keduanya berhenti. Tanpa sadar, pandangan mereka terpaku pada seorang wanita yang sedang berjalan cepat ke arah Azzam dan Farah.
Zira refleks maju.
“Eh—jangan dulu…”
Tapi sudah telat.
Suara wanita itu langsung menggema.
“Azzam… ngapain lo peluk dia?”
Farah dan Azzam sontak melepas pelukan mereka. Ekspresi mereka sama—kaget, bingung, seperti nggak siap sama sekali.
Rayyan hanya mengerutkan kening. Zira menahan napas.
Wanita itu berdiri tepat di depan keduanya. Matanya menatap tanpa kedip, ada sesuatu yang jelas-jelas ditahannya.
Lalu dengan suara lebih pelan, tapi justru lebih menusuk.
“Ini maksudnya apa, Zam? Bisa lo jelasin?”