Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 Dunia anak Kampus
Dunia anak kampus dengan segala kebebasannya. Ini pertama kalinya. Bagi Nuha, it's okey. Karena dia ingin melihat dunia 'yang sedang ia pijak' dengan lebih luas lagi.
Gedung clubbing itu menjulang dengan dinding kaca berkilau, lampu neon menari di setiap sudut. Musik berdentum samar dari balik pintu logam besar yang dijaga dua petugas berpakaian hitam. Aroma parfum mahal dan asap rokok bercampur dalam udara malam yang lembap.
“Ehm… aku cuma ingin menghargai kebaikan Kanaya.” Ia menegakkan tubuh, menarik napas dalam-dalam, berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Nuha memilih duduk di sudut yang agak sepi. Jauh dari Sari dan riuh pengunjung yang menari dengan lampu strobo menyalak-nyalak seperti kilat buatan manusia, menembus kabut tipis dari mesin asap.
Di tengah ruangan, tubuh-tubuh bergoyang, berdesakan dalam ritme liar yang dikendalikan DJ di atas panggung. Headset menempel di telinga, jemarinya lincah memainkan musik 2PM – Put Your Hands Up yang menggema lewat dentuman bas mengguncang dada.
Sari berada di antara kerumunan itu. Berteriak sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi. Matanya berkilat-kilat tertimpa lampu merah dan ungu, ia menari. Bagi Nuha, Sari adalah gabungan antara Asa dan Sifa. Berani, ceplas-ceplos, dan penuh energi muda, meski mulutnya tak pernah lepas dari kata-kata kasar.
🎶 Now put your hands up, put your hands up
Put put put put put !!!
🎶 Put your hands up, put your hands up
Put put put put put !!!
Sedangkan Kanaya… Kanaya seperti perpaduan Fani dan Sifa. Tenang, supel, tapi juga punya sisi berani yang muncul di waktu tak terduga. Hanya saja, dia selalu kalah dengan Sari. Menuruti apapun permintaannya.
Anak-anak kampus seperti Kanaya dan Sari baginya bukanlah hal baru. Mereka seperti versi kampus dari teman-temannya dulu di sekolah. Random, spontan, dan selalu tahu cara menikmati hidup, bahkan di tengah kekacauan.
Tatapan Nuha jatuh pada kartu nama di tangannya. Ya, dia tak bisa bertemu langsung dengan Ellisa Mentari. Bodyguard wanita itu hanya menatapnya curiga sebelum akhirnya 'dengan sedikit rasa iba' memberikan kartu itu.
Nuha mengarahkan kamera ponselnya, mengabadikan dalam bentuk media. Barcode di pojok bawahnya memunculkan tautan yang langsung membawanya ke laman butik milik Ellisa. Lengkap dengan visual butik, katalog koleksi dan desain rancangannya.
Nuha terkagum-kagum. “Hebat… aku nggak nyangka, bisa sekeren ini.” Suaranya hampir tak terdengar di tengah dentuman musik.
Dulu, di SMK jurusan multimedia, ia dikenal jago desain grafis dan paham seluk-beluk komputer. Setelah lulus dan sibuk bekerja, semua itu sempat ditinggalkannya. Kini, kuliah di jurusan baru membuat semangat lamanya perlahan bangkit lagi.
“Sehebat apa ya suaminya itu?” gumamnya sambil menggulir halaman. “Bahkan Kak Muha aja, yang lulusan Ilmu Komputer, kalah jauh. Naru bahkan nggak jago tentang komputer.”
Ia tiba-tiba berhenti, menyadari arah pikirannya. “Eih... kenapa aku malah ngomongin dia?” pipinya memanas. Wajahnya cemberut sendiri, “Suami mesum itu, suka banget curi-curi kesempatan. Hih! Sebal! Aku nggak mau ketemu dia lagi!”
Tepat saat itu, Kanaya datang membawa dua gelas minuman dingin. “Nah, ini dia minuman penenang buat calon fashion desainer hebat yang lagi manyun,” goda Kanaya sambil duduk di sebelahnya.
“Terima kasih, Kanaya.”
Nuha meneguk minuman itu tiga kali tanpa curiga dan langsung tersedak hebat. “Ahak! Ahak! Ini apa, sih?!” batuknya tersengal.
“Alkohol,” jawab Kanaya santai, bibirnya membentuk senyum nakal. Ia menyilangkan kaki, meneguk minumannya dengan elegan.
“Aku-- aku mau pulang!” seru Nuha, berdiri tergesa sambil menepuk dadanya yang makin terasa panas. Mungkin nyatanya, suasana itu terlalu asing baginya. Kanaya segera menahan lengannya.
“Santai, Inara. Maaf ya, aku nggak nyangka kamu nggak biasa. Aku ganti deh minumannya, mau jus apa?” tawarnya.
“Nggak usah, Kana. Ini juga udah malam banget. Aku akan minta kakakku buat jemput aja.” Nuha mulai merasa tak nyaman.
Baru saja Nuha hendak mengeluarkan ponsel, terdengar suara dari depan. “Dek Nuha? Wah? Suka clubbing juga sekarang?”
Nuha membeku.
Suaranya dikenalnya. Dan memang benar, sosok yang berdiri di depannya adalah Wisnu. Lelaki itu menatapnya dengan ekspresi campuran antara heran dan geli.
Wisnu sendiri sudah terbiasa berada di tempat seperti ini. Ia sering menemani Pak Syarif yang gemar bermain-main dengan wanita muda di tempat dansa semacam itu. Tapi melihat Nuha di sini… itu pemandangan langka.
“Aku... mau pulang aja,” ucap Nuha.
Melihat Nuha tak nyaman, Wisnu mengerti. "Kita cari udara segar dulu kalo gitu," ajaknya.
Tanpa banyak bicara, Wisnu membawanya menepi dari lautan manusia yang berjingkrak di lantai dansa. Mereka naik menuju balkon terbuka lewat tangga sempit yang berkelok.
Langkah Nuha mulai goyah di pertengahan anak tangga. Kepalanya berdenyut, pusing akibat minuman yang tanpa sadar tadi ia teguk. Dunia di sekitarnya terasa berputar.
“Dek, hati-hati!”
Wisnu sigap menahan bahunya dari belakang. Sentuhan itu stabil. Sekilas, bagi siapa pun yang melihat, adegan itu tampak romantis. Seorang pria memegang bahu seorang gadis di bawah cahaya redup lampu klub. Tapi di dalam kepala Nuha, pemandangan itu pecah menjadi kenangan lama.
Kilasan waktu di tangga sekolah dulu saat ia hampir jatuh karena demam. Seseorang menahannya dengan cara yang sama. Suara lembut itu menggema lagi di telinganya.
“Kamu nggak apa-apa?”
Bibirnya bergerak nyaris tanpa sadar.
“...Naru.”
Wisnu mengernyit. “Naru?”
Nuha tersentak, buru-buru menegakkan tubuhnya. “Eng-- nggak, nggak apa-apa. Makasih, kak...”
Ia menunduk, berusaha menenangkan debar jantung yang tak jelas alasannya, antara pusing, malu, atau rindu yang tiba-tiba menusuk.
“Tunggu sebentar, Dek." Wisnu pergi sebentar, lalu, "Nih, coba minum ini dulu.” Ia menyodorkan segelas air soda dingin dengan irisan lemon. Minuman segar yang sering disediakan di bar buat yang merasa mual atau panas tenggorokan.
“Ini... bukan alkohol, kan?”
Wisnu tertawa kecil. “Kamu pikir aku tega kasih minuman aneh ke anak baik kayak kamu? Ayo, cobain. Bahkan kita udah kenal dua tahun, masa kamu masih nggak percaya?”
Nuha tetap menatapnya ragu. Lalu, tanpa menjawab, ia hanya menatap ke atas menimbang-nimbang sambil mengembuskan napas panjang.
“Ya sudah, kalau minuman aja kamu curiga, ini nih...” Wisnu membuka bungkus kecil dan mengulurkan permen mint.
Nuha menerimanya. Tapi baru beberapa detik setelah memasukkannya ke mulut, wajahnya berubah. “Ya ampun! Permen mint?! Aku nggak suka!!” serunya dengan ekspresi kaget yang lucu.
Wisnu spontan tertawa lepas.
“Pantas aja kamu gampang batuk. Lidah kamu nggak bersahabat sama yang pedes-pedes, ya?” Tawa itu ringan, membuat Nuha menahan pesona dalam diam.
Suasana yang tadinya tenang mendadak mengencang. Sekelompok pemuda di sudut balkon menoleh, matanya menyala begitu melihat Wisnu berdiri dekat Nuha.
“Bukankah itu Wisnu? Si raja judol yang katanya pakai siasat iblis Ifrit buat menang?” bisik satu dari mereka dengan nada penuh kebencian.
“Cuh!" Bos mereka meludah. “Gara-gara dia, kita rugi bandar. Sekarang malah nongkrong enak-enak di sini? Kita labrak dia!”
“Keknya dia lagi deket sama cewek. Imut banget, coy,” seorang ketiga menambahkan, suaranya penuh ejekan. "Asik tuh buat mainan kita."
Tawa kasar mereka pecah, memecah suasana malam. Lalu mereka mulai melangkah mendekat.
“Hallo, Bos,” ujar si pemimpin geng dengan senyum menyeringai. “Kebetulan banget ketemu di sini.”
Darah Wisnu seolah berhenti mengalir. Jantungnya mencelos. Kenapa harus sekarang? Kenapa harus di depan Nuha?
Ia segera menoleh cepat pada gadis itu. “Dek, pergi dari sini. Sekarang,” ucapnya tegas, nadanya berubah dingin. “Ini bahaya.”
Nuha menatap bingung. “Mereka siapa?”
Sebelum Wisnu sempat menjawab, satu pukulan menghantam pipinya keras. Cepat dan kasar. Suara benturannya terdengar jelas seperti retakan di udara malam yang tenang. Wisnu terhuyung. Sudut bibirnya sobek, darah mengalir tipis sampai ke dagu.
“Kya!” jerit Nuha, panik. “Kak Wisnu! Kamu nggak papa?!” Matanya langsung menajam, menatap para pemuda itu penuh amarah. “Siapa kalian?! Apa-apaan ini?!”
Salah satu pemuda maju selangkah, menatap Nuha dengan seringai miring. “Nggak takut, ya? Heh, tahan ceweknya. Biar gue hajar si Wisnu sampai mampus.”
“Jangan macam-macam, ya kalian!” bentak Nuha sambil mendorong pemuda yang mencoba meraih lengannya.
Perkelahian pun pecah dan brutal. Suara pukulan, desis napas, dan denting besi pagar terdengar bersahut-sahutan.
Nuha terpaku di tempat. Tubuhnya bergetar. Dunia yang selama ini terasa damai baginya mendadak runtuh di depan mata. Wisnu, yang selalu terlihat tenang saat menatap ponsel, lembut dalam bicara, dan menenangkan suasana ternyata menyimpan badai yang mengerikan di balik itu semua.
.
.
.
. ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊