JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17. MIMPI BERULANG
Malam-malam setelah peristiwa rogo sukmo itu seolah menjadi ladang gelap bagi Sadewa. Bayang-bayang yang tak kasat mata merayapi setiap detik tidurnya, mengintai dari balik tirai mimpi yang semestinya memberi ketenangan. Namun yang ia dapati justru kengerian yang sama, berulang, tanpa henti, seakan dirinya terperangkap di dalam lingkaran kutukan yang tak sanggup ia lepaskan.
Pada malam pertama, ketika tubuhnya baru saja direbahkan setelah seharian diliputi rasa letih, Sadewa bermimpi. Ia berlari di tengah hutan pekat, daun-daun kering remuk di bawah telapak kakinya, dan di belakangnya terdengar suara derap langkah yang berat, kasar, penuh amarah. Sesekali terdengar ringkikan bukan kuda, melainkan makhluk bertanduk yang menyerupai manusia namun jauh lebih besar. Napas Sadewa tersengal, dadanya naik turun, kakinya gemetar namun tak berani berhenti.
Dalam mimpinya itu, pohon-pohon menjulang seperti bayangan raksasa, dan kabut kelabu menebal, menyesakkan. Di balik kabut, muncullah sosok-sosok menyeramkan. Makhluk-makhluk itu bertanduk panjang, matanya merah menyala, kulit mereka kehitaman dengan urat-urat menonjol. Mereka meraung dengan suara yang menggema, memanggil nama Sadewa dalam nada yang menggetarkan nyali.
"Sa-de-wa ... Sa-de-wa ...."
Suara itu seakan datang dari perut bumi, menggema di telinga hingga menusuk ke dalam batinnya.
Sadewa terus berlari, namun langkahnya tiba-tiba terhenti oleh sebuah bayangan besar. Dari kabut pekat, seorang perempuan tinggi menjulang muncul. Ia mengenakan kebaya tempo dulu, kain jariknya menjuntai hingga menyapu tanah, rambutnya tersanggul rapi, wajahnya semula terlihat cantik, sungguh anggun, dengan tatapan mata yang dalam.
Namun keanggunan itu hanyalah fatamorgana. Perlahan wajah itu berubah. Kulitnya menegang, matanya melotot hingga putihnya menyala, gigi-giginya memanjang seperti taring, dan dari mulutnya keluar suara geraman yang memekakkan.
Di sekeliling Sadewa, makhluk-makhluk bertanduk berhenti berlari, lalu berlutut. Mereka merunduk, bersujud, dan dengan suara serempak memanggil:
"Kanjeng ... Kanjeng ...."
Sadewa menelan ludahnya dalam mimpi itu, tubuhnya kaku, matanya terbelalak tak mampu berkedip. Sosok perempuan itu berdiri di atas sebuah singgasana yang tiba-tiba muncul dari tanah, singgasana berhiaskan ukiran kepala naga dan api yang menjilat-jilat di sekelilingnya.
Ia mengangkat tangan, dan keheningan mendadak tercipta. Hanya suara nafas Sadewa yang tersengal, seolah paru-parunya tersumbat ketakutan.
Perempuan itu lalu mengacungkan jarinya ke arah Sadewa. Suara berat dan dalam keluar dari mulutnya, bukan lagi suara perempuan, melainkan seperti gabungan ribuan suara yang tumpang tindih.
"Wektumu wis teko."
Waktumu sudah tiba. Satu kalimat itu membuat Dewa gemetar setengah mati hingga rasanya ingin muntah saking takutnya bahkan ketika ia tahu kalau ini mimpi.
Tubuh Sadewa dalam mimpinya kaku, terhuyung, sebelum akhirnya ia terbangun.
Sadewa tersentak, matanya terbuka lebar. Malam begitu sunyi, hanya terdengar bunyi jangkrik dan sesekali lolongan anjing di kejauhan. Nafasnya tersengal, keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Ia menatap langit-langit kamarnya yang gelap, namun rasa takut masih mencekik tenggorokannya. Kedua tangannya gemetar, jantungnya berdegup tak karuan.
Ia mencoba menenangkan diri, meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah mimpi. Namun rasa nyata yang menempel di tubuhnya begitu kuat, seakan ia benar-benar berada di hutan itu, benar-benar dikejar, benar-benar ditunjuk oleh sosok mengerikan itu.
Beberapa malam berikutnya, mimpi yang sama datang lagi. Ia mencoba berdoa sebelum tidur, mencoba tidur dengan lampu tetap menyala, bahkan mencoba menahan kantuk. Namun setiap kali ia terlelap, bayangan itu kembali menjemputnya. Hutan, makhluk bertanduk, perempuan berwajah menyeramkan, dan kalimat yang sama, 'Wektumu wis teko.'
Sadewa merasa seperti pelarian yang tak memiliki tempat aman. Tidurnya menjadi neraka yang menjerat.
Hingga pada suatu pagi, setelah tubuhnya terlalu lemah akibat kurang tidur dan jiwanya digerus rasa takut, ia memberanikan diri menceritakan semuanya. Duduk di beranda rumah, di bawah rindangnya pohon mangga, Sadewa menatap wajah Arsel, Tama, dan Eyang. Tangan Sadewa bergetar ketika ia mulai bercerita.
Awalnya ia berbicara pelan, ragu, namun akhirnya semua kata meluncur deras. Ia ceritakan bagaimana ia berlari dikejar makhluk bertanduk, bagaimana perempuan itu muncul dengan kebaya tempo dulu, bagaimana makhluk-makhluk bersujud memanggilnya 'Kanjeng', dan terutama bagaimana sosok itu menunjuk dirinya sambil berkata dalam bahasa Jawa halus bahwa waktunya sudah tiba.
Arsel yang mendengarkan awalnya mencoba menahan diri, namun wajahnya jelas berubah. Matanya membesar, napasnya tercekat. Tama menggenggam lututnya erat, ekspresinya tegang. Dan Eyang, yang biasanya tenang, tiba-tiba saja memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu menggeleng pelan.
"Gusti," desah Eyang lirih, hampir tak terdengar.
Sadewa memandang satu persatu wajah mereka. Dadanya makin sesak ketika menyadari bahwa ketiganya bukan hanya terkejut, tapi juga ketakutan.
"Kenapa, Eyang?" suara Sadewa bergetar. "Kenapa mimpi itu membuat kalian seperti ini? Siapa perempuan itu? Kenapa mereka memanggilnya Kanjeng? Apa maksudnya 'waktumu sudah tiba'?”
Namun tak seorang pun langsung menjawab. Hanya ada keheningan panjang, di mana desir angin yang melewati dedaunan terdengar lebih jelas daripada suara manusia.
Keheningan yang menggantung di beranda rumah itu terasa lebih mencekam daripada mimpi buruk yang Sadewa alami. Burung-burung yang biasanya berkicau riang di pagi hari pun seolah memilih diam, memberi ruang pada suasana berat yang kini menyelimuti.
Sadewa menatap wajah ketiga orang terdekatnya dengan tatapan penuh tanya. Ia ingin mendapatkan jawaban, bahkan sekadar penjelasan yang bisa membuat hatinya sedikit tenang. Namun yang ia dapati hanyalah kebekuan.
Arsel, yang duduk tepat di sampingnya, berulang kali menggenggam jemari Sadewa, seolah berusaha mentransfer ketenangan lewat sentuhan. Namun dari cara tangannya sendiri bergetar, Sadewa tahu bahwa Arsel pun sedang menahan ketakutan yang sama.
Tama tampak menunduk, kedua matanya menatap tanah, mulutnya terkatup rapat. Ia tampak seperti seseorang yang sedang menimbang sesuatu yang berat di dalam pikirannya.
Sementara Eyang, dengan rambut putih rapinya, duduk paling tenang di kursinya. Tapi ketenangan itu tidak benar-benar tulus, ada gurat kecemasan yang jelas terlihat di wajahnya. Kedua bola matanya yang biasanya penuh kasih sayang kini tampak sendu, seolah melihat ke dalam jurang gelap masa lalu yang kembali menghantui.
Sadewa menelan ludah, lalu mengulang pertanyaannya. “Eyang, siapa perempuan itu? Kenapa dalam mimpi semua makhluk bersujud kepadanya dan menyebutnya Kanjeng? Dan kenapa dia menunjukku seperti itu?" tanya Sadewa lagi.
Eyang membuka matanya perlahan. Pandangannya jatuh pada Sadewa, menelusup dalam, seakan hendak memastikan anak laki-laki di depannya ini cukup kuat mendengar kebenaran. Ia menarik napas panjang, lalu menghela berat, sebelum akhirnya bicara dengan suara parau namun tegas.
"Sadewa, Nak, apa yang kau alami bukan sekadar mimpi biasa. Itu adalah tanda," ujar Eyang akhirnya.
Sadewa merasakan jantungnya melompat. Tanda? Kata itu saja sudah cukup membuat tubuhnya dingin.
Eyang melanjutkan, "Perempuan yang kau lihat dalam mimpi itu, dia bukan manusia biasa. Dia adalah penguasa dari alam gaib, yang terburuk berasal dari tempat paling gelap. Ada banyak nama yang disematkan padanya, ada yang menyebutnya penguasa Nyai Lastri, Kanjeng Ratu, dan juga Sulastri. Namun yang jelas, dia bukan sembarang hantu, tapi sudah menjadi iblis itu sendiri. Dia memiliki pasukan makhluk yang tunduk kepadanya, dan setiap kata-katanya adalah titah yang tak bisa dibantah. Dia mimpi buruk para pemilik kemampuan supranatural seperti kita.Dan dia juga yang menyesatkan manusia hingga menyimpang dari tunduk ke Tuhan menjadi tunduk padanya," jelas Eyang.
Arsel sontak menoleh ke arah Eyang. "Aku pernah mendengar tentangnya, bahkan menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan perempuan itu, dan ... tidak ada jalan kembali untuk mereka yang bersekutu dengannya."
Eyang mengangguk pelan. "Itulah sebabnya kami terkejut. Jika benar sosok itu yang mendatangi mimpi Sadewa, maka ini bukan sekadar bunga tidur. Ia sedang menandai Sadewa."
Sadewa merasa tubuhnya bergetar hebat. "Menandai? Maksud Eyang aku ditandai untuk apa?"
Tama akhirnya angkat bicara. Suaranya rendah, namun penuh tekanan. "Ditandai untuk dijemput. Makhluk gaib tidak pernah muncul berulang kali dalam mimpi seseorang tanpa alasan. Kalau sosok sebesar dia sudah turun tangan, berarti ada sesuatu yang diinginkannya dari Sadewa. Dugaanku sejak awal satu. Sadewa ... kau ditumbalkan oleh seseorang."
Kata-kata itu membuat dada Sadewa kian sesak. Ia teringat jelas bagaimana sosok perempuan itu menatapnya, bagaimana jarinya terulur dengan ancaman yang tak terbantahkan. Kata-kata 'waktumu sudah tiba' bergema lagi di telinganya, membuat bulu kuduknya berdiri.
"Tumbal?" satu kata itu membuat dunia Dewa hancur seketika. Siapa yang tega melakukannya?
Arsel menggenggam erat tangan Sadewa. "Tidak mungkin, tidak mungkin mereka bisa begitu saja mengambil Sadewa. Tidak mungkin. Aku tahu kalau ada yang tidak beres, tapi kenapa harus berurusan dengan Sulastri? Kita tidak bisa melawannya," suara Arsel bergetar, matanya mulai berkaca.
Namun Eyang hanya terdiam. Ekspresinya semakin berat, seolah ada banyak rahasia yang tersimpan dalam dirinya.
Sadewa, dengan sisa keberaniannya, mencoba bertanya lagi. "Eyang, kalau benar itu tandanya aku dijemput lalu apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kita lakukan?"
Eyang menunduk, menatap lantai kayu beranda. "Nak, terkadang manusia bisa bernegosiasi dengan gaib. Ada cara untuk menolak, ada pula cara untuk melindungi diri. Namun jika sosok itu benar-benar sudah menetapkan pandangannya padamu, maka pertempuran ini tidak akan mudah. Terutama makhluk sebangsa seperti Sulastri yang sudah menjadi anak setan."
Tama mengepalkan tangannya. "Ini akan sulit."
Arsel menoleh cepat, wajahnya tegas meski matanya basah. "Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan Sadewa dibawa begitu saja. Kita harus melindunginya, Tama, Eyang. Kita harus! Dewa bagian dari kita."
Sadewa menatap mereka satu per satu, hatinya digelayuti perasaan campur aduk. Rasa takut mendominasi, namun di balik itu ada secercah harapan karena ia tahu, meski dunia gaib mencoba menandai dirinya, ia tidak sendirian. Ada Arsel yang selalu berada di sisinya, ada Tama yang siap menjaga, dan ada Eyang yang bijaksana.
Namun bayangan sosok perempuan tinggi besar dengan kebaya tempo dulu itu tak juga hilang dari kepalanya. Ia bisa merasakan tatapan mata sosok itu yang tajam, seperti menembus batas mimpi dan mengikuti dirinya hingga ke dunia nyata.
Dalam hati kecilnya, Sadewa tahu, pertempuran yang akan datang bukan sekadar pertarungan biasa.
Namun yang jelas, ada orang yang menjual jiwa Sadewa untuk iblis bernama Sulastri itu.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???