NovelToon NovelToon
Pewaris Sistem Kuno

Pewaris Sistem Kuno

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Spiritual / Sistem / Kultivasi Modern
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ali Jok

Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.

Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.

Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RENCANA DAN WARISAN

Kalau ada yang bilang jadi pahlawan itu keren, mereka pasti belum pernah mengalami bagian ini, duduk di pemakaman kosong untuk seseorang yang lebih berkeluarga daripada keluarga sendiri. Dua hari setelah Eyang Retno mengorbankan dirinya, kami berdiri di puncak Merapi, melepas sehelai kain putih yang melambangkan dirinya. Angin pagi menerbangkan kain itu, dan aku berusaha sangat keras tidak menangis seperti anak kecil.

"Menurut tradisi, ketika seorang pendekar mencapai moksa, kita melepasnya dengan sukacita," bisik Sekar di sampingku. Tapi suaranya gemetar, dan matanya yang biasanya sekuat baja sekarang merah dan bengkak.

"Analisis biologis: Luka tusuk dalam pada Bramantya telah menerima perawatan energi tingkat tinggi. Tingkat pemulihan: 97,8%. Nanobots dalam sistemnya mempercepat regenerasi jaringan," suara Mar terdengar hanya di kepalaku. Bagus, pikirku. Jadi mantan musuh kita punya teknologi yang membuat rumah sakit mana pun jadi terlihat primitif.

Dari balik pepohonan, Bramantya muncul. Wajahnya yang biasanya angkuh sekarang hancur. Dia tidak lagi dirantai, setelah kejadian di Merapi, kami memutuskan untuk mempercayainya.

"Aku... ingin minta maaf," katanya, suaranya parau. "Tapi kata-kata tidak ada artinya setelah apa yang kulakukan."

Sekar menatapnya tajam. "Kau benar. Tidak ada artinya." Tarikan napas dalam. "Tapi Eyang tidak akan mau melihat kita saling membenci. Jadi... mari kita coba untuk tidak saling membenci."

Bramantya terduduk di samping kami, bahunya terkulai. "Dua puluh lima tahun. Selama itu aku membencinya karena mengkhianatiku, tapi sekarang aku tahu... dialah yang selalu setia."

"Analisis pola percakapan: 98% kemungkinan Bramantya mengalami depresi berat. Saran: butuh intervensi segera."

"Aku tahu, Mar," gumamku dalam hati, berharap AI-ku bisa sedikit lebih empati.

Kami menemukan jurnal Eyang Retno tersembunyi di balik panel kayu di kamarnya. Saat kubuka, aroma melati yang samar menyambut, aroma favoritnya yang langsung membangkitkan kenangan akan pagi-pagi di padepokan.

"Halaman pertama ditulis seminggu sebelum kita pergi ke Merapi," bisik Sekar, jarinya menelusuri tulisan tangan Eyang yang rapi. "Dia... dia sudah tahu ini akan terjadi."

Aku membaca bagian yang ditunjukkannya: "Jika kalian membaca ini, berarti aku sudah pergi. Jangan berduka terlalu lama. Tugas kalian belum selesai. Bramantya, kakakku, maafkan dirimu. Jaka, Nak, kau harus menyatukan ketiga generasi."

Bramantya menutup wajahnya. "Dia selalu tahu segalanya."

"Menganalisis isi jurnal: Eyang Retno meramalkan kematiannya dengan akurasi 94%. Dia juga meninggalkan petunjuk tentang 'Penyatuan Tiga Generasi'."

"Apa maksudnya penyatuan tiga generasi?" tanyaku.

Bramantya mengangkat wajah, ada sedikit cahaya di matanya. "Generasi pertama, Raden Panji, Sang Tuan. Generasi kedua, orang tuamu, Arjuna dan Sri. Generasi ketiga, kau Jaka." Dia mulai mondar-mandir. "Selama ini, kita semua berusaha menguasai sistem sendiri-sendiri. Tapi mungkin kuncinya adalah memahami ketiganya."

Sekar memandang kami skeptis. "Jadi kalian berdua harus bekerja sama? Setelah semua yang terjadi?"

"Lebih dari itu," sahutku, menyadari sesuatu. "Aku harus memahami kenapa Raden Panji menjadi seperti itu, apa yang orang tuaku coba perbaiki, dan bagaimana aku tidak mengulangi kesalahan mereka."

Hari pertama pelatihan dimulai dengan Bramantya menjelaskan filosofi Raden Panji di ruang meditasi bawah tanah, tempat yang menurutku sempurna untuk mengadakan rapat rahasia atau pesta ulang tahun yang menyedihkan.

"Raden Panji bukan selalu jahat," mulainya. "Awalnya sistem itu untuk menyembuhkan, bukan mengontrol."

"Catatan sejarah, Sistem Generasi Pertama memang dirancang untuk penyembuhan kolektif. Tapi kemudian dimanipulasi untuk kontrol mental."

"Masalahnya," lanjut Bramantya sementara aku mencoba tidak tertidur, "Raden Panji mulai percaya bahwa manusia terlalu bodoh untuk menentukan nasib sendiri."

Di sesi praktik, Bramantya memintaku menghadirkan bola energi. Yang kuhasilkan cuma percikan menyedihkan yang mati setelah dua detik.

"Luar biasa," canda Sekar dari sudut ruangan. "Aku yakin itu bisa menakuti nyamuk."

"Diameter energi hanya 3,2 sentimeter. Rekor terendah dalam sejarah sistem."

Bramantya menghela napas. "Kita butuh pendekatan berbeda. Kau mencoba terlalu keras untuk mengontrolnya."

Beberapa hari kemudian, kami mencoba "Deep Memory Dive". Aku berbaring di tengah ruangan berlapis simbol energi, sementara Sekar dan Bramantya menjaga di kedua sisiku.

"Memulai Deep Memory Dive Level 9. Hati-hati, Jaka."

Dunia melebur, dan tiba-tiba aku berdiri di laboratorium modern. Dua orang, sepasang suami istri, sibuk dengan peralatan aneh. Aku tahu siapa mereka.

"Ini tidak akan berhasil, Arjuna," kata wanita itu. "Sistem Generasi Pertama terlalu tidak stabil."

Pria yang disebut Arjuna, ayahku mengangguk. "Tapi kita harus mencoba, Sri. Raden Panji sudah terlalu jauh."

Ayah mendekati boks bayi, aku dan mengelus kepalaku. "Dia yang akan menyempurnakan semuanya. Generasi Ketiga, gabungan dari yang terbaik dari kita semua."

Alarm berbunyi. Wajah mereka pucat.

"Dia datang," bisik Ibu.

Ayah buru-buru mengambil cincin dan memasukkannya ke boks. "Dengarkan, Sayang. Jika sesuatu terjadi... jangan pernah berhenti mempercayai bahwa kebaikan masih ada di dalamnya."

Vision berubah. Kini aku melihat mereka melarikan diri, membawaku, sampai ke tepi Sungai Brantas. Air mata Ibu menetes di pipiku.

"Maafkan kita, Nak," bisiknya sebelum melepaskanku ke sungai.

Aku tersentak kembali, napas tersengal. Sekar memelukku erat.

"Kau... menangis," bisiknya.

Aku menyentuh pipiku yang basah. "Mereka... tidak takut mati. Mereka hanya takut tidak bisa menyelesaikan misi."

Bramantya terduduk, wajahnya pucat. "Selama ini aku mengira mereka mengkhianati Raden Panji. Tapi... mereka mencoba menyelamatkannya dari dirinya sendiri."

"Memory Archive mengungkap: Orang tua Jaka bukan pengkhianat. Mereka adalah penjaga yang mencoba mencegah bencana yang lebih besar."

Minggu ketiga pelatihan. Aku hampir menyerah.

"Tidak bekerja!" geramku setelah gagal lagi. Bola energi di tanganku bergetar tak menentu.

"Karena kau mencoba memaksanya," suara Sekar dari pintu. Dia mendekat dan duduk di depanku. "Eyang tidak pernah memaksa. Dia memahami."

Dia mengambil tanganku. "Dengarkan sistemnya, Jaka. Seperti kau mendengarkan angin."

Aku menutup mata, mengingat Eyang Retno, bagaimana dia mendengarkan lebih banyak daripada berbicara. Aku berhenti mencoba mengontrol dan mulai... mendengar. Merasakan alirannya.

Dan kemudian, sesuatu klik.

Bola energi di tanganku berubah, dari kuning pucat menjadi biru tenang, berputar stabil.

"Pembacaan energi: Sistem menerima integrasi. Tingkat stabilitas: 87%. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah tiga generasi sistem merespons dengan cara seperti ini."

Bramantya memandang tak percaya. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku tidak mencoba mengontrolnya," kataku. "Aku... mendengarkannya."

Ternyata, itulah yang selalu kurang, empati. Bukan kekuatan atau kecerdasan, tapi kesediaan untuk memahami.

Di minggu keenam, cincinku berdenyut kuat.

"Peringatan: Kebocoran energi masif terdeteksi dari penjara Sang Tuan. Dia... merasakan perubahan dalam sistem. Tingkat ancaman: meningkat drastis."

"Sang Tuan telah merasakan perubahanku" bergetar perasaanku ketika aku memberitahu mereka.

Sekar langsung siaga. "Apa artinya?"

Bramantya mengerutkan kening. "Artinya dia tahu kita sedang mendekati kebenaran. Dan dia tidak akan tinggal diam."

Aku berdiri, merasakan kekuatan baru mengalir, pemahaman yang lebih dalam. "Biarkan dia datang. Sekarang kita siap."

Tapi dalam hati, aku tahu ini ujian terberat. Bagaimana mengalahkan seseorang yang adalah bagian dari dirimu sendiri? Dan yang lebih menakutkan, bagaimana tidak menjadi seperti dia ketika memiliki kekuatan yang sama?

Sekar menggenggam tanganku. "Kita hadapi ini bersama."

Bramantya mengangguk, senyum kecil di sudut mulutnya. "Dia tidak akan tahu apa yang menimpanya."

Mungkin inilah warisan sebenarnya dari Eyang Retno, bukan rencana sempurna, tapi keyakinan bahwa bersama-sama, kita bisa menemukan jalan sendiri.

Sekarang tinggal satu masalah, menghadapi dewa terganggu dengan akses ke sistem paling kuat di dunia.

Tapi hey, setidaknya aku punya tim. Dan mungkin, itu yang benar-benar dibutuhkan seorang pahlawan. Atau setidaknya, yang membuat segalanya tidak terlalu menakutkan.

1
ShrakhDenim Cylbow
Ok, nice!
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
ShrakhDenim Cylbow: Bagoos💪
total 2 replies
Marchel
Cerita yang bagus lanjutkan kak..
Ali Asyhar: iyaa kak terimakasih dukungannya
total 1 replies
Ali Asyhar
semoga cerita ini membuat pembaca sadar bahwa mereka penting untuk dirinya
T A K H O E L
, , bagus bro gua suka ceritanya
bantu akun gua bro
Ali Asyhar: oke bro
total 5 replies
Ali Asyhar
otw bro
Vytas
semangat up nya bro
Vytas
mampir juga bro,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!