Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.
Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.
Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Transmigrasi
Di kamar sempitnya, hanya cahaya lampu meja yang menerangi, menyorot wajah Zhao Liyun yang pucat karena terlalu lama menatap layar ponsel. Di luar jendela, kota modern berdenyut dengan lampu-lampu jalanan, tapi di dalam kamar, waktu terasa berhenti pada halaman novel yang ia baca.
Novel itu bukan novel baru baginya. Sudah entah berapa kali ia menamatkannya, bahkan sampai hafal setiap jalan cerita. Judulnya “Cahaya Musim Semi di Desa Qinghe”.
Tokoh utama dalam cerita itu adalah Lin Xiaomei—gadis polos, cantik, pekerja keras yang disukai semua orang. Di antara barisan tokoh pendukung, ada satu nama yang selalu membuat Zhao Liyun geregetan setiap kali membacanya: seorang gadis bernama Zhao Liyun juga, hanya saja ia hanyalah peran pendukung perempuan, karakter sampingan yang ditulis sekadar untuk menonjolkan betapa suci dan mulianya sang tokoh utama.
“Kenapa sih penulis ini kejam banget…” gumam Liyun sambil menggulir halaman. Ia sudah hafal apa yang akan terjadi: Zhao Liyun di dalam novel digambarkan sebagai sepupu miskin Lin Xiaomei yang iri, bodoh, dan selalu berbuat masalah. Puncaknya, di musim dingin tahun 1970-an, saat kerja bakti membersihkan sungai, ia terpeleset dan jatuh ke dalam air beku. Tak ada yang benar-benar peduli pada kematiannya—hanya sekilas disebut, lalu hilang dari halaman.
Setiap kali membaca bagian itu, hati Zhao Liyun terasa panas. Kenapa orang dengan nama yang sama denganku harus mati segitu tragisnya? Ia mengetuk layar ponsel keras-keras, seakan bisa menyalurkan kekesalan pada huruf-huruf digital itu.
“Kalau aku yang ada di posisinya, aku nggak akan sial begitu. Aku bakal hidup lebih lama, dan nggak akan mati cuma gara-gara naskah konyol.”
Ia tertawa kecil, tapi cemberut juga. Matanya perih, jam di dinding menunjukkan lewat pukul dua dini hari.
“Ah… baca satu bab lagi, habis itu tidur,” katanya pada diri sendiri—kalimat klasik yang ia ucapkan setiap malam.
Namun, kali ini tubuhnya sudah terlalu lelah. Begitu kepalanya menyentuh bantal, ponsel masih menyala di sampingnya, layar memancarkan cahaya putih samar, kelopak matanya langsung tertutup.
…
Entah berapa lama ia tertidur. Tapi begitu membuka mata lagi, hal pertama yang terasa adalah dingin menusuk tulang.
Zhao Liyun terlonjak. Ia mengira AC kamarnya rusak, tapi saat membuka mata, yang dilihat bukanlah langit-langit apartemen modernnya. Sebaliknya—atap kayu reyot, beberapa lubang kecil membiarkan cahaya rembulan masuk. Bau lembap tanah bercampur jerami menusuk hidungnya.
Ia mengerjap, jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya terbaring di atas dipan kayu keras, ditutup selimut tipis yang sobek-sobek.
Apa-apaan ini? Aku… mimpi?
Ia duduk, menatap sekeliling. Ruangan kecil, dinding bata merah kasar yang sudah terkelupas. Tak ada perabot mewah, hanya meja kayu goyah dengan cermin retak di atasnya.
Dengan langkah ragu, Liyun mendekat. Saat wajahnya muncul di cermin, napasnya tercekat.
Bukan wajahnya yang biasa.
Wajah yang ia lihat adalah wajah muda, kurus, dengan kulit kecokelatan akibat sering bekerja di luar. Rambutnya dikepang sederhana, matanya besar tapi redup, dan di pelipis ada bekas luka samar.
Itu… wajah Zhao Liyun di dalam novel.
Tubuhnya gemetar. Ingatan asing tiba-tiba menyerbu kepalanya, membuatnya meringis kesakitan. Potongan-potongan memori berputar: suara ibu tiri yang marah, piring kosong karena jatah makanan diambil, ejekan tetangga yang membandingkan dirinya dengan Lin Xiaomei. Semuanya terasa begitu nyata, seperti ia benar-benar mengalami bertahun-tahun penderitaan itu.
“Aku… aku transmigrasi?” suaranya lirih, hampir tak percaya.
Ia mencubit lengannya keras-keras. Nyeri terasa. Bukan mimpi.
Zhao Liyun menelan ludah, tubuhnya masih gemetar. Tapi bersamaan dengan itu, rasa marah yang dulu hanya ia rasakan saat membaca novel kini muncul lebih kuat.
“Jadi ini tubuh Zhao Liyun… yang harus mati konyol musim dingin nanti?”
Ia menutup mulut dengan kedua tangan, mencoba menenangkan napas.
Namun semakin ia mengingat jalan cerita, semakin jelas nasib tragis yang menunggu: jatuh ke sungai, mati kedinginan, dilupakan.
“TIDAK. Aku tidak mau.”
Suara itu terdengar tegas di ruangan kosong. Untuk pertama kalinya, Zhao Liyun menatap wajah barunya di cermin retak dengan tekad.
“Kalau aku benar-benar masuk ke dalam novel ini… aku akan hidup. Aku tidak akan mati cuma karena naskah.”
Di luar jendela, angin malam Desa Qinghe berembus membawa suara jangkrik. Suasana sepi, dingin, dan asing. Namun di dalam kamar reyot itu, sepasang mata bersinar tajam, sinar tekad untuk merubah nasib.