Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.
Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.
Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENCARI PENJAGA PENGGANTI
Nayara akhirnya tiba di apartemen lima belas menit lebih lama dari batas waktu yang ditetapkan Kaelith. Bukan karena ia sengaja, tapi jadwal kereta yang ia tumpangi sempat tertunda.
Begitu pintu apartemen terbuka, suasana langsung terasa menekan. Kaelith berdiri di ruang tamu, tubuhnya bersandar di sofa, tatapannya tajam seperti pisau yang siap menusuk.
“Lima belas menit terlambat,” ucapnya datar, namun nadanya sarat amarah. “Apa aku terlihat seperti pria yang punya kesabaran untuk alasan bodoh semacam itu?”
Nayara menunduk, suaranya bergetar.
“Kereta tertunda… aku...”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimat, Kaelith melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. Tatapan matanya tak pernah lepas dari wajah Nayara, membuat napas gadis itu terasa sesak.
“Untuk apa kau peduli dengan perempuan jalang itu, Nayara?” Kaelith menatapnya tajam, suaranya dingin dan meremehkan. “Dia bahkan tidak pernah peduli padamu. Ingat? Dulu, saat kau kelaparan, bukannya menolong, dia justru menyeretmu ke klub malam dan memperkerjakanmu di sana.”
Kata-kata itu menghantam Nayara seperti pukulan telak. Matanya memanas, bukan hanya karena sedih, tapi juga karena rasa perih yang Kaelith sengaja buka kembali.
“Biarkan saja dia membusuk di rumah sakit. Atau kalau perlu… mati.” ucap Kaelith dingin tanpa sedikit pun rasa iba.
Nayara sontak menatapnya, sorot matanya dipenuhi amarah dan kekecewaan. “Kau… selalu merendahkan orang lain, Kaelith. Selalu menganggap dirimu yang paling benar.” Suaranya bergetar, tapi penuh perlawanan.
“Dia ibuku, Kaelith. Walau dia pernah jahat padaku… dia tetap ibuku.”
Udara di antara mereka menegang, seperti dua sisi yang tidak akan pernah bertemu.
Kaelith terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Tatapannya menusuk seperti bilah pisau, membuat Nayara tanpa sadar menggenggam ujung bajunya sendiri.
“Kau masih bodoh kalau berpikir darah yang sama berarti pantas diperjuangkan.” ucap Kaelith, suaranya rendah namun penuh tekanan. Ia melangkah mendekat, tubuhnya menjulang di hadapan Nayara.
Tangan besar bertatonya mencengkeram dagu gadis itu, memaksanya menatap lurus ke arah mata kelamnya.
“Ingat, Nayara… aku satu-satunya yang memilikimu sekarang. Bukan dia.”
Nayara menahan napas, hatinya terasa sesak. Antara benci dan takut bercampur jadi satu, membuat air matanya kembali mengalir.
Kaelith tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip ancaman. “Sekarang hapus air matamu, sebelum aku yang melakukannya dengan cara yang tidak kau suka.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Kaelith berbalik tanpa memberi kesempatan Nayara membalas. Langkah kakinya berat namun pasti, hingga akhirnya pintu kamarnya tertutup rapat di belakang punggungnya.
Sunyi menyelimuti ruangan, hanya tersisa Nayara yang berdiri terpaku di ruang tamu. Lututnya terasa lemas, memaksanya duduk di lantai dingin sambil memeluk lutut. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi wajah pucatnya.
Dalam hati, ia bertanya berapa lama lagi harus bertahan di dalam kehidupan yang terasa seperti kurungan ini?
Namun yang ia tahu, nasibnya tak pernah benar-benar berpihak padanya. Malam itu, ia kembali menangis sendirian, meratapi takdir yang seolah tak pernah memberinya celah untuk bernapas bebas.
Keesokan paginya, Nayara memberanikan diri pulang ke rumahnya di perkampungan kumuh tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan pahit. Tujuannya hanya satu yaitu menemui Brigite dan memintanya menjaga Fredricka selama ia tak bisa berada di rumah sakit.
Langkahnya terhenti sesaat ketika ia menatap jalan-jalan sempit yang dipenuhi rumah reyot dan bau anyir selokan. Di sinilah semua kemalangan hidupku berawal, batinnya getir.
“Harusnya ia tinggal di sekitar sini…” gumamnya, pandangan menyapu setiap sudut jalan mencari sosok yang ia tuju.
Setelah berkeliling beberapa blok, akhirnya ia menemukan Brigite sedang duduk di bangku kecil, menjajakan buah di depan sebuah toko tua.
“Brigite!” panggil Nayara sambil melangkah cepat mendekatinya.
Brigite yang tengah duduk menunggu pelanggan menoleh, lalu matanya membulat tipis saat melihat sosok yang mendekat. Itu adalah anak dari temannya, gadis berwajah pucat dengan sorot mata lelah.
“Nayara?” panggil Brigite pelan, setengah tak percaya. Ia segera berdiri dari bangkunya, menyeka tangannya yang masih beraroma buah, lalu melangkah menyambut gadis itu.
“Kau sedang apa di sini? Dan kenapa mencariku?” tanya Brigite, suaranya terdengar penasaran namun tetap lembut.
Mereka kini duduk di bangku kayu tua tak jauh dari lapak buah yang Brigite jajakan, aroma manis pisang matang dan segar jeruk bercampur dengan udara pagi yang agak pengap di perkampungan itu.
“Aku kemari… ingin meminta tolong padamu,” ucap Nayara pelan, matanya menunduk menatap tanah yang retak-retak.
Brigite mengernyit, jemarinya yang kasar karena bekerja seharian menggenggam lutut. “Tolong? Tentang ibumu?” tanyanya hati-hati, menebak maksud kedatangan gadis itu.
Nayara mengangguk pelan, menatap Brigite dengan mata yang mulai memerah.
"Aku minta tolong… jagalah ibuku. Aku tidak bisa menjaganya sendiri, karena aku harus bekerja," ucap Nayara, suaranya bergetar penuh harap.
Brigite menghela napas panjang, menunduk sebentar sebelum menatap kembali wajah Nayara. "Tapi… aku juga tidak bisa, Nayara. Aku harus bekerja menjajakan buah-buahan milik bosku itu. Kalau aku berhenti, aku tidak punya pemasukan."
Nayara meraih tangan Brigite, menggenggamnya erat. "Kau bisa berhenti menjajakan buah… dan aku akan menggajimu selama kau merawat ibuku. Brigite, aku mohon."
Brigite terdiam sesaat, tatapannya menerawang, seolah menimbang banyak hal di kepalanya.
Akhirnya ia menghela napas dan mengangguk pelan.
"Baiklah… aku akan membantumu, Nayara," ucap Brigite dengan suara yang lembut namun mantap.
Mendengar itu, Nayara langsung memeluk Brigite erat, seakan beban berat di dadanya sedikit terangkat.
"Terima kasih, Brigite… terima kasih sudah mau membantuku," ucap Nayara, suaranya bergetar menahan haru.
Brigite menepuk pelan punggung gadis itu.
"Sudahlah, kita ini sama-sama perempuan. Kalau bukan kita yang saling menolong, siapa lagi?" jawabnya tulus, sambil tersenyum hangat meski matanya tampak lelah.
Nayara tersenyum tipis, meski matanya masih sembab karena tangis yang semalam belum sepenuhnya reda.
"Aku akan mengantarmu ke rumah sakit siang ini, Brigite. Aku ingin kau bertemu langsung dengan ibuku dan dokter yang merawatnya," ucap Nayara.
Brigite mengangguk. "Baik, tapi setelah daganganku habis, ya. Bosku tidak suka kalau aku meninggalkan lapak sebelum selesai."
Nayara paham, lalu membantu Brigite membereskan dan menawarkan dagangan pada pelanggan yang lewat. Meski hanya beberapa jam, kebersamaan itu membuat hatinya terasa sedikit lebih ringan seolah ia tak lagi sendirian menghadapi semua beban ini.
Menjelang siang, dagangan Brigite akhirnya habis.
Mereka pun menutup lapak, lalu berjalan bersama menuju tepi jalan untuk menghentikan taksi.
Dalam perjalanan, Nayara hanya diam menatap keluar jendela. Suara bising jalanan dan aroma asap kendaraan terasa samar di pikirannya. Ia sibuk memikirkan kondisi Fredricka, dan juga tatapan tajam Kaelith semalam.
Sesampainya di rumah sakit, Nayara langsung mengajak Brigite menuju lantai ICU. Di sana, mereka disambut perawat yang mengenal Nayara.
"Pasien atas nama Fredricka masih stabil, tapi butuh perhatian ekstra," ujar perawat itu.
Nayara menghela napas lega, lalu menoleh pada Brigite. "Mulai hari ini, kau yang akan berada di sisinya. Aku akan urus biayanya."
Brigite mengangguk mantap, kemudian masuk ke ruang ICU dengan langkah hati-hati, sementara Nayara berdiri di depan pintu, mengamati dari kejauhan.
Dalam hati, Nayara berjanji akan tetap membantu ibunya, walau dunia terus mencoba menariknya ke jurang.