Terlahir dengan sendok emas, layaknya putri raja, kehidupan mewah nan megah serta di hormati menjadikanku tumbuh dalam ketamakan. Nyatanya, roda kehidupan benar-benar berputar dan menggulingkan keluargaku yang semula konglomerat menjadi melarat.
Kedua orang tuaku meninggal, aku terbiasa hidup dalam kemewahan mulai terlilit hutang rentenir. Dalam keputusasaan, aku mencoba mengakhiri hidup. Toh hidup sudah tak bisa memberiku kemewahan lagi.
[Anda telah terpilih oleh Sistem Transmigrasi: Ini bukan hanya misi, dalam setiap langkah, Anda akan menemukan kesempatan untuk menebus dosamu serta meraih imbalan]
Aku bertransmigrasi ke dalam Novel terjemahan "Rahasia yang Terlupakan." Milik Mola-mola, tokoh ini akan mati di penggal suaminya sendiri. Aku tidak akan membiarkan alur cerita murahan ini berlanjut, aku harus mengubah alur ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Burung pipit
"Bos, sebenarnya aku takut ketinggian. Tapi aku mau coba naik bianglala."
Caspian tak banyak bicara, dia langsung memberiku sebuah tiket dan kami sudah berada di salah satu keranjang bianglala yang bergerak perlahan keatas.
"Wahh, ini pertama kalinya aku naik, ternyata tidak seburuk yang dikatakan ibuku." Dari puncaknya, Pasar terihat kecil dibawah sana. Kelap-kelip lampu seperti kunang-kunang raksaksa.
"Winola, dengan alasan apapun, memarahi orang seperti itu dan mengucapkan kata-kata buruk itu tidak baik." Suaranya merendah, memecahkan keheningan riuh festival. "Kau harus mengendalikan emosimu pada saat-saat tertentu."
Karena marah, aku memang hanya mengatakan apa yang ada di kepalaku. Selama ini, orang tuaku tak pernah mengajariku tentang bagaimana mengendalikan emosi, jika marah, mereka akan memberiku uang. Lagipula, mereka sibuk bekerja, aku lebih sering bersama pengasuhku sejak kecil di rumah.
"Kata ayahku, jika kau di tindas jangan diam saja, harus di lawan. Dunia ini hanya tempat orang yang iri dengki, jika kau hanya diam saja kau akan di jadikan anjingnya." Aku terdiam sejenak, menatap Caspian dengan ragu-ragu. "Ayahku mengajarkan jika kau di pukul sekali, balas dua kali, aku harus jadi yang terbaik dan unggul. Jadi, Bos, kau tidak boleh hanya diam saja saat orang-orang bodoh itu mengatakan hal-hal buruk."
Ia menyentuh bahuku dengan lembut, tatapannya entah mengapa menjadi sayu, seolah ada beban yang tak terucap. "Terkadang, hal baik adalah bukan menjadi yang pertama atau yang paling unggul," Katanya, suaranya menenangkan dan penuh perhatian. "Tapi menjadi seseorang yang memiliki batasan dan kesabaran, biarlah waktu yang memberikan pembuktiannya."
Mata kami beradu, jantungku berdetak kencang sampai membuat kakiku ikut gemetar. Aku tidak paham kenapa Caspian tersenyum seperti itu kepadaku. Senyum itu... Terlalu lembut.
Aku mengibaskan tangan di wajahku, "Aish, sudah waktunya kita turun." Wajahku jadi merah, mungkin cuacanya memang sedang panas, atau mungkin karena... entahlah.
Caspian mengekorku di belakang dan terkekeh kecil. Aku sudah mencak-mencak ingin pulang, sudah tidak semangat lagi. Dasar Caspian bodoh, entahlah aku hanya ingin bilang kalau dia bodoh!
"Hey Winola, kemarilah sebentar." Saat aku menoleh, ada lentera malam di tangannya. "Ayo pergi ke danau dan melihat puncak malam kembang api, apa kau mau menerbangkannya?"
Menerbangkan lentera memiliki arti menerbangkan hal-hal negatif dan memulai kehidupan yang lebih baik.
Caspian menuliskan namaku dan namanya. Danau di penuhi orang-orang yang membawa lentera, sama seperti kami, mereka juga menuliskan harapannya berharap itu bisa terbang ke langit dan di dengar oleh Tuhan.
Saat sumbu minyak lenteranya di bakar, Caspian menyarankan untuk memegangnya bersama dan kami juga membisikkan harapan.
"Aku hanya berharap jika filosofi dari Lentera ini benar adanya, semoga kehidupanku kedepannya menjadi lebih baik. Aku tidak ingin mati, setidaknya sampai aku benar-benar siap, aku tidak ingin mati." Aku mendoakan itu dalam hati, berharap penuh semoga terkabul.
Lenteranya terbang, sangat cantik diatas sana. Suara ledakan kembang api, pecah di langit , sangat kontras dengan lentera-lenteranya. Benar-benar cantik, seperti malam tahun baru.
Caspian mengenggam tanganku dengan lembut, anehnya aku tak menolak, ia membisikkan sesuatu. "Aku berharap, apa yang engkau inginkan terkabul, Winola."
Wow, jantungku berdisko lagi, mungkin karena suara kembang api, kan? Pasti itu.
Aku mengulum bibir, sedikit ragu. "Aku juga berharap, agar Bos suatu hari nanti tidak membunuhku."
Caspian mendekatiku, dia memasangkan sesuatu du rambutku, saat aku menyentuhnya, itu adalah jepit berbentuk burung.
"Aku juga berharap kau bisa seperti burung pipit." bisiknya, suaranya lembut.
Aku mundur, memberinya jarak pasti. Entah karena lampion atau apa, mendadak aku merasa dunia menjadi lebih cerah. Aku menjadi canggung dan salah tingkah, ini menjengkelkan!
"Bos, kau tidak boleh menyukaiku, tidak boleh."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keesokan harinya, kepalaku pusing bukan main. Aku berjalan gontai ke dapur dan meminum satu kendi air. Saat aku berbalik, badanku tersentak ke belakang karena mendadak Boni berdiri di sana.
"Apa kau tidak sadar, badanmu ini sangat besar seperti gentong!" Pagi-pagi sudah membuat marah, aku mencubiti pipinya.
"Lady, sudah, aduh sakit." Boni meringis.
Hidungku perih, aku duduk di teras dapur dan menepuk-nepuk tempat kosong di sampingku, mengisyaratkan Boni agar ikut duduk.
Boni memegang benda berwarna oranye. "Apa itu?"
Ia memberikannya kepadaku, benda bulat berbau manis. "Kesemek kering, rasanya asam manis."
Aku mulai berteman dekat dengan Boni, Hiro, dua pelayanku, Hana dan Meri, lalu beberapa pengawal di arena berlatih. Mereka menyambutku dengan hangat setiap hari, bahkan mereka memperlakukanku layaknya teman dekat. Setiap pagi terasa begitu menyenangkan di istana ini.
Terkadang aku juga bertemu dengan pangeran Samesh, dia masih mengungkit pasal lukisan gunung itu, tetapi dia lebih suka bercanda dan membuat kami dekat secara alami.
Duchess Rose juga memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Terkadang ia mengajakku minum teh di paviliun, dan kami mulai bertukar cerita.
Merasakan kehangatan ini, entah mengapa aku menjadi emosional. Sebuah pertanyaan pahit melintas: Suatu hari nanti, mereka akan menghakimiku, bukan? Apakah semua ini hanya manis di awal.
"Tuan Boni, sudah berapa lama kau disini?" tanyaku, memecah keheningan.
"Sejak aku berusia lima belas tahun, berarti sudah puluh puluh tahun."
"Apa kau mengenal Marquis?"
Boni menghentikannya kunyahannya, kerutan dahinya berusaha mengingat sesuatu. "Kalau tidak salah, dia di angkat menjadi depatermen pertahanan setelah menghabisi goblin-goblin di perbatasan barat." Mulutnya mendesis karena rasa asam kesemek. "Saya tidak tau banyak, tetapi semua orang mengakui kalau tuan Marquis sangat hebat dalam berkelahi dan menggunakan senjatanya."
"Bagaimana dengan teman dekatnya? Apakah dia punya kerabat, atau seseorang yang istimewa?"
Boni mengaruk keningnya sambil berpikir. "Tuan Marquis orang tertutup, selain dengan kelompoknya, Grand Duke, dan Count Julian, saya tidak pernah melihatnya bersama orang lain. Tetapi, kenapa Lady menanyakan itu?" Boni kebingungan. "Apa Lady mau menduakan Grand Duke? Oh tidak, Marquis memang tampan, tapi Grand Duke kami lebih berkharisma, Lady!"
Aku mencubiti pipinya lagi, menarik-nariknya sampai merah. "Siapa sih, yang bilang begitu!"
"Aduh, aduh, lalu kenapa Lady tidak bertanya mengenai Grand Duke. Kalau itu saya tau banyak."
"Apa yang kau tau?"
Boni mengusap pipinya yang malang dan mundur membuat jarak. "Grand Duke itu menjadi putra mahkota, sejak kecil dia selalu diajarkan mengenai struktur pemerintahan, bahkan di usia yang belum tujuh tahun, Grand Duke sudah diajak Sir Edmund, ayahnya untuk berburu goblin."
"Aku ingat, saat itu usianya baru menginjak sepuluh tahun, Grand Duke pergi ke akademi lebih cepat karena Sir Edmund mulai sakit-sakitan. Saat usianya tujuh belas tahun, Sir Edmund meninggal dan Grand Duke diangkat menjadi pemimpin. Saat itu, banyak sekali yang tidak setuju sampai-sampai ia mendapatkan kudeta dari pamannya sendiri."
"Pamannya?"
Boni mengangguk, ia mengupas kesemek dan memakannya lagi, entah sudah yang ke berapa. "Yang mulia Raja Albastar. Namun, Grand Duke membuktikan bahwa dirinya mampu. Ia sangat di segani masyarakat saat membuat kebijakan baru mengenai hak-hak wanita. Tetapi, bahkan sampai saat ini, beberapa orang yang tidak sejalan dengannya, masih berusaha menggulingkannya. Grand Duke tidak pernah tidur dengan nyenyak."
Aku mencomot kesemek di tangan boni, menggigitnya perlahan, rasanya sangat asam sehingga mulutku getir. Mendadak kami berdua terdiam dalam waktu yang cukup lama, tenggelam dalam pikiran masing-masing, sampai Julian datang.
"Saya mencari anda kemana-mana, Lady. Grand Duke ingin bertemu dengan anda di ruangannya."
"Ada apa?"
semangat 😊
mampir juga ya ke ceritaku..
kasih saran juga..makasih