Keinginan untuk dipeluk erat oleh seseorang yang dicintai dengan sepenuh jiwa, merasakan hangatnya pelukan yang membungkus seluruh keberadaan, menghilangkan rasa takut dan kesepian, serta memberikan rasa aman dan nyaman yang tak tergantikan, seperti pelukan yang dapat menyembuhkan luka hati dan menenangkan pikiran yang kacau, memberikan kesempatan untuk melepaskan semua beban dan menemukan kembali kebahagiaan dalam pelukan kasih sayang yang tulus.
Hal tersebut adalah sesuatu yang diinginkan setiap pasangan. Namun apalah daya, ketika maut menjemput sesuatu yang harusnya di peluk dengan erat. Memisahkan dalam jurang keputusasaan dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20 : Hal Yang Sebenarnya Terjadi
"Berhenti di sini.." pinta Shani. Mobil yang di kemudikan Fonix, berhenti di depan gerbang rumah besar berwarna hitam.
Fonix mematikan mesin mobil dan menatap Shani dengan mata yang hangat. "Jangan salah paham, aku menolongmu bukan karena kau adalah bibiku. Hanya kau satu-satunya orang yang menganggap kehadiran ibuku. Aku benci kalian semua di keluarga ini." katanya dengan suara yang dingin dan sedikit emosi.
Shani terkejut dengan kata-kata Fonix, matanya melebar karena tidak menyangka bahwa Fonix memiliki perasaan yang begitu kompleks terhadap keluarga mereka. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan, hanya menatap Fonix dengan mata yang penuh kekhawatiran. Shani membuka pintu mobil dan keluar. "Terimakasih untuk malam ini, dan sampaikan salamku pada Kak Feni," katanya dengan suara yang sendu.
"Kau bisa datang ke pemakamannya sendiri.." Ucap Fonix yang berhasil membuat Shani terkejut. Tapi sebelum Shani refleks berbicara, Fonix telah lebih dulu melajukan mobilnya dan pergi.
Shani terkejut dan berdiri sendirian di depan gerbang rumah besar berwarna hitam. Dia menatap mobil Fonix yang menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Fonix. Kata-kata Fonix yang menusuk hati masih terngiang di telinganya.
Shani berdiri di depan gerbang rumah besar berwarna hitam, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan tentang kata-kata Fonix. 'Pemakamannya? Siapa yang dia maksud?' Shani merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan dia tidak bisa menghilangkan rasa curiga di hatinya. Dia memikirkan kembali kata-kata Fonix, mencoba mencari petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi. Fonix mengatakan bahwa Shani adalah satu-satunya orang yang menganggap kehadiran ibunya, tapi apa yang dimaksud dengan pemakamannya?
...***...
"Kamu sudah pulang? Dari mana?" Tanya Seiya.
"Memukuli anjing jalanan.." ucap Fonix singkat.
"Kamu bertengkar dengan beberapa berandalan?" Tanya Seiya yang tidak menolehkan pandangan dari televisi.
"Tidak, hanya anak anjing dari keluarga Harlan." Ucap Fonix berlalu membuka kulkas. Fonix membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol air mineral. Dia menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya dengan perlahan. Seiya masih menonton televisi, tidak menolehkan pandangan ke arah Fonix.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Seiya tanpa menoleh. Fonix tidak menjawab, dia hanya mengangguk dan melanjutkan minum air. Seiya tahu bahwa Fonix tidak ingin berbicara, jadi dia tidak memaksa.
Setelah selesai minum, Fonix meletakkan gelas di meja dan berjalan menuju kamarnya. Seiya masih menonton televisi, tidak menyadari bahwa Fonix telah pergi.
Fonix memasuki kamarnya dan menutup pintu. Dia berdiri di depan jendela, menatap keluar ke malam yang gelap. Pikirannya di penuhi dengan bayang-bayang tentang kekasihnya. Fonix kemudian mencoba menghubungi Shanju, karena yang dia tau, Shanju telah di pindah tugaskan ke Indonesia. Fonix mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor Shanju di daftar kontak. Setelah beberapa saat, ponselnya berbunyi dan Shanju menjawab.
"Fonix, apa kabar?" tanya Shanju dengan suara yang santai.
"Aku baik-baik saja," jawab Fonix singkat. "Aku hanya ingin tahu, apa kakak sudah berada di Indonesia?"
"Ya, aku sudah di sini," jawab Shanju. "Aku baru saja tiba beberapa hari yang lalu."
Fonix tidak menjawab langsung, dia berpikir sejenak sebelum berbicara. "Kakak sudah bertemu dengan Freya?"
Shanju terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku dokter pribadinya sekarang."
Fonix mengangguk, meskipun Shanju tidak bisa melihatnya. "Bagaimana kondisinya? Tadinya aku ingin menghubunginya, tapi aku tidak ingin mengganggu waktu istirahatnya" kata Fonix dengan suara yang tegas.
Shanju tahu bahwa Fonix memiliki perasaan yang kompleks terhadap Freya, tapi dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Dia—sudah lebih baik" jawab Shanju sedikit ragu-ragu.
"Kak, aku mohon. Bagaimana kondisinya? Aku tau ada yang kakak sembunyikan." Ucap Fonix sedikit memaksa.
Shanju terdiam sejenak, tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Fonix. "Fonix, aku tidak bisa memberitahu kamu tentang kondisi Freya secara detail," kata Shanju dengan suara yang hati-hati. "Tapi aku bisa bilang bahwa dia masih dalam proses pemulihan."
Fonix menghela napas, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Aku ingin tahu kebenaran, kak," kata Fonix dengan suara yang tegas. "Aku tidak ingin ada yang disembunyikan."
Shanju terdiam lagi, tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Fonix. "Freya mengalami Kelainan pada jantung yang berkembang sebelum kelahiran. Cacat jantung bawaan adalah salah satu jenis yang paling umum dari cacat lahir. Penyakit ini sangat langka." Jelas Shanju.
Fonix terhenyak, ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bahkan tangannya sampai bergetar. "Apa karena tragedi itu?" Tanya Fonix memastikan.
Shanju menggeleng, walaupun Fonix tidak bisa melihatnya. "Dia tidak akan mengalami penyakit ini hanya karena tenggelam. Penyakit ini sudah ada sejak dia lahir. Selama ini dia selalu bahagia untuk menutupi kesedihannya." Jelas Shanju.
"Apa yang bisa kulakukan untuk menyembuhkannya, apapun akan kulakukan. Jika perlu, akan ku tukar jantungku dengannya." Ucap Fonix sedikit menaikan nada bicaranya.
"Aku akan berusaha sebisa mungkin di sini, dan kamu cukup fokus untuk masalah keluarga kamu di sana. Orang tua Freya Mungkin tidak memberi tau kebenarannya, karena mereka tidak ingin kamu terlalu banyak beban. Apalagi mereka tau kalau kamu juga punya masalah sendiri."
"Tapi—"
"Fonix," potong Shanju. "Jangan mengecewakan kami semua." Itu adalah ucapan terakhir Shanju, sebelum sambungan telepon mereka terputus.
Fonix terdiam, masih memegang ponselnya dengan tangan yang bergetar. Dia merasa seperti dihantam oleh badai emosi, setelah mendengar tentang kondisi Freya yang sebenarnya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Freya harus hidup dengan penyakit jantung bawaan sejak lahir, dan bagaimana dia harus menutupi kesedihannya dengan senyum dan kebahagiaan.
Fonix merasa bersalah karena tidak mengetahui tentang kondisi Freya sebelumnya, dan dia merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu kekasihnya. Tapi dia juga merasa tekad untuk melakukan apa saja untuk menyembuhkan Freya, bahkan jika itu berarti menukar jantungnya sendiri.
Seiya cukup terkejut ketika mendengar suara teriakan dari kamar atas. Dengan segera ia menuju ke kamar Fonix, teriakannya berasal dari sana. Seiya membuka pintu dengar kasar. "Fonix! Apa yang terjadi?" Dia melihat kamar Fonix berantakan. Barang-barang yang berserakan. Sedangkan Fonix terduduk di lantai sembari mencengkram karpet dengan emosi.
"Fonix, apa yang terjadi?" Seiya menghampiri Fonix dengan pelan.
"Freya.." ucap Fonix gemetar. "Dia mengalami kecacatan jantung bawaan, dan bodohnya aku tidak menyadarinya sejak awal."
Seiya hanya bisa diam. Dia pernah berada di situasi yang sama dengan putranya. Feni, ibunya Fonix juga mengalami kecacatan jantung bawaan. Saat melahirkan Fonix, Seiya sangat khawatir kalau apa yang dia takutkan akan terjadi. Tapi sebuah keajaiban yang tuhan berikan, Fonix lahir dengan sehat, begitu juga ibunya. Tapi kebahagiaan itu hanya berlangsung sebentar. Ketika umur Fonix menginjak satu tahun, Penyakit yang di derita Feni kembali kambuh, dan apa yang di takutkan oleh Seiya terjadi. Istrinya meninggalkannya untuk selamanya.
Seiya hanya bisa diam dan memandang putranya, tanpa bisa melakukan apapun. Dia tidak ingin putranya mengalami hal yang sama dengannya. Fonix terpuruk dalam kesedihan yang mendalam, pikirannya dipenuhi dengan bayang-bayang tentang Freya dan penyakit jantung bawaan yang dideritanya. Dia merasa bersalah karena tidak mengetahui tentang kondisi Freya sebelumnya, dan dia merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu kekasihnya.
Seiya memandang putranya dengan hati yang hancur, dia tahu bahwa Fonix sedang mengalami kesedihan yang sama seperti yang dia alami ketika istrinya meninggal. Kamar Fonix menjadi saksi bisu atas kesedihan yang mendalam, barang-barang yang berserakan di lantai, dan Fonix yang terpuruk di sudut kamar, menangis tersedu-sedu. Seiya hanya bisa memeluk putranya, mencoba untuk memberikan sedikit kehangatan dan kenyamanan.
Di luar kamar, malam yang gelap dan sunyi menjadi latar belakang kesedihan yang mendalam. Fonix dan Seiya terpuruk dalam kesedihan mereka masing-masing, tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubah keadaan. Hanya waktu yang bisa menyembuhkan luka mereka, tapi luka itu masih terlalu dalam, dan kesedihan masih terlalu berat untuk ditanggung.
Kesedihan itu menjadi semakin berat, Fonix merasa seperti tercekik oleh kesedihan yang mendalam. Dia tidak bisa bernapas, dia tidak bisa berpikir jernih, dan dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah keadaan.