Nayla Arensia hanyalah gadis biasa di kota Valmora hingga suatu malam, dua pria berpakaian hitam datang mengetuk pintunya. Mereka bukan polisi, bukan tamu. Mereka adalah utusan Adrian Valente, bos mafia paling kejam di kota itu.
Ayah Nayla kabur membawa hutang seratus ribu euro. Sebagai gantinya, Nayla harus tinggal di rumah sang mafia... sebagai jaminan.
Namun Adrian bukan pria biasa. Tatapannya dingin, kata-katanya tajam, dan masa lalunya gelap. Tapi jauh di balik dinginnya, tersembunyi luka yang belum sembuh dan Nayla perlahan menjadi kunci untuk membuka sisi manusiawinya.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari ancaman dan rasa takut?
Atau justru Nayla akan hancur sebelum sempat menyentuh hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bakwanmanis#23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Harga dari Cinta
Ledakan pertama mengguncang jendela-jendela vila, membuat Nayla menutup telinga sambil berlari menuju pintu. Jantungnya berdegup kencang, antara harapan dan ketakutan. Apakah Adrian benar-benar datang? Apakah ia masih hidup?
Valerio tampak panik. Anak buahnya mulai bersiaga. Ia menarik pistol dari balik jasnya, wajahnya berubah menjadi sosok yang berbeda dingin, kejam, dan siap membunuh siapa pun yang menghalangi.
“Kunci Nayla di ruang bawah tanah!” teriak Valerio. “Jangan biarkan dia kabur!”
Dua pria bertubuh kekar menyeret Nayla paksa meski ia meronta sekuat tenaga. “Lepaskan! Aku harus keluar! Adrian datang! Dia datang untukku!”
Salah satu penjaga menampar wajahnya hingga tubuhnya terjatuh. Darah mengalir dari sudut bibir Nayla, tapi matanya tetap membara oleh tekad.
Sementara itu, di luar vila, Adrian bergerak cepat bersama tim kecil yang tersisa. Mereka telah kehilangan banyak orang malam itu, tapi tekadnya tidak pernah sekuat ini. Nayla harus diselamatkan… atau tidak ada lagi alasan baginya untuk hidup.
“Masuk lewat sisi barat!” teriak Adrian. “Gunakan granat asap. Jangan beri mereka ruang!”
Adrian sendiri mengambil jalur depan. Dengan dua pistol di tangan dan pisau di pinggang, ia menembak tepat sasaran tanpa ragu. Setiap peluru membawa pesan: jangan sentuh Nayla.
Darah, jeritan, dan dentuman senjata bercampur menjadi satu.
________
Di ruang bawah tanah, Nayla terduduk lemas. Tangan dan kakinya diikat. Gelap dan dingin, ruangan itu seperti kubur hidup. Namun, meski tubuhnya terkurung, pikirannya terbang bebas menuju sosok Adrian.
Apakah kau benar-benar datang, Adrian? Apa kau masih percaya padaku?
Air matanya jatuh. Bukan karena takut. Tapi karena cinta. Cinta yang ia kira akan membunuhnya, kini justru menjadi satu-satunya alasan ia bertahan.
Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar dari atas. Lalu langkah kaki cepat menuruni tangga. Lampu ruangan menyala.
Dan di sana…
“Adrian…”
Pria itu berdiri di ambang pintu, tubuhnya penuh luka dan debu, napasnya terengah, tapi matanya… mata itu tetap sama, penuh keyakinan.
“Maaf aku terlambat,” ucapnya pelan sambil tersenyum.
Nayla menangis. Bukan tangisan sedih, tapi lega. “Kau hidup… kau benar-benar hidup…”
Adrian berlari ke arahnya, melepas ikatan di tangan dan kakinya. “Aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi. Tidak sekarang. Tidak selamanya.”
Namun kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar.
Saat mereka hendak naik, suara langkah kaki lain terdengar. Valerio muncul, berdiri dengan pistol teracung.
“Menjijikkan sekali melihat kalian bersatu seperti ini,” katanya dengan suara sarkastik. “Seandainya cinta bisa menyelamatkanmu, Adrian, kau sudah jadi dewa sekarang.”
Adrian berdiri melindungi Nayla. “Kalau kau ingin menembak, lakukan. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menyentuh Nayla.”
Valerio menyeringai. “Kau pikir aku tak berani?”
Dan peluru pun melesat.
Tapi bukan Adrian yang terkena…
Nayla, dalam sepersekian detik, mendorong tubuh Adrian dan peluru itu bersarang di bahunya.
“Nayla!” Adrian menangkap tubuhnya yang terhuyung.
Valerio terkejut, dan dalam kekosongan itu, Adrian menembak balik tepat di dada Valerio. Pria itu terjatuh perlahan, matanya terbuka tak percaya, sebelum akhirnya tubuhnya ambruk tak bergerak.
“Jangan tutup matamu… jangan!” teriak Adrian panik, menahan Nayla yang terbaring lemah di pelukannya.
“Aku baik-baik saja… cuma bahu,” ucap Nayla, memaksakan senyum. “Kau terlalu lambat, tahu?”
Adrian tertawa kecil sambil menangis. “Kau gila.”
“Aku hanya tidak mau kehilanganmu lagi.”
Ia mencium kening Nayla. Hangat. Lembut. Penuh rasa syukur.
______
Setelah pertempuran usai dan tim bantuan datang, Adrian membawa Nayla ke rumah sakit rahasia milik sekutu mereka. Dokter menyatakan lukanya tidak fatal, tapi tetap harus istirahat penuh.
Dalam hening malam setelah semuanya reda, Nayla membuka matanya di kamar yang jauh dari suara peluru.
Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya.
“Kita selamat,” ucap Nayla pelan.
“Ya. Tapi hidup kita tidak akan sama lagi.”
Nayla menoleh, menatap mata pria itu. “Kalau aku harus mengulang semuanya hanya untuk bertemu denganmu… aku akan lakukan.”
Adrian terdiam sesaat, lalu menggenggam tangannya lebih erat. “Mulai sekarang, kita akan hidup bukan sebagai buronan… tapi sebagai dua orang yang memilih untuk bertahan meski seluruh dunia ingin memisahkan kita.”
Dan malam itu, di tempat yang tidak diketahui siapa pun, dua hati yang terkoyak oleh dunia akhirnya bersatu dalam damai untuk sementara.
Karena di dunia mafia, cinta tidak pernah berakhir begitu saja…