BOCIL HARAP MENEPI DULU.
*
"
Valencia Remi, seorang gadis muda usia 19 tahun dari desa. Dia memiliki rambut hitam panjang dan mata coklat yang indah. Senyumnya manis dan lembut, membuat semua orang jatuh cinta pada-nya. Cia Pergi ke kota jakarta untuk mengejar impian kuliah di universitas.
*
Cia berteman dengan seorang yang sudah lama tingal di jakarta dan memperkenalkan Kehidupan malam kota yang glamor.
*
Cia mulai terjebak dalam pergaulan bebas dan mengenal Aksa yang menawarkan Kehidupan mewah.
*******
"Jadi Cewek Gue, makan seluruh kehidupan Lo....Gue yang tanggung." Kata Aksa.
*
"Kamu tau kan ? Aku sudah punya pacar." Jawab Cia.
*
*
Penasaran dengan pilihan Cia ? Yuk ikuti kisahnya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Pantai
0o0__0o0
Setelah percakapan yang menggantung di depan kos, malam itu Cia tidak bisa tidur. Kata-kata Aksa terus berputar di kepalanya.
Tentang ketakutan Aksa, tentang rasa yang ia coba sembunyikan, dan tentang dirinya sendiri yang masih terikat dengan seseorang di kampung.
Keesokan harinya, tanpa banyak pikir panjang, Aksa mengajak Cia keluar. “Aku jemput jam tujuh pagi. Pakai baju santai,” begitu pesan-nya lewat chat.
Cia sempat bingung, tapi akhirnya menuruti. Saat mobil Aksa berhenti di depan kos, Cia mendapati laki-laki itu tidak lagi dengan ekspresi dingin semalam. Masih datar, tapi ada sedikit cahaya di matanya.
“Ke mana kita?” tanya Cia saat masuk mobil.
Aksa hanya melirik singkat. “Nanti juga tahu.”
Beberapa jam perjalanan, angin asin laut menyambut begitu mereka tiba di sebuah pantai sepi. Pasir putih terbentang, ombak kecil berkejaran ke bibir pantai, dan aroma laut yang khas membuat hati Cia perlahan tenang.
“Kenapa ke sini?” Cia menoleh pada Aksa.
“Karena di sini… aku bisa mikir jernih. Dan aku pengen kamu juga ngerasain itu.” Jawab-nya tenang.
Mereka berjalan menyusuri pasir. Cia membuka sandal, merasakan butiran lembut menempel di kakinya. Aksa berjalan di samping-nya, tangan-nya di masukkan ke saku celana, tatapan-nya jauh ke horizon laut.
Suasana itu begitu menenangkan. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam, menikmati suara debur ombak.
Lalu Cia memecah keheningan. “Kamu kenapa ?”
Aksa berhenti melangkah. Ia menatap Cia lama, lalu meng-gelengkan kepala-nya pelan
Ombak berkejaran memecah di bibir pantai, meninggalkan buih putih yang cepat menghilang disapu angin. Cia duduk di atas pasir dengan kedua kaki diluruskan, sementara Aksa sibuk menggambar sesuatu dengan ranting kayu di sampingnya.
“Sa, itu gambar apa?” Cia mencondongkan tubuh, mencoba mengintip.
Aksa menyeringai, “Kucing. Katanya kamu mau tato kucing di dada, kan ? Latihan dulu di pasir.”
Cia menunduk memperhatikan, lalu tertawa terbahak. “Astaga, itu mah lebih mirip tikus gemuk. Kuping-nya aja nggak sama besar!”
“Apaan sih? Ini karya seni, jangan di remehkan,” protes Aksa pura-pura serius.
Cia menahan tawanya, lalu dengan iseng mengambil ranting lain dan menambahkan garis-garis. “Nih, biar lebih mirip. Jangan kayak kucing kurus kurang gizi.”
Aksa melirik hasil coretan Cia, lalu pura-pura terkejut. “Eh buset, ternyata kamu lebih jago. Bahaya nih, calon pesaing masa depan.”
“Pesaing apa coba? Kamu aja gambar kupu-kupu bisa mirip capung, Sa,” sindir Cia sambil terkekeh.
Aksa mendengus, lalu tanpa aba-aba mencolekkan pasir ke pipi Cia. “Nih, biar ada tato di pipi duluan.”
Cia terperanjat, “AKSA!” serunya sambil menepuk lengan cowok itu. “Ih, jorok tau, kena mata nanti.”
Tapi Cia ikut balas dendam, mengambil segenggam pasir dan menaburkan-nya ke rambut Aksa. Cowok itu langsung berdiri, mengibaskan rambutnya yang belepotan pasir.
“Gila! Jadi keramas pasir gue.”
Cia ngakak terbahak-bahak sampai perutnya sakit. “Cocok tuh, perawatan alami. Biar rambut kamu tebel, Sa.”
Aksa menatapnya sambil menyipitkan mata, wajahnya pura-pura kesal, tapi matanya jelas hangat melihat Cia tertawa lepas seperti itu. Tanpa sadar, ekspresi wajahnya melunak, senyum-nya keluar tulus.
“Cia…” panggilnya pelan, berbeda dari nada bercanda barusan.
Gadis itu berhenti tertawa, menoleh ke arahnya. Ada kehangatan di sana, yang membuat dadanya ikut berdebar.
Suasana yang tadinya penuh tawa mulai berubah. Ombak tetap berisik, tapi di antara mereka, hanya keheningan yang tersisa, hening yang perlahan membawa ke arah lebih serius.
Tapi di balik canda itu, hatinya hangat. Suasana pantai, kebersamaan mereka, tawa kecil, semuanya membuat-nya lupa sejenak pada keruwetan perasaan.
Mereka duduk di atas pasir, membiarkan ombak kecil membasahi ujung kaki. Aksa mengambil botol minum menyeramkan-nya ke Cia.
“Minum dulu. Jangan di paksa mikirin aku terus.” Candanya.
Cia menerimanya, tersenyum samar. “Tapi kamu emang susah buat nggak di pikirin.” Timpal-nya spontan.
Kalimat itu membuat Aksa terdiam. Ia menatap Cia lama, lalu tanpa sadar tangan-nya bergerak menyelipkan helai rambut yang tertiup angin dari wajah gadis itu. Gerakan sederhana, tapi cukup membuat jantung Cia berdebar kencang.
“Kalau aku boleh egois,” suara Aksa pelan, nyaris tenggelam oleh suara ombak, “aku pengen kamu tetap di sini. Sama aku. Nggak usah mikirin siapa pun saat ini.”
Aksa menjeda ucapan'nya sejenak, "Biarkan hari ini hanya ada kamu dan aku. Tanpa bayangan orang lain yang terselip di antara kita." Sambung-nya serius.
Cia menutup mata sebentar, menghirup dalam-dalam aroma laut yang menenangkan. Ia tidak menjawab, tapi diamnya bukan penolakan lebih pada ketakutan untuk jujur pada dirinya sendiri.
Mereka duduk begitu lama, membiarkan waktu berjalan bersama suara ombak dan angin laut. Dan entah sejak kapan, Cia menyandarkan kepalanya di bahu Aksa.
Aksa menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa takut. Setidaknya hari ini, Cia ada di sisinya.
0o0__0o0
Setelah makan jagung bakar dan minum kelapa muda, Cia berdiri sambil merentangkan kedua tangan-nya, menghirup udara laut yang asin dan segar.
“Ahh… enaknya! Rasanya pengen teriak sekenceng-kencengnya.”
Aksa masih duduk santai di atas pasir sambil merokok. “Teriak aja kalau mau. Laut nggak bakal marah kok.”
Cia langsung menoleh, matanya menyipit, “Kalau aku teriak, semua orang bakal ngeliatin, Sa. Malu tau.”
Aksa mengangkat bahu, “Ya udah, teriak aja ke gue. Gue juga bisa jadi laut kok.”
“Ihh, apaan sih kamu.” Cia mendengus, lalu tiba-tiba menendang pelan pasir ke arah Aksa.
“Eh, dasar!” Aksa berdiri cepat, melepas rokoknya ke pasir, lalu mengejar Cia. Gadis itu menjerit kecil sambil lari ke arah bibir pantai, kakinya basah terkena ombak yang berkejaran.
“Sa, jangan kejar aku!” Cia berlari sambil sesekali menoleh ke belakang. Tapi tentu saja, langkah Aksa jauh lebih panjang. Dalam beberapa detik saja, tangan-nya sudah berhasil menangkap pergelangan Cia.
“Ketangkep juga kamu,” ucapnya sambil menarik tubuh Cia mendekat.
Cia masih berusaha melepaskan diri, tapi pijakan pasir yang basah membuatnya kehilangan keseimbangan. Untung-nya Aksa cepat-cepat meraih pinggang-nya, mencegah-nya jatuh.
Tubuh Cia berhenti tepat di dada bidang Aksa. Nafas mereka berdua sama-sama terengah. Ombak yang datang menyapu kaki mereka, membuat suasana jadi semakin tenang dan intim.
“Dasar bocil. Kalau jatuh tadi gimana, Hem ?” Suara Aksa pelan, tapi penuh rasa khawatir.
Cia menelan ludah, wajahnya memerah. “Aku… aku kan nggak jatuh.”
Aksa tersenyum miring, masih belum melepaskan genggaman-nya. “Iya, karena ada gue.”
Mata mereka saling bertemu untuk beberapa detik. Suasana mendadak hening, hanya ditemani suara deburan ombak. Jantung Cia berdegup cepat, sementara Aksa menatapnya dengan lembut, tatapan yang sering sekali Cia lihat dari dirinya.
Aksa masih menahan pinggang Cia erat-erat. Gadis itu mencoba menunduk, menghindari tatapan dalam dari mata cokelat Aksa, tapi cowok itu dengan lembut menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya agar kembali menatap.
“Kenapa buang muka, Hem?” suara Aksa rendah, serak diterpa angin laut.
“A-aku…malu,” Bisik Cia, wajahnya sudah merah padam.
Aksa tersenyum tipis, jemari-nya masih menahan dagu gadis itu. “Kalau sama aku, nggak usah malu.”
Cup..!
Detik berikutnya, tanpa memberi banyak jeda, Aksa menunduk sedikit dan menempelkan bibirnya di bibir Cia. Awalnya singkat, hanya menyentuh lembut.
Tapi ketika Cia tidak menolak, Aksa memperdalam ciuman itu, pelan namun penuh perasaan.
Cia terkejut, jantung-nya serasa berhenti berdetak sesaat. Namun entah kenapa, tubuhnya tidak bergerak untuk menolak. Sebalik-nya, ia justru terbuai dengan hangatnya bibir Aksa yang begitu tulus.
Deburan ombak yang menghantam karang, angin pantai yang berhembus, semuanya terasa seakan hilang. Hanya ada mereka berdua di sana.
Setelah beberapa detik, Aksa melepaskan ciuman-nya dengan enggan. Menatap wajah Cia yang kini memerah seperti kepiting rebus.
“Lihat ? Nggak ada yang salah dengan ini,” Ucap Aksa lirih, suaranya penuh arti.
Cia buru-buru menunduk, menggigit bibirnya sendiri yang masih terasa hangat. “A-aku…kamu itu selalu seenaknya, Sa…”
Aksa terkekeh, lalu mengacak rambut Cia dengan gemas. “Iya, seenaknya…karena aku sayang sama kamu.”
Cia terdiam, dadanya semakin sesak. Kata-kata itu begitu sederhana, tapi justru membuat hatinya bergejolak hebat.
0o0__0o0
Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, meninggalkan semburat jingga yang memantul di permukaan laut. Angin laut malam terasa lebih sejuk, membawa aroma asin yang menenangkan. Aksa dan Cia masih duduk di pasir, kini ditemani cahaya bulan yang mulai muncul.
Aksa berbaring sambil menatap langit, bintang-bintang kecil satu per satu muncul.
“Valen,” Suaranya pelan, “kamu sadar nggak, kalau bintang-bintang itu kayak kita ?”
Cia menoleh heran. “Maksudnya ?”
“Kelihatan dekat, padahal jauhnya nggak terukur. Kayak aku sama kamu.”
Cia terdiam. Dadanya terasa hangat sekaligus sesak.
Aksa bangkit, duduk bersila menghadap Cia. Wajahnya serius, matanya memantulkan cahaya bulan. “Aku nggak mau muter-muter lagi. Aku sayang sama kamu. Bukan cuma sekadar suka."
Aksa megang lembut tangan Cia, "Aku pengen kamu ada di hidupku, bukan cuma sebentar. Aku tahu aku keras kepala, aku nyebelin, kadang bikin kamu kesel. Tapi sama kamu, aku jadi berani mikirin masa depan."
Aksa meng-hembuskan nafas'nya dalam-dalam, lalu melanjutkan kalimatnya. "Aku cuma butuh tahu, ada nggak sedikit aja tempat buat aku di hati kamu ?”
Cia menahan napas. Hatinya bergetar mendengar pengakuan itu, begitu tulus dan dalam. Tapi sekaligus, bayangan seseorang di kampung muncul kekasih yang masih menunggu-nya, yang pernah ia janjikan kesetiaan.
“Aksa…” Suara Cia bergetar, “aku nggak bisa jawab sekarang. Kamu tahu aku masih punya seseorang di kampung. Aku nggak mau jadi orang yang nyakitin."
Cia menarik nafas dalam-dalam, lalu melanjutkan Ucapan'nya yang tertunda. "Aku…aku takut kalau aku jawab iya, aku malah menghianati perasaan orang lain.”
Aksa menunduk, tangan-nya meng-genggam pasir lalu membiarkan-nya jatuh perlahan di sela jemari-nya. Ada luka yang jelas, tapi ia mencoba tersenyum tipis.
“Aku ngerti. Aku nggak mau maksain kamu. Aku cuma pengen kamu tahu… perasaan aku nyata. Kalau kamu butuh waktu, aku bisa nunggu. Selama kamu nggak ninggalin aku gitu aja.”
Cia menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya ditarik ke dua arah antara janji lama dan perasaan baru yang tumbuh diam-diam. Angin laut meniup rambutnya, membuat momen itu semakin syahdu dan berat.
Aksa menatapnya sekali lagi, lalu perlahan mengulurkan tangan-nya, menyentuh punggung tangan Cia yang tergeletak di pasir.
“Aku nggak minta jawaban sekarang. Tapi jangan jauhin aku, Valen. Itu aja udah cukup buat aku.”
Cia tidak menarik tangan-nya. Ia hanya menatap laut lepas, membiarkan kebimbangan-nya tenggelam bersama suara ombak yang terus berulang.
"Aku hargai perasaan kamu, Sa. Tapi aku juga tidak bisa menghianati perasaan dia yang lebih dulu hadir di dalam hidup ku." Jawab-nya Sendu.
Aksa menunduk, lalu mengangguk singkat. Ia mengangkat wajahnya, menatap Cia dalam. "Aku tunggu jawaban kamu saat pesta pernikahan sahabat kita. Tepat jam 24.00 malam."
Malam itu, di bawah cahaya bulan dan langit penuh bintang, mereka sama-sama diam. Hanya hati yang berbicara, saling menunggu, saling bertahan.
0o0__0o0