Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Libur di Surabaya
Malam itu, suara hujan menyapu lembut jendela rumah keluarga besar Azam di Surabaya. Nayla duduk di tepi ranjang kamar tamu yang mereka tempati selama pulang kampung. Di tangannya, ia menggenggam syal kecil milik Amira—keponakan Azam—yang sempat tertinggal. Harum bayi itu masih terasa, menyisakan sesak yang tak bisa ia bendung.
Ia masih ingat jelas—dua malam lalu, saat ia terbangun karena ingin ke kamar mandi, ia melihat pemandangan yang mengguncang hatinya, Suaminya Azam duduk di ruang tengah, sambil menggendong Amira yang tertidur, dan... menangis dalam diam. Tangisan seorang lelaki yang selama ini ia kenal kuat dan teguh. Tangisan seorang suami yang tak pernah mengeluh, tapi menyimpan rindu yang tak bisa ia penuhi.
Malam ini, Nayla tak bisa membiarkan dirinya terus memendam.
"Mas..." ucap Nayla pelan, memecah keheningan kamar.
Azam menoleh, dari posisi duduknya di dekat rak buku, memandang Nayla dengan lembut. "Ya?"
Nayla mengatur napas. Kali ini tak boleh ada air mata sebelum kata-katanya selesai.
"Aku ingin kita bicara... tentang sesuatu yang mungkin berat. Tapi aku mohon, dengarkan aku dulu sampai selesai, ya?"
Azam mengangguk.
Nayla menatap mata suaminya—mata yang selama ini memberinya perlindungan dan cinta.
“Aku tahu kamu merindukan seorang anak. Kamu tak pernah bilang... tapi aku tahu. Aku melihat caramu memandangi Amira, caramu menggendong bayi-bayi kecil saat kita berkunjung ke rumah saudara. Bahkan... aku pernah melihat kamu menangis, Mas.” Suaranya mulai bergetar.
Saat itu, suasana sejuk menusuk kulit. Hujan mengguyur lembut atap rumah mereka. Di ruang keluarga, hanya suara rintik yang menemani dua jiwa yang duduk berhadapan. Nayla menatap wajah suaminya yang kini tak bisa lagi menyembunyikan apa pun darinya.
“Aku tahu, Mas... kamu rindu seorang anak,” ucap Nayla perlahan. “Aku tahu, karena aku melihatnya... saat kamu menggendong Amira, saat matamu tak bisa menyembunyikan rindu itu...”
Azam menunduk. Napasnya dalam dan berat.
“Dan aku tahu kamu menangis malam itu... saat semua orang sudah tidur.”
“Dan aku tahu kamu menangis malam itu... saat semua orang sudah tidur.”
Azam memejamkan mata. Tak ada lagi yang bisa disangkal.
“Ya, Nayla... kamu benar,” lirihnya, suara berat dan tulus. “Aku rindu... Aku sangat rindu. Kadang, saat malam sepi seperti ini, aku membayangkan ada suara tangis kecil yang memecah hening, ada tangan mungil yang menggenggam jari-jariku.”
Air mata mulai mengalir di pipi Nayla. Tapi Azam melanjutkan, menatap istrinya dalam-dalam.
“Tapi, dengarkan aku baik-baik, sayang...” Azam menggenggam tangan Nayla erat-erat. “Rindu itu
Ada, tapi cinta yang aku punya untukmu jauh lebih besar. Jangan pernah berpikir untuk memintaku menikah lagi demi memberiku keturunan. Karena aku... tidak akan pernah bisa mengkhianati cinta ini. Cinta yang lahir dari luka, dari tangis, dari doa kita bersama.”
Nayla terisak. Bibirnya bergetar, “Tapi Mas... aku tak ingin kamu kehilangan kebahagiaan hanya karena aku...”
“Bahagiaku itu kamu, Nayla,” potong Azam lembut. “Kamu, bukan yang lain. Aku mencintaimu bukan karena kamu bisa memberiku anak, tapi karena kamu bisa memberiku arah. Kamu mengajarkan aku arti menerima, memeluk masa lalu, dan tetap berdiri hari ini.” Azam tertunduk, kedua tangannya mengepal.
“Kalau Allah belum memberi kita keturunan, itu bukan akhir dari segalanya. Mungkin Allah ingin kita menjadi orang tua dari mereka yang tak punya siapa-siapa. Anak-anak yang butuh pelukan, tanpa harus lahir dari rahimmu.”
Nayla melanjutkan dengan lirih, “Mas, kamu lelaki yang sempurna untuk menjadi seorang ayah. Dan aku tahu, aku tidak bisa memberimu itu. Mungkin ini berat, tapi aku ingin kamu tahu... aku ikhlas jika kamu ingin menikah lagi.”
Azam langsung menatap Nayla dengan mata membelalak.
Nayla menahan air matanya. “Aku bukan menyerah. Tapi aku mencintaimu terlalu dalam untuk melihatmu terus memendam rindu seperti itu. Aku ingin kamu bahagia, Mas. Aku ingin kamu merasakan hangatnya menjadi ayah... mendengar suara langkah kecil di rumah kita, meski... mungkin itu bukan dari rahimku.”
Azam berdiri, berjalan cepat ke arah Nayla dan berlutut di hadapannya. Ia menggenggam tangan Nayla erat, menatapnya dengan mata yang basah.
"Jangan pernah ucapkan itu lagi," ucap Azam parau. "Nayla... kamu pikir selama ini aku bertahan hanya karena simpati? Kamu pikir aku menikah denganmu karena aku ingin keturunan? Tidak, Nayla."
Suara Azam mulai meninggi karena emosi, tapi nadanya tetap penuh cinta. "Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu. Jika Allah tak mengizinkan kita punya anak, maka itu takdir yang harus kita peluk bersama, bukan kamu yang menyerahkan dirimu dan meminta aku mencari pengganti."
Nayla menunduk, menangis terisak.
Azam mengangkat wajahnya perlahan, “Jangan tawarkan aku luka dengan dalih cinta. Karena bahagiaku... ada di sisimu,Nay... Dan hanya bersamamu...” Nayla tak kuat menahan semua isakan, ia langsung menubruk suaminya menangis dalam pelukan.
"Aku mencintaimu,Mas. Aku ingin memberimu kebahagiaan yang sempurna, untukmu."
Azam menghela nafasnya dalam, menatap Nayla dengan tajam.
"Aku tak ingin membahas soal ini lagi, jika masih ingin membahas soal istri untukku, aku tinggal tidur," ujar Azam bangkit dari duduknya.
"Mas...dengarkan aku dulu..."
"Cukup Nay...sudah malam lebih baik kita tidur, daripada bahas sesuatu di luar nalar," ujar Azam langsung melangkah ke kamar, tak ingin melanjutkan pembicaraan. Nayla menghela nafas, tertunduk lesu.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan