Aluna gadis yatim piatu berusia 21 tahun, menjalani hidupnya dengan damai sebagai karyawan toko buku. Namun hidupnya berubah setelah suatu malam saat hujan deras, ia tanpa sengaja menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya. Di sebuah gang kecil ia melihat sosok pria berpakaian serba hitam bernama Darren seorang CEO berusia 35 tahun yang telah melenyapkan seorang pengkhianat. Bukannya melenyapkan Aluna yang menjadi saksi kekejiannya, Darren justru membiarkannya hidup bahkan mengantarnya pulang.
Tatapan penuh ketakutan Aluna dibalik mata polos yang jernih menyalakan api obsesi dalam diri Darren, baginya sejak malam itu Aluna adalah miliknya. Tak ada yang boleh menyentuh dan menyakitinya. Darren tak ragu melenyapkan semua yang pernah menyakiti Aluna, entah itu saat sekarang ataupun dari masa lalunya.
Ketika Aluna perlahan menyadari siapa Darren, akankah ia lari atau terjatuh dalam pesona gelap Darren ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mantan Perawat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.17
© Ruang Utama Markas Darren: Obrolan Berbahaya ©
Darren duduk di sofa besar, menyesap segelas bourbon yang baru saja dituangkan oleh Hernan. Di hadapannya, Hernan dan Arga berdiri santai, meski keduanya tahu suasana hati bos mereka sedang buruk.
Asap rokok Arga mengepul di udara. Lelaki bertubuh tegap itu menyeringai sebelum akhirnya membuka suara, "Jadi, bos... apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu?"
Darren tidak langsung menjawab. Matanya yang tajam menatap kosong ke layar ponselnya, masih terpaku pada foto Aluna yang tersenyum dengan pipi chubby-nya yang menggemaskan. Jemarinya mengusap layar dengan lembut, namun ekspresinya gelap.
Hernan melirik Arga sekilas. "Kau tahu kan, Arga? Kalau bos lagi diam kayak gini, artinya seseorang sudah masuk daftar hitamnya."
Arga terkekeh, mengangkat bahu. "Aku sudah tahu sejak tadi, Hernan. Tapi siapa yang kali ini kena sial? Aku ingin ikut bermain, tapi kalau bos sudah turun tangan sendiri, berarti lawannya cukup menarik."
Darren akhirnya mendongak. Mata gelapnya berkilat, di antara obsesi gila dan kemarahan yang tertahan. "Bajingan kecil itu. Rayyan."
Hernan mengangkat alis, sedangkan Arga malah tertawa pelan. "Rayyan? Siapa dia?"
Darren memutar gelas bourbonnya, menatap cairan di dalamnya seolah bisa membunuh seseorang hanya dengan tatapan itu. "Teman kos Baby Chubby-ku. Dan bocah itu... berani membuatnya menangis."
Hernan bersiul pelan, seolah mengerti arah pembicaraan ini. "Hmm... kalau dia hanya teman kos, bisa jadi dia menyukai gadis kecil milikmu, bos."
Suasana ruangan menjadi lebih dingin.
Tawa iblis Darren menggema di dalam markas. Denting gelas bourbonnya terdengar saat ia meletakkannya di meja kaca.
"Tak ada seorang pun yang boleh menyakiti dan memiliki gadis kecilku," katanya dengan nada yang tenang, tapi mengerikan. "Baby Chubby hanya milikku. Hanya untukku seorang."
Arga menggeleng pelan, meniup asap rokoknya. "Kasihan bocah itu. Dia bahkan belum tahu dengan siapa dia berhadapan."
Hernan menyeringai. "Kalau bos sudah berkata begitu... berarti Rayyan hanya punya dua pilihan. Menjauh... atau lenyap."
Darren hanya tersenyum tipis. Ia sendiri yang akan menanganinya.
© Kamar Kos Rayyan: Penyesalan Yang Terlambat ©
Di lantai dua kos, Rayyan duduk di tepi kasurnya, kedua tangannya menutupi wajahnya.
Kata-kata Darren tadi masih terngiang jelas di kepalanya.
"Kata 'matre' hanya keluar dari mulut pria dengan banyak omong kosong... tapi dompet kosong."
Rayyan mengepalkan tangannya. Darren mempermalukannya habis-habisan. Dan lebih dari itu,dia menyakiti Aluna.
"Aku harus minta maaf..." gumamnya frustasi.
Rayyan meraih ponselnya, membuka chat Aluna. Jemarinya hendak mengetik sesuatu, tapi...
Tidak.
Apa Aluna masih mau menerima permintaan maafnya?
Dengan kesal, Rayyan melemparkan ponselnya ke kasur. Ia bangkit, berjalan keluar kamar, turun ke lantai satu.
Sayup-sayup, suara tawa terdengar dari kamar Reta. Mereka sedang menonton TV.Rayyan berhenti di depan pintu kamar,tangannya terulur, siap mengetuk.Jantungnya berdebar.Tapi... ia ragu.Bukannya mengetuk, Rayyan justru duduk bersandar di pintu.
© Kamar Kos Reta: Ghibah Sesi Dua Yang Memanas ©
Di dalam kamar, Aluna duduk di kursi kecil sambil mengunyah keripik. Pipi chubby-nya bergerak lucu setiap kali ia mengunyah, sementara Reta dan Yumna masih heboh membahas kejadian tadi.
Reta menggeleng-gelengkan kepala, masih tidak percaya. "Sumpah, Lun, aku masih gak nyangka Darren bisa ngomong gitu ke Rayyan! 'Kata matre cuma keluar dari mulut pria dengan banyak omong kosong tapi dompet kosong.' ASTAGA! ITU PUKULAN VERBAL YANG TELAK! SAVAGE YANG BER-DAMAGE!"
Yumna menepuk dadanya dramatis. "Sumpah, Ret! Aku hampir ingin pingsan! Terus ditambah lagi dia bilang gak masalah kalau Aluna matre, karena itu namanya realistis?! Bahkan dia bilang dia rela Aluna ngabisin uangnya asal itu Aluna! GILAAAAA! CEO LIMITED EDITION!"
Aluna yang sejak tadi mendengar, akhirnya terkikik pelan. "Lucu banget sih kalian..."
Reta menoleh cepat. "Eh? Lho? Kok ketawa? Biasanya kalau kita heboh gini, kamu malu-malu, Lun!"
Aluna masih tersenyum kecil, mengunyah keripik. "Soalnya... lucu aja denger kak Reta dan kak Yumna."
Yumna menepuk paha Reta dengan heboh. "Dengar tuh, Ret! Bahkan Aluna mulai terpengaruh dengan kita! HAH! AKU BERHASIL!"
Reta juga ikut kegirangan. "YAAAS! SELAMAT DATANG DI SEKTE KEHEBOHAN, LUNA!"
Aluna terkekeh pelan, tapi kemudian menghela napas. "Tapi sebenarnya... aku juga gak nyangka kak Darren akan mengatakan hal itu. Apalagi tadi dia sampai menggenggam kerah baju kak Rayyan..."
Yumna mengangguk antusias. "IYAAAA! AKU SAMPE PEGANGIN JANTUNG TAKUT JANTUNG AKU LEPAS!"
Reta tiba-tiba menyipitkan mata. "Tapi, Lun... beneran nih, kamu gak ada rasa apa-apa sama Darren?"
Aluna langsung tersedak keripik. "Eh?!"
Reta dan Yumna saling melirik penuh arti.
"Udah deh, Lun... mengaku saja..." kata Yumna menggoda.
"A-Apaan sih? Aku dan kak Darren baru ketemu hari ini! Lagipula... dia cuma menyelamatkanku..."
Reta dan Yumna langsung bersorak.
"DUH, LUN! DARREN BUKAN MANUSIA BIASA DEH..!! DIA TOKO FIKSI DALAM NOVEL VIP YANG TERLEMPAR KE DUNIA NYATA..!!
Aluna langsung menutupi wajahnya dengan bantal. "Aaaa! Kalian berisik!"
Tawa mereka menggema di dalam kamar, sementara di luar, Rayyan masih duduk bersandar di pintu, mendengar semuanya dengan perasaan yang semakin berat.
© Ruang Utama Markas Darren: Rencana Untuk Rayyan ? ©
Di markas, Darren masih duduk santai di sofa, memandangi gelas bourbonnya dengan tatapan kosong.
Arga membuang puntung rokoknya, lalu menatap Darren. "Jadi, bos... kapan kita mulai?"
Darren tersenyum miring, matanya berkilat obsesi. "Aku sendiri yang akan menangani bocah itu."
Hernan menyeringai. "Kalau begitu, kita tinggal menunggu perintah."
Darren menatap ponselnya, kembali ke foto Aluna. Jemarinya menyentuh pipi chubby gadis itu di layar, senyum dingin terukir di wajahnya.
"Baby Chubby-ku... bersabarlah. Aku akan menyingkirkan siapa pun yang menghalangiku."
© Ruang Utama Markas Darren: Ide Gila Sang Iblis Dimulai ©
Darren menghabiskan tetes terakhir bourbonnya, meletakkan gelas dengan dentingan pelan di meja kaca. Ia menyeringai tipis, menikmati rasa panas minuman itu mengalir di tenggorokannya. Hernan dan Arga berdiri di dekatnya, tahu bahwa sesuatu tengah berkecamuk dalam pikiran bos mereka.
Pintu ruangan terbuka, dan Zion masuk dengan langkah tergesa. Ia membungkuk hormat sebelum berbicara.
"Bos, dua pria suruhan Yasmin di dalam sel... mereka mati."
Darren tidak menunjukkan reaksi terkejut. Justru, ia malah tertawa rendah, mengusap dagunya dengan jari.
"Terlalu lemah," gumamnya penuh ejekan.
Arga menyeringai, meniup asap rokok ke udara. "Aku sudah menduga. Kalau bos membiarkan mereka hidup, itu artinya mereka berguna. Tapi kalau tidak… yah, mereka hanya sampah."
Hernan mengangkat alis. "Tapi, bos… apa yang akan kau lakukan dengan dua mayat itu?"
Darren memutar lehernya perlahan, senyum miringnya makin melebar. "Bermain, tentu saja."
Arga tertawa kecil. "Aku suka arah pembicaraan ini."
Tanpa membuang waktu, Darren bangkit dari sofa. Hernan dan Arga segera mengikutinya, begitu pula Zion. Mereka berjalan menuju penjara bawah tanah.
©Penjara Bawah Tanah:Hukuman Dimulai ©
Di dalam sel sempit dan dingin, jeritan ketakutan menggema. Ayah dan ibu Yasmin berlutut di lantai yang lembap, wajah mereka penuh ketakutan.
"Tolong… lepaskan kami! Kami mohon!"
Darren hanya diam, matanya menelusuri dua mayat yang tergolek di sel sebelah. Tubuh mereka tak lagi utuh,darah segar masih menetes dari luka mereka. Mata mereka membelalak, seakan masih menyisakan horor terakhir sebelum ajal menjemput.
Darren menghela napas dramatis. "Sungguh menyedihkan. Mereka seharusnya bisa bertahan lebih lama."
Zion menelan ludah, lalu bertanya hati-hati. "Bos, apa yang harus kami lakukan dengan mayat ini?"
Darren tersenyum kejam. "Gantung salah satunya di dalam sel orangtua Yasmin. Biarkan mereka melihat akibat dari kebodohan anak mereka sendiri. Untuk satu lagi… aku ingin Yasmin memiliki teman tidur malam ini."
Arga bersiul rendah. "Kasihan sekali gadis bodoh itu."
Hernan terkekeh. "Atau justru sangat beruntung karena malam ini punya 'teman tidur' ?"
Tanpa banyak bicara, Zion dan salah satu penjaga sel menyeret m4y4t pertama ke dalam sel orangtua Yasmin. Begitu tub*h itu digantung di langit-langit, kep4l4 terkulai dengan d4r4h masih menetes dari anggot4 tubuh yang tak lagi utuh, ayah dan ibu Yasmin langsung menjerit ketakutan.
"TIDAAAK! ASTAGA! TIDAKKK!"
Ibu Yasmin menjerit histeris sebelum akhirnya pingsan, sementara ayah Yasmin muntah hebat.
Darren tertawa rendah. "Lucu sekali. Mereka baru melihat ini, dan sudah menyerah?"
Arga menepuk pundak Hernan. "Dengar itu? Mereka bahkan belum melihat hadiah untuk Yasmin."
Zion dan penjaga sel kembali menyeret m4y4t kedua menuju ruangan di mana Yasmin dikurung. Begitu pintu terbuka, terdengar suara rintihan ketakutan.
Yasmin masih terikat di kursi, tubuhnya gemetar hebat. Matanya melebar saat melihat m4y4t yang diseret mendekatinya.
"T-Tidak… TIDAK!"
Darren melangkah mendekat, berjongkok di depan Yasmin. Ia menikmati pemandangan ketakutan di wajah gadis itu.
"Kenapa ketakutan, Yasmin? Bukankah kau tidak takut dengan kematian?
Yasmin menangis terisak. "A-Aku mohon… jangan lakukan ini…"
Darren menyeringai. "Ini baru permulaan. Kau menyakiti Aluna. Dan untuk itu, aku akan memastikan kau merasakan ketakutan setiap detik dalam hidupmu."
Dengan satu gerakan, Zion dan penjaga meletakkan m4y4t itu di bawah kaki Yasmin. Bau anyir darah langsung memenuhi ruangan. Yasmin menjerit keras, tubuhnya bergetar begitu hebat hingga kursinya bergoyang.
Darren menepuk pipi Yasmin perlahan. "Nikmati malam ini, Yasmin."
©Kos Reta:Penyesalan Rayyan ©
Sementara itu, di depan pintu kos Reta, Rayyan masih duduk bersandar di lantai.
Pikirannya kacau.Rayyan mengusap wajahnya kasar, menarik rambutnya sendiri, frustasi."Brengsek… aku bodoh! Aku benar-benar bodoh!"
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Lalu, dengan ragu, ia mengangkat tangannya dan mengetuk pintu.
Dari dalam, terdengar suara Reta.
"HAH?! SIAPA SIH MALAM-MALAM BEGINI?! JANGAN BILANG INI HANTU SUSTER KOS!!"
Yumna ikut berseru. "YA AMPUN! KALAU INI KUNTILANAK, SETIDAKNYA BAWAIN KITA KERIPIK DULU, JANGAN KOSONGAN!"
Aluna yang baru saja menyandarkan diri di kursi hanya bisa menggeleng lelah.
Reta akhirnya berjalan ke pintu, membukanya dengan dramatis. Begitu melihat siapa yang berdiri di depan, matanya menyipit.
"Oh, ternyata Upil Semut. Mau apa kau?"
Yumna memutar bola matanya. "Serius? Tengah malam begini? Kau pikir ini konser musik di GBK?!"
Rayyan menunduk, lalu berbicara lirih. "Aku… aku ingin bicara dengan Aluna."
Reta mengangkat alis skeptis. "Oh? Mau bicara? Hmm… gimana ya? Aluna mau bicara, nggak?"
Mereka menoleh ke arah Aluna.Aluna yang tadinya mulai cerah setelah tertawa bersama Reta dan Yumna, kini kembali muram. Matanya berkaca-kaca.
Rayyan merasa sesak.Sebelum Aluna bisa menjawab, Rayyan berkata lagi. "Tolong, Aluna. Aku hanya ingin meminta maaf."
Aluna menundukkan kepala, menggigit bibir.
Lalu, dengan suara kecil, ia berkata, "Aku capek… Aku mau tidur dulu."
Tanpa menunggu jawaban, ia masuk ke dalam kamar.
Yumna mendecak. "Hah, enak banget ya. Udah bikin cewek menangis, tinggal minta maaf, selesai. Wah, enak! Gimana kalau besok aku tabok kamu juga, Rayyan? Abis itu aku minta maaf. Beres, kan?"
Reta mendelik. "Makanya, mulut dijaga. Sekali bicara, bisa merusak segalanya."
Tanpa basa-basi, ia menepuk pundak Rayyan dengan cukup keras, lalu menutup pintu tepat di depan wajahnya.