Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
¹⁷ Pinjam Arif
Arif tidak serta merta menyetujui permintaan ku. Dia tampak berpikir keras. Bulek Siti yang keluar dari dapur, langsung bergabung dengan kami. Di tangan nya sudah tertenteng plastik yang membungkus kotak makan ukuran kecil.
"Ini, Neng, bulek sudah siapkan bakwan jagungnya."
"Makasih banyak Bulek. Oh iya, Bulek, Rifani boleh pinjam, Arifnya dulu?"
Mungkin Arif bimbang mengantar ku, karena tidak berani meminta izin pada ibunya, maka biar aku saja yang minta izin langsung pada Bulek Siti.
"He?"
Wanita sepuh itu mengernyitkan alis, sepertinya belum paham dengan permintaan ku yang memang masih belum terucap semua.
"Itu, Bulek. Saya pinjam Arif untuk mengantar saya ke Puncak, menyusul suami."
"Oalah... aye kira di pinjam buat apaan. Hehe, tapi apa Neng Rifani ndak kecapekan kalo ke Puncak di bonceng pakai sepeda motor Apalagi, Neng baru pingsan."
"Pasti kuat, Bulek. Ini mendesak sekali. Saya harus segera menyusul ke sana."
"Oh, ya sudah gapapa. Hati-hati di jalan, Rif. Jangan ngebut-ngebut."
"Iya, Mak. Aku siap-siap dulu."
Waktu menunjukkan pukul sembilan, ketika kami berpamitan pada Bulek Siti. Jalanan tidak semacet ketika anak sekolah dan orang yang bekerja sama-sama mengejar waktu untuk berangkat.
Di tambah Arif yang sudah menguasai jalan daerah sini, hingga tahu jalan tikusnya, membuat perjalanan kami lancar.
"Mbak, memang kita mau ke mana ini? Puncak yang sebelah mana?" tanya Arif ketika sampai di perbatasan kota. Dia memelankan laju motornya.
Oh iya, aku belum mengatakan alasan yang sebenarnya mengajak Arif ke kota ini. Belum tahu pula letak pastinya suamiku sekarang.
"Kita ngopi dulu sebentar ya, Rif. Kamu 'kan habis nyetir motor lama, pasti capek. Saya juga haus, ini."
Tidak mungkin menceritakan hal sensitive itu di perjalanan. Akhirnya aku meminta Arif untuk membelokkan motor nya ke sebuah tempat. Kebetulan kami berada di dekat cafe yang tidak begitu ramai, jadi aku bisa menceritakan semuanya pada Arif.
Judulnya ngopi di cafe, tapi yang di pesan malah bukan kopi. Arif menyeruput ice tea original, sementara aku mengaduk-aduk ice thai tea dengan sedotan.
Bingung mau memulai cerita dari mana, apalagi lawan bicaraku ini adalah bocil yang baru lulus SMK. Namun, jika tidak cerita apa adanya, mana mungkin Arif bisa membantuku.
Dengan menekan rasa malu, aku menceritakan apa yang terjadi padaku. Aku yakin, Arif sudah dewasa dan bisa mencerna apa yang ku sampaikan.
"Hah, Mbak, yakin?" tanya Arif dengan memberi penekanan pada kata terakhir.
"Iya Rif, dari handphone Mas Nata yang saya sadap, menunjukkan tanda-tanda seperti itu."
"Bukannya selama ini, Mas Nata selalu baik dan perhatian pada Mbak Rifani?" Arif tampak heran, seperti tidak percaya pada ceritaku begitu saja.
"Jujur ya, Mbak. Aku sempat cemburu melihat kemesraan Mas Nata dan Mbak Rifani. Eh, bukan cemburu, sih. Lebih tepat nya, aku ingin jika sudah menikah nanti, bisa selalu romantis ke pasangan kayak Mas Nata gitu."
Aku tersenyum miris. Mas Nata memang sehangat itu, tapi dulu. Sejak bekerja di kantor yang baru, dan karirnya melejit, sikap nya jadi banyak yang berubah. Sekarang, dia bahkan tidak mau menyentuhku.
"Iya Rif. Makanya saya mau membuktikannya sendiri. Saya nggak mau terjebak dalam dugaan-dugaan yang justru membuat hati sakit."
"Oh seperti itu ... maaf, Mbak. Boleh pinjam handphone nya sebentar? Biar saya cari tahu di mana Mas Nata sekarang berada."
Aku pun memberikan layar pipih itu pada Arif. Tidak membutuhkan waktu lama, dia sudah mengantongi sebuah nama hotel di mana suami ku berada sekarang.
"Wah, gercep banget kamu, Rif."
"Alhamdulillah, hasil dari sekolah tiga tahun, bisa di terapkan untuk membantu orang." Dia nyengir.
Kami gegas bertolak ke hotel, setelah gelas sudah sama-sama kosong. Ternyata, hotel itu tidak jauh dari cafe tempat kami beristirahat sebentar tadi. Dari luar, tampak sebuah pintu kupu tarung yang terbuat dari kaca.
Melewati pintu yang tinggi dan lebar itu, hatiku semakin tidak karuan. Antara penasaran ingin segera tahu kebenaran dan takut menerima kebenaran itu sendiri.
Setelah berada di dalam lobi, aku mengamati ruangan luas itu sebentar, lalu berjalan menuju meja resepsionis.
"Permisi kak, suami saya menginap di hotel ini. Boleh saya tahu nomor kamar nya?"
"Maaf kak, kami tidak bisa memberi tahu privasi tamu kami."
Resepsionis tersebut menyatukan kedua telapak tangan nya di depan dada.
"Tolong, Kak. Ini penting bagi saya. Atau kalau tidak, saya minta kunci cadangannya saja. Biar saya ke sana sendiri." Aku memelas, tapi resepsionis itu teguh pada pendiriannya.
"Jika benar suami Kakak menginap di hotel kami, silahkan Kakak menghubungi suami Kakak dan memintanya turun ke lobi untuk bertemu," jawab resepsionis tersebut mantap dan tetap memamerkan senyum termanisnya.
Aku tidak bisa menahan gemuruh di hatiku lagi. Ku pegang dada sebelah kiri, sakit sekali rasanya. Entah sudah semerah apa mataku. Ternyata, niatku untuk menggerebek Mas Nata harus gagal oleh peraturan hotel.
Sebenarnya aku sudah tahu peraturan hotel berbintang yang setaraf internasional ini. Namun, kecemburuan membuatku hilang kendali dan tidak bisa berpikir dengan jernih.
"Sudah, Mbak. Kita duduk aja dulu. Mbak harus tenang." Arif menghampiri dan sedikit berbisik di dekat telinga.
Aku menurut, mencari tempat untuk duduk. Pasti malu sekali jika menangis di depan resepsionis dan di tonton orang asing. Aku memilih duduk di sofa yang berada di paling ujung, jauh dari resepsionis dan lalu lalang pengunjung hotel.
Di sini aku bisa menumpahkan air mata yang sejak tadi berdesak-desakan ingin keluar. Tidak peduli jika tangis ku di saksikan bocah cilik itu. Rasa sakit di dada mengalahkan rasa malu. Lagi pula, aku sudah menganggap Arif seperti adikku sendiri.
"Mbak, Mbak jangan menangis seperti ini ya. Aku gak kuat melihat nya."
Mendengar ucapan Arif, tangis ku malah semakin pecah.
"Udah... udah. Semua pasti akan baik-baik aja." Arif menepuk-nepuk pundakku.
Cukup lama kami duduk di lobi, hingga aku bisa mengatasi rasa sedih. Ku ambil gawai dari dalam tas, mencoba menghubungi suami.
Panggilan yang pertama, terabaikan. Sementara panggilan ke dua malah di reject. Beberapa saat kemudian, muncul notif chat darinya, ku buka.
[Maaf ya, Yang. Mas lagi meeting dengan klien. Belum bisa nerima telepon.] Dua emoticon love menjadi akhir dari kalimatnya.
"Katanya, dia sedang meeting dengan klien, Rif." Aku memberitahu isi chat Mas Nata pada Arif.
"Hmm... Mbak, udah waktu zuhur. Mending kita nyari mushola dulu. Siapa tahu setelah mengadukan semua kegelisahan kita pada Tuhan, hati menjadi lebih tenang."