Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 17 - Keterlaluan
Kini, di ruang tengah yang megah, Rita sedang duduk santai di sofa panjang yang empuk sambil mengenakan jubah mandi milik vila.
Ia bersikap seolah Nyonya di rumah tersebut. Kakinya diangkat ke atas meja kaca, dengan mulutnya yang sibuk mengunyah buah anggur yang diambil dari kulkas tanpa izin.
“Teh hijau hangat lagi, ya. Jangan terlalu manis seperti yang tadi. Oh, dan bawa kue keringnya juga. Yang mahal itu!," teriak Rita sambil melambai ke arah asisten.
Seorang asisten tampak ragu dengan perintah itu namun ia tetap mengangguk lalu berlalu ke dapur.
Sedangkan Nadine, gadis itu tak kalah berulah. Ia berjalan-jalan di koridor lantai atas sambil memeriksa setiap lukisan dan pajangan seolah-olah sedang menilai barang lelang.
“Hmm... lukisan ini bisa dijual mahal. Apa semua ini bakal jadi warisan Azura juga nanti? Gila sih," gumamnya.
Ia lalu membuka satu pintu ruang baca dan masuk tanpa izin.
“Wah... ada perpustakaan pribadi segala. Eh, ada piano juga.”
Tanpa izin dan tanpa tau malu, Nadine langsung memainkan satu dua tuts piano yang menghasilkan suara sumbang. Lalu tertawa sendiri.
Kembali ke ruang tengah. Seakan tiada henti, Rita terus memanggil salah satu pelayan wanita untuk di perintah.
“Hei, kau yang disana. Pijit pundakku, pegal sekali. Seharian jalan-jalan keliling rumah ini bikin badan kerasa tua," serunya.
“Maaf, Bu... saya belum—”
“Saya ini tamu VIP! Kamu pikir saya nggak boleh dilayani di sini?,” sela Rita.
Pelayan itu pun hanya bisa mengangguk dan mulai memijat perlahan, meskipun jelas terlihat ketidakikhlasan di wajahnya.
Sementara itu, Nadine turun lagi dan membawa beberapa kalung dari lemari pajangan di ruang tamu, bahkan salah satu kalung tersebut ia pakai.
“Ibu lihat ini? Cocok banget di aku, kan? Mungkin aku juga bisa nikah sama orang kaya kayak Rangga suatu saat nanti.”
“Kalau kamu cukup licik seperti ibu, pasti bisa, sayang.”
HA HA HA HA HA...
Mereka pun tertawa bersama, bahkan suara mereka itu memenuhi ruangan dan membuat para asisten di sekitar menunduk sambil menahan amarah.
**
Akhirnya, hari yang terasa panjang pun hampir malam, namun Rita dan Nadine belum juga berniat akan pergi. Mereka malah meminta makan malam disiapkan khusus untuk mereka.
“Kita makan malam dulu saja, baru pulang. Lagian rumah ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan cepat-cepat," ujar Rita seenak jidat.
“Iya. Siapa tahu besok kita masih diundang menginap Xi Xi Xi."
Beberapa asisten yang mendengar ucapan itu hanya bisa saling pandang tapi tak berani bicara, namun jelas mereka merasa muak.
Dan di lantai atas, Azura yang baru bangun dari istirahat siangnya mulai merasa gelisah. Mengingat dua tamu tak di undang apakah masih berada di rumahnya?
Akhirnya ia pun keluar kamar untuk memastikan hingga langkahnya terhenti saat melihat pemandangan di bawah.
Ternyata Rita dan Nadine masih di sana. Tertawa, menguasai, dan bertingkah seolah itu rumah mereka sendiri.
"Apa yang mereka lakukan?."
Dengan jalan yang sedikit tertatih, Azura pun berjalan menuruni tangga.
“ibu, Nadine... Aku mohon, pulanglah. Aku tidak sedang mengusir kalian. Tapi tempat ini... tidak cocok untuk kalian terlalu lama," punya Azura baik-baik.
Namun, Rita merasa tidak terima lalu menyilangkan tangannya dengan wajah yang mencibir. “Hah! Pulang? Setelah perjalanan jauh dan berkunjung dengan pelayanan seperti ini? Kau pikir kami hanya main ke warung?.”
“Apa takut suamimu yang gila itu bakal ngamuk lagi dan nyakitin kita, ya?,” timpal Nadine seraya menyeringai sinis.
Azura menatap keduanya dan berusaha menahan diri meski merasa kesal. Ia tidak ingin berkata kasar. Bukan karena takut tapi karena tidak ingin memancing ledakan baru, terutama dari Rangga yang bisa muncul kapan saja.
“Aku cuma tidak ingin ada yang terluka. Kalian sudah lihat sendiri seperti apa keadaan Rangga. Aku tidak ingin ada hal buruk terjadi, itu saja," tutur Azura.
Rita melipat tangannya lalu mendekat ke arah Azura dengan tatapan licik lalu berkata, “Baiklah. Kami akan pulang. Tapi dengan satu syarat…”
“Syarat?.”
“Kau beri kami uang. Jumlahnya tidak sedikit, anggap saja... biaya kedatangan kami. Sekaligus kompensasi karena sudah ‘menjenguk’ orang semalang dirimu.”
“Apa!? Ibu, aku tidak punya uang sebanyak itu. Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku bahkan... tidak punya akses untuk memegang uang keluarga Rangga!”
“Omong kosong!," bentak Rita. "Mana mungkin menantu konglomerat tidak pegang uang! Kau pikir aku bodoh?! Kau hanya pura-pura! Dasar anak munafik!.”
Tiba-tiba, Rita mendorong Azura dengan cukup keras sehingga tubuh Azura pun oleng, namun seorang asisten dengan sigap menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
“Maaf Bu, tolong jangan kasar. Nona Azura masih dalam masa pemulihan," ujar sang asisten.
Namun, bukannya merasa bersalah Rita malah melotot ke arah si asisten meaku tidak berkata apa-apa.
Adapun Azura, meski hampir jatuh, kini ia berdiri dengan tegak. Wajahnya tampak lelah, tapi sorot matanya terlihat tenang.
Ia menatap ibunya dengan keberanian yang belum pernah ia miliki sebelumnya lalu berkata, “Ambillah apa yang aku bisa berikan. Tapi jangan paksa aku menyerahkan sesuatu yang bukan milikku. Dan kalau kalian benar-benar peduli, kalian seharusnya tidak memperlakukanku seperti ini.”
“Cih! Kau bukan siapa-siapa tanpa kami. Jangan pernah lupa itu!," bentak Rita.
“Justru karena kalian, aku tahu bagaimana rasanya menjadi tidak dianggap. Sekarang, aku belajar untuk berdiri sendiri," jawab Azura.
Rita menatap Azura dengan sorot mata yang tajam dan merasa tidak terima, namun entah mengapa kali ini ia memilih diam.
“Sudahlah Bu. Kita pergi saja," ajak Nadine seraya menarik tangan ibunya pelan.
Namun, belum sempat mereka melangkah, tiba-tiba...
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong