yang Xian dan Zhong yao adalah 2 saudara beda ayah namun 1 ibu,.
kisah ini bermula dari bai hua yg transmigrasi ke tubuh Zhong yao dan mendapati ia masuk ke sebuah game, namun sialnya game telah berakhir, xiao yu pemeran utama wanita adalah ibunya dan adipati Xun adalah ayahnya,,.
ini mengesalkan ia pernah membaca sedikit bocoran di game love 2 dia adalah penjahat utama, ini tidak adil sama sekali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aludra geza alliif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
segel Giok
Sebelum mereka berangkat ke kediaman peramal, Wei Jie—ahli otopsi yang terkenal karena ketelitiannya—menyerahkan laporan otopsi dengan tangan bergetar ringan.
Zhong Yao menyambutnya sambil berjalan mendekati mayat yang sudah dibaringkan dengan rapi. Ia mengamati sejenak, matanya setajam seekor elang yang tengah membedah langit.
"Ada senyawa dari dupa jenis tertentu dalam tubuhnya," terang Wei Jie sambil menunjuk catatan kecilnya. "Dupa ini jika dikonsumsi dalam jumlah kecil bisa menimbulkan halusinasi ringan dan rasa melayang. Jumlahnya tak banyak, tapi cukup untuk memengaruhi kesadaran."
Zhong Yao mengangguk pelan, lalu bertanya, “Makanan apa saja yang belum tercerna?”
“Ada kacang-kacangan dan cabai Sichuan.”
Zhong Yao mengangkat alis. “Cabai Sichuan? Itu kuat sekali efeknya. Periksa dapur peramal—apakah dia membeli cabai atau kacang itu dalam beberapa hari terakhir. Lacak juga siapa pemasoknya.”
Lu Yu, yang sejak tadi diam dan menyimak, akhirnya bicara. “Dan panggil juga pedagang kain dari wilayah Yanchi. Yang terkenal. Suruh datang jam sepuluh siang setelah kita kembali dari rumah peramal.”
Petugas-petugas segera berhamburan menuruti perintah.
---
Rumah peramal berada di tengah kota, dan perjalanan ke sana memakan waktu sekitar dua cangkir teh—dua puluh menit yang lumayan menyenangkan, setidaknya bagi satu orang.
Zhong Yao tampaknya tak bisa menahan diri. Di sepanjang jalan, ia berhenti hampir setiap beberapa langkah untuk membeli makanan—gula-gula lengket, bakpao isi jamur, kue kering wijen, hingga jajanan musim semi yang langka. Ia melahap semuanya dengan wajah puas, tak memedulikan kerumunan orang atau siapa yang membayar.
Lu Yu, seperti biasa, berjalan di belakangnya dengan langkah anggun tapi penuh kesabaran. Tangannya tak berhenti mengeluarkan koin dari saku dalam jubahnya, membayar satu per satu dengan wajah tanpa ekspresi.
Guo Jia yang menyaksikan semua itu hanya geleng-geleng kepala. “Aneh, padahal di antara kita, Zhong Yao itu yang paling kaya,” gumamnya.
Seolah mendengar pikirannya, Zhong Yao menoleh ke Lu Yu, menatap pria itu dengan rasa bersalah yang terlalu dibuat-buat. Lalu senyumnya mengembang melihat jepit rambut giok berbentuk daun teh yang menghiasi rambut Lu Yu yang terikat dan disanggul tinggi.
“Jepit rambutmu… bagus sekali,” puji Zhong Yao dengan nada ringan.
Tanpa berkata sepatah pun, Lu Yu melepas jepit itu dan, dengan gerakan halus dan penuh ketelitian, menyematkannya di rambut Zhong Yao.
Zhong Yao terkesiap. Lalu, seakan tak ingin kalah, ia berlari ke arah toko emas di pinggir jalan.
Di dalam, ia memilih dengan cepat. “Yang itu, tusuk konde emas dengan hiasan ruby merah.”
Si pemilik toko menatapnya penuh minat. “Tuan muda… apa ini hadiah untuk kekasih Anda?”
Zhong Yao terkekeh, “Ah tidak, hanya untuk... seorang teman.”
Ia kembali dengan langkah ringan, lalu tanpa peringatan, menyematkan tusuk konde emas itu di rambut Lu Yu. “Sekarang kita impas,” katanya dengan bangga.
Lu Yu hanya menatapnya datar. Tapi di sudut matanya, ada bayangan senyum yang terlalu cepat untuk ditangkap.
Penjaga toko yang melihat kejadian itu dari balik tirai, tersenyum diam-diam. Matanya bersinar seperti tetangga yang terlalu sering membaca kisah cinta dari celah jendela rumah orang lain.
Sementara itu, Guo Jia berdiri tak jauh di belakang mereka, tangannya menyilang dan dahi mengernyit. Ia tampak sibuk menyusun ulang potongan-potongan informasi dalam benaknya.
Di sampingnya, Han Mu Zi memeluk gagang pedangnya dengan sikap tenang. Tak ada yang bisa membaca apa yang dipikirkan oleh gadis bayangan itu.
Langkah mereka belum jauh dari toko emas ketika mata Zhong Yao terpaku pada sesuatu yang tidak biasa.
Sebuah restoran tua berdiri di sudut jalan, tampak sederhana namun rapi. Di antara kerumunan pelanggan pagi itu, pelayan muda melintas membawa nampan kayu berisi teh. Saat cangkir porselen itu bergetar pelan di atas nampan, mata Zhong Yao menangkap kilau samar yang menghentikan langkahnya.
Ia menyipitkan mata, mendekat beberapa langkah.
Pada permukaan cangkir—yang warnanya mulai memudar oleh usia dan pencucian berkali-kali—terpampang lambang kecil berbentuk giok setengah bulan. Lambang itu sama persis dengan yang terukir di bungkus paket misterius yang dikirimkan pada sang peramal.
“Lu Yu,” panggilnya pelan namun tegas.
Lu Yu segera menghampiri, matanya mengikuti arah tatapan Zhong Yao.
“Lihat itu. Lambang itu.” Zhong Yao menunjuk cangkir dengan dagunya, suaranya nyaris berbisik. “Sama seperti segel pada bungkus paket itu. Hanya... lebih pudar. Mungkin tempat ini ada kaitannya.”
Lu Yu tidak menjawab, namun mengangguk kecil dan memberi isyarat tangan pada Guo Jia yang langsung mengerti dan melangkah ke dalam, berpura-pura menjadi pelanggan biasa.
Sementara itu, Zhong Yao memasuki restoran dengan langkah ringan, seperti tak terjadi apa-apa. Ia memilih duduk di sudut dekat jendela, memanggil pelayan dan memesankan teh hijau serta kue ketan isi kacang.
Pelayan datang dengan wajah ramah. Ia masih muda, mungkin belum mencapai dua puluh tahun, dengan lengan baju yang digulung dan gerakan cekatan.
“Teh hangat dan kue ketan,” ujarnya sambil meletakkan cangkir di meja Zhong Yao.
Zhong Yao menatap cangkir itu—lebih dekat kali ini. Lambang giok setengah bulan terlihat jelas, meski telah memudar. Ia mengetuk pinggiran cangkir dengan jarinya, lalu tersenyum tipis.
“Boleh aku tanya?” katanya ringan. “Cangkir-cangkir ini... apakah hanya restoran ini yang menggunakannya?”
Pelayan tampak terkejut sejenak, lalu menggeleng. “Oh, itu cangkir lama, tuan. Sudah bertahun-tahun kami pakai. Katanya dulu ada yang membuatnya khusus untuk warung teh di dekat pelabuhan Yanchi. Tapi pemiliknya bangkrut dan kami membelinya murah. Sekarang susah cari yang serupa.”
Zhong Yao mencatat nama “pelabuhan Yanchi” dalam ingatannya.
Lu Yu muncul di belakang pelayan, meletakkan satu tael perak di atas meja. “Untuk cangkir ini,” katanya singkat.
Pelayan tampak bingung, namun tak berani menolak.
Zhong Yao mengambil cangkirnya dengan hati-hati, seperti sedang mengangkat artefak bersejarah. Ia menatap Lu Yu sambil tersenyum tipis.
“Kadang, kebenaran bukan di balik pintu yang terkunci… tapi di dasar cangkir yang terlupakan.”
Lu Yu menghela napas, setengah lelah, setengah kagum.
“Sudah kenyang jajan?” tanyanya setengah menggoda.
“Belum. Tapi kebenaran lebih menggugah selera,” jawab Zhong Yao, matanya bersinar.
Guo Jia keluar dari restoran sambil mengibas-ngibaskan kipasnya. “Nama pemilik sebelumnya ada di buku inventaris dapur. Aku akan menelusuri siapa yang menjual cangkir ini dan apakah mereka juga menjual... sesuatu yang lebih berbahaya.”
Langkah mereka kembali menyatu. Arah selanjutnya: rumah peramal yang kini tak lagi hanya menyimpan misteri kematian… tetapi juga jejak masa lalu yang semakin menyerupai pusaran gelap.