Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Hari ini matahari belum terlalu tinggi, namun suasana di depan warung milik keluarga David tampak begitu ramai dengan banyaknya para tetangga yang datang untuk mengucapkan selamat pada pria itu.
David memang secara resmi telah membuka warung makan milik keluarganya kembali. Berbekal sedikit pengetahuan dari resep terdahulu, David sangat yakin jika kali ini dia akan sukses besar.
Pria itu bahkan tersenyum sangat lebar saat pemotongan tumpeng sebagai tradisi di daerahnya.
Luna juga berada disana, berdiri di depan pintu, matanya menatap ke arah suami dan keluarganya yang tampak sangat bahagia. Meski David melakukan hal ini tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengannya, Luna tetap bersikap biasa sebagai cara untuk menghindari pertengkaran dengan suaminya.
“Selamat Mas David, akhirnya warung makan ini bisa buka lagi,” ucap salah seorang tetangga yang membawa sebakul kecil berisi bunga yang akan diletakkan di pojokan meja.
“David memang memiliki semangat yang besar,” ujar Bu Galuh membanggakan putranya. “Dia sengaja meninggalkan pekerjaan di kota hanya untuk bisa membuka usaha di tanah kelahirannya.”
Luna yang mendengarnya tampak mengerutkan kening. “Meninggalkan pekerjaan apanya? Jika kena PHK sih jelas benar.”
Akhirnya Luna memutuskan untuk menjauh, merasa tidak sanggup mendengarkan kebohongan Ibu mertuanya yang semakin lama semakin melantur saja.
David dan Bu Galuh sepertinya sangat menikmati berbagai macam pujian yang dilontarkan oleh para tetangga. Meski tidak ada yang tahu apakah pujian itu memang benar dari lubuk hati terdalam mereka, atau hanya sebatas bualan semata.
Dan saat itulah, sosok seorang wanita ikut masuk di tengah keramaian yang ada. Kumala, melangkah masuk secara perlahan.
Hari ini, wanita itu tampak cantik mengenakan tunik warna pastel dan celana panjang kain. Rambutnya dikuncir rapi ke belakang, sedangkan wajahnya sengaja hanya diberi riasan setipis mungkin.
Kumala ingin terlihat cantik natural, menunjukkan pada orang-orang betapa mulus kulit wajahnya, bahkan tanpa riasan tebal. Meski sebenarnya ia sengaja datang untuk menarik perhatian seseorang, yaitu David.
Matanya berulang kali mencari keberadaan pria itu, yang rupanya tengah berada di tengah kerumunan para tetangga yang datang. Dan tentu saja mustahil untuk bisa melihat keberadaan Kumala saat ini.
Saat Kumala berniat untuk mendekat, tanpa sengaja tatapannya menangkap sosok wanita yang beberapa waktu belakangan ini membuatnya iri dan kesal. Wanita itu adalah Luna.
Kumala menggigit bibir bawahnya, melihat penampilan Luna hari ini. Ia sama sekali tak menyangka jika sedikit polesan saja bisa merubah tampilan Luna menjadi sangat cantik. Aura lembutnya juga jelas terlihat saat dirinya menyapa beberapa orang tetangga dengan ramah.
“Bu Kumala,” sapa seseorang, membuat lamunan panjang tersebut buyar seketika.
Kumala menoleh dan mendapati Doni, kakak dari David, tengah berdiri di sampingnya. “Oh, Pak Doni.” ucap Kumala sangat canggung karena terkejut.
“Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Bu Sarti? Apakah sudah lebih baik?”
“Sudah, Pak. Sepertinya mulai besok Ibu sudah bisa bekerja kembali di ladang.”
“Syukurlah,” Doni mengangguk, merasa lega. “Maaf karena saya belum sempat untuk menjenguk.”
“Tidak apa-apa, Pak. Untungnya cedera kaki yang dialami Ibu tidak terlalu parah.”
Doni tersenyum saat mendengar Bu Sarti telah baik-baik saja. “Terima kasih telah datang hari ini, Bu Kumala. Silahkan nikmati hidangannya.” lalu Doni berlalu pergi setelah mengangguk dengan sopan pada Kumala.
Dan kini saatnya menu hidangan khas warung makan milik David mulai dihidangkan untuk para tetangga yang datang. Kumala ikut bergabung saat salah seorang tetangga melambaikan tangan padanya.
Mereka semua duduk menikmati hidangan secara berkelompok, sambil mengobrol dan tertawa bersama. Namun, bukannya menu hidangan lezat yang menjadi fokus Kumala saat ini, melainkan sosok pria yang tengah duduk sendirian di salah satu sudut ruangan.
Pria itu adalah David. Kumala yang memang sejak tadi mencari waktu yang tepat, mulai memberanikan diri mengambil satu gelas minuman dingin, lalu membawanya ke tempat dimana David sedang duduk.
“Permisi, Pak David…saya membawakan Anda minuman, pasti hari ini sangat melelahkan,” ucap Kumala lembut. Tangannya terulur untuk memberikan minuman dingin itu.
David mendongak, bahkan ia tampak terkejut dengan kedatangan Kumala. “Terima kasih Bu Kumala, saya memang sejak tadi belum menyentuh apapun.”
“Tindakan Anda memang tepat. Banyak orang yang suka dengan masakan rumah Bu Galuh,” kini Kumala menjadi lebih berani lagi dengan mengambil duduk di ujung bangku panjang yang sama dengan David.
Jika dipikir kembali, Kumala memiliki sifat yang sangat lembut. Tutur katanya juga mudah untuk dipahami. Sebenarnya bukan hal yang aneh, karena pekerjaan Kumala adalah seorang Guru.
“Saya dengar, Anda rela meninggalkan pekerjaan di kota hanya untuk bisa membuka warung di sini?”
“Ah, itu hanya—”
Kumala langsung memotongnya, “Wah Anda hebat sekali. Jarang lho ada pria seperti Anda, yang lebih mementingkan keluarga daripada karir yang sudah cemerlang.”
David tercengang. ‘Dia memujiku?’
“Terima kasih, Anda punya cara untuk bisa menenangkan orang lain,” ucap David tertawa kecil.
“Sudah menjadi kebiasaan. Mungkin, karena profesi saya sebagai seorang Guru sekolah dasar.”
Keduanya saling tertawa bersama. Untuk beberapa saat mereka saling diam, menikmati hening dan hembusan angin yang menenangkan. Suara riuh beberapa orang di sekitar mereka bahkan hanya terdengar samar.
Suasana ini terasa nyaman, sederhana. Tapi…sedikit berbahaya.
Kumala yang sadar jika dirinya tidak seharusnya melakukan hal ini di hadapan banyak orang, mulai bangkit dari duduk sedikit canggung.
“Maaf, Pak David. Tapi saya harus kesana untuk membantu yang lain. Takut dikiranya saya datang hanya untuk makan gratis,” ucap Kumala.
“Baiklah, sekali lagi terima kasih, Bu Kumala.”
“Sama-sama, Pak David,” Kumala mengucapkannya dengan nada yang sangat lembut, seolah memang sengaja membuat atmosfer diantara mereka terasa lebih berbeda. Namun itu hanya sebentar, karena Kumala mulai melangkah dan berbaur bersama dengan para tetangga yang lainnya.
Dari tempatnya duduk, David masih saja memperhatikan sosok Kumala dari kejauhan. Bagaimana wanita itu membantu orang lain, dan juga betapa ramahnya dia saat menyapa beberapa anak-anak yang menjadi muridnya.
David merasakan ada sesuatu yang aneh pada dirinya saat bersama dengan Kumala. Wanita itu tersenyum dan memujinya dengan begitu…hangat.
Dan saat itu juga, matanya kembali mencari keberadaan Luna. Istrinya tersebut masih bersama dengan putri mereka, Siena. Luna begitu telaten saat menyuapi putrinya, tapi tidak sedikitpun menoleh ataupun mencari keberadaan David.
Hanya sekedar bertanya apakah suaminya sudah makan atau belum saja, Luna tidak bisa.
David menghela nafasnya kasar. Dari sekian banyak orang yang ada hari ini, hanya Kumala yang ingat dan memberikan perhatian penuh padanya.
Dukungan, serta kelembutan dari seorang wanita seperti Kumala memang adalah sesuatu yang David butuhkan untuk sekarang ini. Tapi, apakah salah jika dirinya mendapatkan sebuah kenyamanan dari wanita lain?
Karena semua kenyamanan itu, belum pernah ia dapatkan dari Luna.
BERSAMBUNG