Wanita yang tidak percaya adanya hubungan dalam kata friendzone.
Apa itu friendzone? Apa gak aneh?
"Lo gak hadir sekali, gue bikin masalah."
-Nathan-
Alana tidak pernah menyangka.
diantara semua karakter diriku yang dia ketahui mungkin dia menyelipkan sedikit 'Rasa'.
aku tidak pernah tahu itu. aku cukup populer, tapi kepekaanku kurang.
dimataku, dia hanya sebatas teman kecil yang usil dan menyebalkan. aku tak pernah tahu justru dengan itulah dia mengungkapkan 'Rasa'.
pertemanan kami spesial.
bukan, lebih tepatnya, Friendzone dari sudut pandang 'Dia'.
#dont repost or plagiat this story ❗❗❗
jangan lupa komenn ^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Kuasa•
"Nat!! Spill barbershop recommended dong, gue mau cukuran. Siang kan ada razia rambut!"
Sekelas ribut, terutama anak-anak cowok yang sebagian rambutnya berantakan atau panjang dan tidak rapi.
Mereka seperti orang gila saking kalutnya, karena ketos tahun ini parah kalau sampai menjatuhkan vonis hukuman.
Bulan lalu ada salah satu siswa yang kepedean mewarnai rambut merah setelah ikut event cosplay para wibu, dan dengan teganya para OSIS membabat kinclong rambutnya plus push up dua ratus kali ditambah menghafal rangkuman keseluruhan rumus fisika yang ada di buku pelajaran.
"Kapan kesananya?" Nathan bertanya acuh tak acuh, dia fokus push rank game online di hp.
"Pas jam kedua mapel IPA, kuy temenin gue. Bolos dikit gak ngaruh lah." Ajak Bryan, setengah maksa.
Nathan pasrah digoyang-goyangkan lengannya kencang. Bryan ngotot banget.
"Sip dah, Sono lu jangan ganggu gue, kecuali Lo mau ngejokiin akun game gue ni."
"Heh, dilarang bolos! Lo berdua bodong banget lagian. Mau bolos pake ngomong disini." Alana mementung sekaligus kepala Nathan dan Bryan dengan gulungan kertas.
Ola menertawai, puas.
"Kalo Ampe Lo berdua jadi bolos, percaya kalian gak bakal selamat." Ancam Alana sebelum lanjut berjalan ke depan kelas.
"Ah, cewek ribet. Sekali-kali kasih waktu istirahat kek, kan futur gue nya." Bryan malah beralasan. Padahal jelas-jelas dia sedang menghadapi Alana, sang Dewi kedisplinan.
"Masa? Mau gue kasih liat kelakuan Lo di kelas yang bahkan istirahat sendiri di jam mapel, makan diem-diem, tidur, dan terakhir kali bisa-bisanya Lo ngorok sambil ngiler." Alana balas menyebutkan rentetan pelanggaran Bryan kencang-kencang.
Sial, liat aja lagi ni ketua kelas rempong.
"Ck, ah. Iya deh ampun."
Alana puas sendiri, dia menarik gulungan kertas tadi lalu berdiri di depan kelas.
"Ehem, shut up please!!!"
Yang tadinya di dalam kelas ini rusuh, seketika langsung diam dalam satu kali gebrakan papan tulis, Alana memukulnya dengan tinju ala boxing.
"Jadi disini gue mau bagiin kertas ulangan harian dadakan. Jangan kaget ya, kerjain dengan tenang tanpa kasak-kusuk, jangka waktu sampai jam istirahat."
Satu persatu semua anak di kelas maju menerima kertas masing-masing tanpa disuruh, kecuali tentu saja satu orang itu.
"Maaf tuan muda, sini coba maju ambil sendiri kertasnya?" Sindir Alana, mencibir.
Yang disindir kurang peka, masih saja dengan santainya lanjut push rank game.
Padahal Bryan sudah ribut memberi kode, tapi Nathan yang cuek itu tidak bergerak, entah dia sengaja atau memang tidak paham.
Mau sampai Bryan salto nungging pun Nathan gak bakal paham, dia kan sibuk sendiri.
Bryan pasrah begitu Alana mendekat ke arah bangku mereka.
Sial, mana gue gak belajar, cap-cip-cup lagi deh.
"Permisi ganteng? Hp nya disita dulu ya (gak dibalikin lagi)." Alana tersenyum horor, menarik paksa hp di tangan Nathan.
"Eh, apaansi maen ambil aja?" Nathan langsung histeris. Melotot.
"Ini ada tugas dari pak Yudi karena beliau ada rapat. Jadi ulangan hariannya dipercepat. Nah, ngerti kan? Sekarang kerjain ya pinter." Tukas Alana dengan senyum lebar mengerikan, seolah ingin menelan bulat-bulat Kepala Nathan.
Bryan bergidik.
Gila ni cewek sus banget.
"Oh? Oke. Tapi gue ada syarat." Yang hebatnya lagi, Nathan sang juara satu pembangkang kelas malah balas menantang.
Bahkan di situasi seperti ini pun Nathan tetap dipandangi seisi kelas, apalagi para cewek-cewek jadi tertawa senang, gemetar silau akan senyumannya.
Sedangkan isi pikiran Alana, astaga pengen gue buang ke kali. Boleh gak sih? Mumpung gak ada guru.
"Hah? Lo gila? Ya gue gak akan kasih izin lah!!"
Nathan mengajukan satu syarat yang sangat bodoh dan Alana paling anti dengan kata itu. Yaitu, 'bolos'.
Tidak mungkin kan ia membiarkan Nathan dan Bryan bolos di jam mapel IPA hanya untuk cukur rambut?
Mending gue aja yang cukur botak sekalian disini.
Tapi Nathan juga sudah menyiapkan senjata pamungkas, sesuai tebakannya yang tahu pasti Alana akan menolak keras.
"Al, kalo Lo ngasih izin kali ini aja, gue janji gak bakal pake softlens merah lagi di sekolah." Bisiknya, tersenyum yakin akan berhasil.
"Hah?! Lagian ngapain coba mau bolos malah izin? Gak tahu ah gue. Pokoknya kerjain aja tuh kertas." Gadis itu langsung pergi balik ke mejanya. Nathan bersorak dalam hati.
Bryan ikut-ikutan.
"Anjay, keren Lo."
...***...
Teng!
Sudah selesai. Alana gercep berkeliling mengambil kertas ulangan harian di meja-meja seluruh anak, selesai atau tidak tetap ia ambil, waktunya sudah habis.
"Nih Al punya aku. Mau baca novel boleh kan?"
Alana mengangguk setelah Ola menyerahkan kertasnya.
Giliran meja Nathan dan Bryan.
"Sini." Melotot galak, Bryan cengengesan.
Kalau Nathan jangan ditanya, dia sudah selesai dua puluh menit sebelum waktu habis, berarti dalam sepuluh menit dia bisa menyelesaikan dua puluh soal. Yang hebatnya, semua nomor benar.
Alana tercengang kaget.
Bocah tukang main game ini ternyata jago banget?!
"Dah kan? Ayo Yan, gas." Nathan menaikkan satu alisnya, puas.
Bryan mengikuti dia keluar dari kelas, masa bodoh dengan tatapan sirik yang lain.
Alana masih tidak percaya.
Gila? Dia pinter banget? Gue aja ada salah dua nomor kayaknya?!
Mendengus kencang. Kali ini Alana agak kesal, hebat banget ya dia, gue akuin emang good looking, udah gitu punya otak encer, hidupnya kelebihan uang, apa coba yang kurang?
Semua manusia pasti pernah merasa seperti ini, karena manusia adalah makhluk labil yang tidak pernah merasa puas.
Padahal Alana adalah sosok yang paling hebat di mata Nathan, perempuan cantik yang berbakat di segala hal, yang bisa diandalkan dimanapun, kapanpun. Dia yang selalu terpilih mewakili sekolah ikut olimpiade tingkat provinsi, dan mencapai cita-citanya sebagai atlet beladiri terbaik di kejuaraan setahun lalu.
Alana yang kuat menahan beban kehidupan sendirian tanpa bahu untuk bersandar.
Nathan menyukainya dari segala sisi. Alana adalah sosok hebat yang mampu membuatnya gila.
Seandainya Alana tahu fakta itu, apa dia akan menerima?
"Halo, anak-anak!!"
Kejutan! Pak kepsek datang ke kelas mereka dengan wajah khas dan kepala botaknya yang mengkilap.
Lamunan Alana terputus seketika.
"Pak bot- eh, pak kepsek!"
Para anak cowok tertawa cekikikan di belakang, di mata mereka image pak kepsek sudah hancur semenjak kepalanya digunduli.
Pak kepsek ber-sst kencang dengan suara seraknya yang dipaksakan.
"Diam dulu, ya. Hari ini bapak mau memperkenalkan anak baru yang akan belajar di kelas ini dengan kalian. Silahkan masuk nak!"
"Ngomong sama pintu anj*r, wkwkw!"
Alana melempar Hajan, cowok itu bisa-bisanya bilang begitu.
"Hai semua! Nama gue Nala Shiren Yi. Kelas sebelas umur 17 tahun! Gue pindahan. Salam kenal."
Mulut-mulut bungkam. Cowok-cowok bodoh yang berisik tadi langsung terpana.
Di depan mereka adalah sosok cewek bertubuh langsing dengan wajahnya yang menawan dan bola mata cemerlang. Rambut digerai panjang, berkulit putih dan bibir kecilnya berwarna merah muda.
Shiren melirik tajam Alana yang menatap tidak tertarik dari bangkunya.
Jadi dia ya? Cantik banget, saingan gue, haha.
"Nah, shiren, yang itu ketua kelas kita, namanya Alana." Kata pak kepsek lagi.
Shiren berjalan mendekati meja Alana sambil tersenyum ramah.
"Hai, kenalin ya. Mohon bantuannya."
Entah kenapa, Alana merasa tidak nyaman. Anak ini seolah menyembunyikan sesuatu.
"Ya, gue Alana. Kalo ada butuh bantuan bilang aja."
Mereka berjabat tangan, sejenak Alana bisa melihat tatapan tajam Shiren.
Setelah dapat bangku, pak kepsek undur diri. Kelas jadi rusuh, yang cewek berebut berkenalan dengan Shireen.
Kalau sudah begini, Alana merasa lebih baik menyerah saja, percuma menegur mereka.
"Al, gak ikut kenalan?" Tanya Ola, sengaja mendekati wajah Alana.
"Kamu cantik banget sih, menurutku shiren aja masih kalah. Pantes Nathan terobsesi." Sambil tertawa kecil, Ola berbisik sendiri.
"Hah? Lo bilang apa tadi?"
"Kamu gak peka ya." Untung saja Ola tidak sempat menjelaskan lebih lanjut, karena anak anggota OSIS sudah mulai berdatangan memeriksa kelas-kelas.
Alana berdiri, bergegas memberi instruksi untuk persiapan pemeriksaan.
"Semuanya berdiri buat barisan masing-masing untuk yang cowok dan cewek!" Seru Daniel, anggota OSIS, masih teman dekat Alana.
"Oy Alana, sini na, ikut gue meriksa. Btw Lo sendiri udah bener kan? Gak ada yang perlu dicek lagi?"
"Jokes Lo garing sumpah." Balas Alana kesal, sambil ikut berdiri di samping Daniel.
Tanpa disuruh dua kali, semuanya mulai membuat barisan dan mengangkat tangan mereka.
Daniel mulai memeriksa kerapihan, dasi, jas sekolah, rambut, kelengkapan seragam, dan apa saja yang termasuk keperluan sekolah.
Sementara sebagian OSIS Lain memeriksa isi tas semua anak, siapa tahu ada yang menyembunyikan barang terlarang.
Sampai-sampai mereka juga ikut memeriksa atap, karena bulan lalu ada beberapa anak nekat yang menyembunyikan V*PE disana.
Alana menggeleng pelan.
Mereka lolos, Untung saja sebelum pelajaran mereka semua sudah rapi-rapi, tapi sudah pasti begitu para OSIS pergi semuanya langsung rusuh, tidak tahan sampai setengah jam.
"Nah~ini dia, langganan kita. Halo pangeran? Enak ya abis bolos?" Nada ini, tanda bahwa Daniel berusaha menahan emosinya.
Alana menoleh ke pintu.
Dua makhluk tadi akhirnya datang sebelum pemeriksaan selesai.
Rambut Bryan sudah terpangkas rapi, dia nyengir kuda memandang Daniel.
"Sori kak."
Sebenernya bukan dia targetnya. Tapi si primadona sekolah ini, Erlangga Braven Jonathan.
Yang paling santai ikut baris, seolah tidak peduli.
"Nat, itu dasi dirapihin bisa? Jas Lo mana? Kenapa malah pake jaket? Rambut juga, kan gue udah seribu kali ngingetin Lo. Apa harus gue botakin sekarang?" Tukas Daniel tegas. Menatap tajam Nathan.
Dilihat dari manapun, jelas-jelas Nathan memancing emosi Daniel. Dia tidak pakai jas sekolah, dasinya agak di kendorkan, dan lagi, poin yang paling penting, rambutnya diwarnai.
Lengkap sudah.
"Tadi gue abis keluar, gak tahu ada pemeriksaan." Nathan ngeles.
"Nat, gue udah terlalu lama nahan-nahan buat gak ngehukum Lo. Tapi...kali ini gue-"
'ckrek'
Momen paling langka, Wajah putih Nathan mendadak berubah merah.
"Nah, udah kan? Jangan dilepas lagi."
Itu aksi Alana, tiba-tiba dia mentsapler dasi Nathan menempel ke seragamnya dan melepas paksa jaket lalu memakaikan jas.
Alana puas sendiri, "gini terus."
Reaksi Ola seperti orang yang salting gara-gara baca novel genre romance, gelagapan gak jelas.
Sedangkan Daniel sebatas heran.
Tapi, ya udahlah. Gue capek sama ni anak.
"Nah, sekarang kita beresin rambut Lo."
Tiba-tiba tangan Daniel ditahan seseorang.
"Kak, sebentar."
Kali ini semuanya melihat sosok itu.
Shiren tersenyum,
"Kak, jangan. Kakak tahu dia siapa?"
Saat itu Alana ingin menghentikan omongannya, sebelum cewek sus ini mengungkapkan semua rahasia Nathan.
"Dia anak dari Claudia Rissa. Tau kan? Penyumbang terbesar sekolah kita. Yang menyumbang dua milyar setiap bulannya."
Alana tidak bisa berkata-kata. Sialan!! Kenapa dia bilang semuanya?!
Meskipun Daniel menarik kembali tangannya, semua mata menatap Nathan, entah apa isi pikiran mereka. Tapi saat itu Nathan langsung pergi bahkan sebelum mengatakan apapun.
"Eh, Nathan! Kenapa?"
Sialan itu masih sok panik! Dasar ular.
Alana buru-buru mengikutinya pergi.
...***...
Sedalam apapun disembunyikan, kebenaran pasti terungkap. Sesusah apapun ditutupi pasti akan tetap terlihat.
Selama dua tahun ini, Nathan sudah berusaha menutupi latar belakang keluarganya. Ia tidak mau jadi berbeda dari yang lain.
Seandainya dari awal semua orang tahu tentang posisinya, mungkin mereka hanya menjadi teman di saat senang, dan meninggalkan dikala susah.
Alasan lain kenapa ia menyukai Alana, karena sepanjang hidupnya, hanya Alana yang mau menjadi temannya dengan tulus tanpa pernah meminta atau mengharap apapun. Belum tentu orang lain bisa seperti itu, karena kebanyakan manusia terlahir tamak harta.
Nathan mengusir ingatan buruk itu dari dalam kepalanya, semuanya hanya masa lalu.
"Nat?"
Ya, hanya Alana. Disaat begini, Alana pasti ada di sampingnya.
"Maaf karena gue gak bisa berhentiin dia. Harusnya gue bilang sesuatu..."
Buat apa? Lo bisa bertahan sampai detik ini, gue aja gak bantu apa-apa.
Nathan mendengus kencang.
"Kalo gitu nanti ajak gue ke tempat Lo latihan beladiri ya? Siapa tahu gue minat?" Tersenyum tipis.
Alana memukul punggungnya.
"Oke, tapi gue bukan bahas itu sekarang. Buat yang tadi, Lo bakal gimana?"
Nathan bersandar ke dinding di samping tangga gedung olahraga. Menghela nafas panjang.
"Emangnya uang itu segalanya ya?"
"Iyalah, kalau ada yang kita bisa beli ini itu, lakuin ini itu, pokoknya bla-bla-bla~" Alana malah menjawab lugas, menyebutkan semua keinginannya.
Nathan terkekeh.
"Kalau ada uang, berarti ada kuasa?" Dia bertanya pelan.
Gue gak tahu maksud dia apa nanya begini. Tapi gue setidaknya harus beri jawaban semampu gue.
"Nat, gue tahu dunia itu gak sepenuhnya adil di mata manusia. Tapi menurut tuhan, berbeda. Dia tahu apa yang kita tidak tahu. Mungkin dia ingin menguji siapa saja manusia yang kikir dan dermawan. Dengan uang kita punya kuasa, tapi terserah mau menggunakan kuasa itu untuk hal positif atau sebaliknya." Alana menyunggingkan senyum.
Al, kalo boleh gue pengen jadi orang yang selalu Lo butuhin, jujur.
"Makasih Al, sumpah Lo keren banget. Ko bisa ya ada cewek sekuat Lo?" Ucap Nathan spontan.
Alana tidak terlalu dengar, dia serius mengelus kucing yang guling-guling dibawah kaki kursi.
"Hmm?"
"Sesuai janji gue, softlens nya gue buka."
Alana menoleh.
Apa matanya emang seindah ini?
Biru, mengkilap. Seperti melihat air bening seolah kaca. Kedua bola mata indah berwarna biru muda, dipadukan dengan rambutnya yang putih bercampur cream muda, Alana sempurna terpana.
Ia lupa. Saat kecil Alana sudah sering melihat mata telanjangnya, tapi setelah sempat berpisah dan bertemu kembali, Nathan selalu memakai softlens merah itu.
Kali ini, Alana membeku.
...***...