Jelita Maheswari, gadis yang kecantikannya selalu tertutupi dengan penampilannya yang sangat sederhana, bahkan terkesan kolot. Dia menerima pinangan dari seorang wanita setengah baya, yang menginginkannya untuk menikah dengan putranya, karena merasa tidak enak untuk menolak permintaan wanita itu. Pernikahan yang semula dianggap akan memberikan kebahagiaan buatnya, benar-benar jauh dari harapan. Gavin Melviano, pria yang dijodohkan dengan Jelita, terlihat sangat tidak menyukainya, karena penampilan Jelita yang benar-benar tidak fashionable. Namun, pria itu terpaksa menerima Jelita sebagai istri, demi supaya harta kekayaan orang tuanya tidak jatuh ke tangan Jelita. Gavin bahkan menuduh Jelita, mau menerima lamaran mamanya, hanya demi harta.
Akankah Jelita bisa bertahan dengan sikap Gavin yang selalu menghinanya? dan apakah Gavin selamanya akan menatap hina Jelita?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosma Sri Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Muffin yang menggugah selera
"Wah, kamu tadi sempat membuatku hampir memakimu, Sob!" ucap Reynaldi setelah dia berhasil mengusir Maya keluar.
"Kenapa?" tanya Gavin cuek.
"Aku kira kamu benar-benar akan kembali pada wanita ular itu. Kalau iya, kamu adalah orang terbodoh yang pernah aku kenal," Reynaldi mendaratkan tubuhnya duduk di kursi depan meja Gavin.
Gavin tersenyum tipis dan mengalihkan tatapannya dari dokumen di depannya pada Reynaldi.
"Tentu saja aku tidak bodoh. Aku tidak mau jatuh pada lubang yang sama. Justru sangat bahagia sekarang, bisa melihat wajah kagetnya saat mengetahui siapa sebenarnya aku. Apalagi saat dia memelas meminta maaf," Gavin tertawa sinis.
"Tapi, menurutku kamu tetap bodoh sih. Emang gak terlalu bodoh tapi cukup bodoh," Ucap Gavin, ambigu.
"Maksud kamu apa?" Gavin mendelik ke arah Reynaldi.
"Ya, maksudku, kamu cerdas dalam menjatuhkan, Maya. Tapi kamu bodoh dalam menilai istrimu sendiri. Padahal,aku yakin kalau istrimu itu sangat jauh berbeda dengan apa yang kamu pikirkan,"
"Brengsek! maksudmu, pemikiranku salah gitu? jadi, apa kamu bisa menjamin kalau apa yang kamu pikirkan itu benar?" ucap Gavin kesal.
"Ya, nggak juga sih. Cuma apa kamu tidak merasa kalau kamu terlalu dini, menilai istrimu seperti itu, tanpa mendalami terlebih dulu? saranku, Jangan terlalu asik bermain dengan pikiranmu, coba kamu pakai hati kamu untuk melihat sisi baiknya,"
Gavin tercenung mendengar ucapan Reynaldi, sahabatnya. Dia tidak mengiyakan tapi juga tidak membantah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jam sudah menunjukkan hampir pukul 3 sore, Gavin terlihat sudah merapikan mejanya dan bersiap-siap untuk pulang. Hal ini tentu saja menimbulkan kerutan di kening Reynaldi.
"Mau kemana, Sob?" tanya Reynaldi.
"Mau pulang, aku pusing." sahut Gavin, dengan wajah datar.
"Pulang? ini bahkan belum jam 3, Sob. Kenapa kamu harus pulang sekarang?"
"Bukannya tadi aku sudah bilang, kalau aku pusing. Kamu mau ikut pulang?"
Reynaldi menggelengkan kepalanya. "Kamu pulang saja dulu! aku masih harus mempelajari dokumen-dokumen ini. Jangan lupa untuk istirahat!"
Gavin menganggukkan kepalanya dan beranjak keluar. Sementara itu, Reynaldi menggeleng-gelengkan kepala sembari menatap kepergian Gavin sampai tubuh pria itu hilang di balik pintu. Kemudian pria itu kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda tadi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aroma yang sangat enak, dari arah dapur menyeruak dan langsung tertangkap indera penciuman Gavin, begitu pria itu masuk ke dalam apartemennya.
Dengan langkah yang mengendap dan sangat hati-hati seperti pencuri, Gavin mendekati dapur dan mengintip ke dalam sana. Di dalam sana, tampak Jelita sedang serius memasukkan muffin-muffin ke dalam kotak.
Ting ....
Jelita menghentikan kegiatannya dan melangkah menuju oven dan mengeluarkan muffin-muffin yang menurut Gavin sangat menggugah selera, hingga membuat pria itu meneguk ludahnya yang hendak keluar.
Jelita terlihat memasukkan kembali beberapa adonan muffin yang belum matang ke dalam oven, kemudian wanita itu kembali meneruskan aktivitasnya yang sempat tertunda tadi.
"Ehem, ehem! Gavin melangkah masuk, sembari berdehem hingga membuat Jelita terjengkit kaget hingga satu buah muffin yang ada di tangannya terjatuh ke lantai.
"Astaga! kenapa Tuan datang tidak bilang-bilang? jadi jatuh kan?" protes Jelita dengan raut wajah kesal.
"Terserah aku lah! ini kan rumahku. Kamu aja yang terlalu serius sampai tidak lihat sekeliling. Kalau aku tadi pencuri bagaimana?" ucap Gavin sembari melangkah ke arah dispenser untuk berpura-pura mengambil minum, padahal hati dan pikirannya terpusat pada muffin- muffin itu.
"Kalau yang datang pencuri, aku akan kasih tepuk tangan karena berarti mereka pencuri yang cerdas, bisa membobol pin apartemenmu," Jelita membungkuk untuk mengambil muffin yang jatuh dan membuangnya ke tong sampah.
"Lagian kenapa Tuan jam segini sudah pulang?" sambungnya kembali, sembari mencuci tangannya dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda karena insiden yang baru terjadi.
"Kenapa sih kamu cerewet sekali? terserah aku kan mau pulang jam berapa. Kan aku bosnya," ucap Gavin sembari mendaratkan tubuhnya duduk di kursi, hingga membuat Jelita mengrenyitkan kening,heran dengan Gavin lebih memilih untuk duduk di dalam satu ruangan dengannya. Padahal dia sempat mengira, kalau pria itu pasti akan langsung pergi.
"Kenapa, Tuan duduk di sini? bukannya __"
"Sekali lagi kamu bicara, aku sumpal mulut kamu,"
Jelita mengangkat bahunya dan memilih untuk diam. Wanita itu terlihat kembali fokus memasukkan muffin-muffin yang belum selesai dia masukkan ke dalam kotak.
Sementara itu, Gavin berusaha untuk menahan hasratnya untuk memasukkan muffin-muffin itu ke dalam mulutnya. Dia berusaha mengalihkan niatnya, dengan memainkan ponselnya. Namun bayang-bayang muffin tetap memenuhi kepalanya.
"Akhirnya selesai!" Jelita menghela napas lega.
"Jadi yang itu untuk siapa?" tanpa sadar Gavin bertanya, sambil menunjuk ke arah muffin-muffin yang masih berada di dalam oven. Pria itu seketika berharap, kalau Jelita berbaik hati membuatkan juga untuknya.
"Oh, yang itu untuk mama. Tadi mama juga meminta untuk dibuatkan, supaya mama bisa promosikan juga sama teman-temannya,"
Gavin menghela napas kecewa mendengar jawaban Jelita yang benar-benar di luar ekspektasinya. Dia mau protes, kenapa tidak dibuatkan untuknya sekalian, tapi begitu mengingat ucapannya yang mengatakan tidak akan memakan apapun yang dimasak oleh Jelita, membuat pria itu mengurungkan niatnya untuk protes.
Ting ....
Oven kembali berbunyi, pertanda kalau oven sudah selesai melaksanakan tugasnya. Jelita mengayunkan kakinya melangkah ke arah oven dan langsung mengeluarkan muffin-muffin itu dari pemanggangan itu.
Jelita menepikan sejenak muffin-muffin itu untuk mendinginkan sebelum dimasukkan ke dalam kotak. Sementara menunggu, Jelita meraih ponselnya dan memesan ojek online untuk mengirimkan kue-kue buatannya ke alamat si pemesan.
Keheningan terjeda cukup lama di antara Jelita dan Gavin, dan tidak ada yang berniat untuk membuka suara. Jelita beranjak dari tempat duduknya menyentuh muffin yang ternyata sudah dingin. Wanita itu pun mulai memindahkan muffin yang memang dibuat untuk mertuanya. Sekarang kotak itu sudah penuh dengan muffin dan pas tidak ada yang tersisa.
Bersamaan dengan itu, bel pintu berbunyi dan Jelita langsung melangkah menuju pintu, dengan membawa beberapa kotak berisi muffin, karena ojek pesanannya baru saja menelepon dan mengabari kalau dia sudah ada di depan pintu.
Melihat tubuh Jelita yang sudah menghilang dari dapur, Gavin dengan sigap bangun dari duduknya dan langsung meraih muffin milik mamanya. Pria itu memakan dengan lahap dan cepat sebelum Jelita kembali untuk mengambil sisa kotak-kotak muffin itu.
"Kamu ngapain?" Gavin sontak berbalik dengan cepat karena Jelita muncul tiba-tiba sementara mulutnya penuh dengan muffin yang belum dia kunyah.
"Kamu ngapain?" Jelita mengulangi pertanyaannya sembari menghampiri Gavin yang kembali memutar tubuhnya ke arah lain.
Jelita menggaruk-garuk kepalanya, bingung dengan sikap Gavin. Wanita itu mengembuskan napasnya seraya mengangkat bahunya. Dia sebenarnya masih sangat penasaran, tapi mengingat kalau Abang ojek online masih menunggunya, Jelita memilih untuk tidak peduli dan kembali mengangkat kotak-kotak muffin yang tersisa ke depan.
Gavin seketika bernapas lega, tapi hanya untuk sementara karena Jelita kembali lagi muncul. Jelita meraih kotak yang khusus buat mertuanya, dan berniat untuk menutupnya dengan rapat.
"Kenapa muffinnya hilang tiga? tadi kan ini penuh." ucap Jelita dengan kening yang berkerut. Kemudian wanita itu menatap Gavin yang berpura-pura melihat ponselnya, dengan curiga.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Gavin dengan tatapan tajam, berharap Jelita takut dengan tatapannya.
"Kamu ya, yang memakan muffinnya?" tukas Jelita yang terlihat tidak takut dengan tatapan Gavin.
"Kamu jangan asal menuduh! kamu mungkin lupa karena kecapean. Kamu kira itu penuh, ternyata nggak," Gavin berusaha menyangkal.
"Aku gak menuduh, dan tidak lupa. Jelas-jelas kamu yang memakannya. Tuh bekasnya masih nempel di sudut bibir dan pipimu," Jelita menunjuk ke arah wajah Gavin yang sontak membuat pria itu kelabakan melap bibir dan pipinya.
"Emang salah aku memakannya? itu kan buat mamaku. Lagian salah sendiri gak buat untukku," ujar Gavin yang tidak bisa mengelak lagi.
" Bukannya kamu bilang, kalau kamu tidak mau memakan masakanku? makanya aku tidak buat dari pada mubazir nanti kalau nggak dimakan," Jelita tidak mau disalahkan.
"Yang aku maksud, nasi dan lauk pauk. Kalau kue beda," ujar Gavin tidak mau disalahkan.
"Sama aja!"
"Beda!"
"Sama!"
"Udah, sekarang kamu bersiap-siap, aku akan antarkan kamu ke rumah mama," pungkas Gavin sembari berlalu pergi.
"Dasar aneh!" umpat Jelita sembari menutup kotak muffin itu kembali.
Tbc