NovelToon NovelToon
Hidup Dalam Andai

Hidup Dalam Andai

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika
Popularitas:48
Nilai: 5
Nama Author: Romi Bangun

Mengkisahkan Miko yang terjebak lingkaran setan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romi Bangun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SUARA

Teman lama. Mungkin dia mau menolongku. Aku sungguh mengharapkan pertolongan itu, bahkan dalam bentuk apapun.

"Kabar lu gimana, gun?" tulisku pada pesan pertama kali.

Aku menunggu sekitar sepuluh menit, sampai dia membaca chat ku. Tapi dia hanya membaca... belum membalas.

Drrttt drrttt

Guntur. Dia memilih langsung menelpon. Aku sendiri saja tak menyangka sampai begitu.

"Halooo," sapa Guntur.

"..kenapa? Masih inget gue lu, hahaha!" ucapnya sambil tertawa.

Banyak yang dia tanyakan. Begitu juga diriku. Terkait kabar, hubungan dengan kekasih, keluarga, dan sebagainya.

Obrolan hangat. Ternyata ini yang ku butuhkan.

"Lha terus lu gimana? Bukannya udah abis kontrak? Sekarang kerja dimana?" tanya Guntur.

Pertanyaan yang sama. Serta perasaan yang kembali menghantam dada.

"Iya, udah dua bulanan kali gue nganggur. Entahlah... gue juga gak ngitung hari." jawabku lugas.

"Banyak berarti duit lu dong, syukur ya..."

Deg

Syukur. Sungguh, aku terkejut kata itu keluar dari mulutnya. Spontan air mataku kembali merembes keluar.

Tapi aku tak terisak, mungkin kelilipan.

"Ya, begitu Gun.. syukur hehehe.."

"Gun..." ucapku lirih, tegas.

"Gue mau ngomong boleh gak.."

Aku takut Guntur mengira bahwa ingin ku pinjami uang. Walau niat awalnya begitu, sekarang niatku berubah.

"Ngomong aja bro, kayak lagi sama siapa aja lu.." jawabnya tegas, meyakinkan.

Dari titik ini sebenarnya aku bingung. Apa yang harus ku ungkapkan? Dari mana aku harus memulai?

Sebelumnya, aku belum pernah curhat sama sekali... bahkan kepada siapapun.

"Gue kenal judol Gun...."

Guntur menyimak, mendengarkan dengan baik. Tanpa sadar semuanya keluar dari mulutku.

Semuanya. Tanpa sisa. Tentang awal mula kegilaanku. Tentang kekalahanku. Tentang betapa jahatnya judol mengubah seseorang.

Aku begitu lama mengungkapkan. Guntur masih setia mendengarkan.

Bahkan kekasihku saja tak pernah mendengar curhatku seperti ini. Karena aku takut jika jujur, dia akan pergi.

"...dan sampe sekarang, sisanya cuma sakit kepala doang, hahaha.." tawaku renyah.

Entah kapan aku terakhir kali tertawa renyah seperti ini. Dan sesuai harapanku juga..

"Oke Mik, giliran gue yang ngomong..."

"Dasar BEGO! Dasar TOLOL!"

Aku sudah menduga akan seperti ini. Tapi tetap saja nada suaranya membuat dadaku bergetar.

"Buset..." sahutku.

"Ya mau gimana sekarang? Total hutang lu berapa?" tanya Guntur.

"Ada kali tujuh setengah jutaan.." jawabku.

Guntur menghela nafas, "Orang gila.."

"Gue gak minta bantuan Gun, cuma pengen di denger aja.." ucapku.

Sebetulnya aku yakin Guntur juga paham. Lagipula dia pasti juga punya masalah keuangan sendiri.

"Kalau bisa bantu pun, Mik. Gak akan gue bantu lu..."

"...kecuali lu bener-bener berani komitmen."

Guntur benar. Aku sendiri saja belum berani komitmen. Sudah berapa ribu janji yang ku ingkari selama ini.

Dan benar juga, apa kewajibannya membantu pelaku judol sepertiku?

Aku mulai tenang. Lagaknya logika yang tertidur mulai bangun dalam diriku.

"Kuncinya lu harus ikhlas, udah itu doang.." Guntur menimpali lagi.

"Ya susah Gun, gue udah abis banyak.." aku menyangkal.

"Justru kalo diterusin malah makin banyak. Bisa-bisa kebablasan malah gantung diri lu.." Guntur menegaskan.

Tak ada yang salah dari ungkapannya. Seluruhnya benar.

Aku yang salah. Aku juga yang mencari pembenaran atas kesalahanku. Dan itu sering, bukan sekali dua kali.

Aku masih bersandar di tembok kos menyambut malam. Masih bersama Guntur yang menemaniku ngobrol.

Sayangnya Guntur tak bisa terlalu lama. Dia kemudian pamit untuk segera tidur. Tapi sebelum itu,

"Kalo lu ada masalah, cerita aja. Apapun itu..."

"Ya seenggaknya lu gak jadi gantung diri, hahaha."

Agak nyelekit, tapi oke. Untuk sesaat perasaanku yang tak jelas rasanya menjadi tenang.

Tenang yang berasa tenang, bukan yang campur aduk.

Malam semakin larut. Ku putar musik lirih dari ponsel, kemudian berbaring untuk tidur.

Aku mematikan layar ponsel, tapi dadaku masih terasa penuh. Bukan sesak, lebih seperti ruang kosong yang tiba-tiba diisi sesuatu yang asing.

Bukan harapan.

Lebih tepatnya... didengar.

Aku memejamkan mata. Kalimat Guntur terus berputar di kepala.

"Kecuali lu bener-bener berani komitmen."

Komitmen pada apa? Pada berhenti? Pada kalah? Atau pada menerima bahwa sebagian uang itu memang sudah mati?

Aku bangun sebentar, duduk di tepi kasur. Menatap layar ponsel yang kembali menyala karena notifikasi kecil.

Bukan dari situs.

Bukan dari pinjol.

Pesan WhatsApp, Guntur.

"Gue tau ini berat. Tapi lu gak sendirian. Jangan bikin keputusan goblok malem-malem."

Aku membaca pesan itu lama. Tidak membalas. Tanganku gemetar kecil.

Ada juga pesan balasan dari salah satu temanku yang membalas, "Ada nih Mik, seratus kan?"

Aku lupa kalau tadi sore sempat menghubungi beberapa teman, untuk pinjam seratus.

Refleks, jariku hampir membuka browser. Sudah hafal letaknya. Tinggal satu sentuhan. Tapi kali ini aku berhenti.

Bukan karena kuat. Lebih karena lelah.

Aku membuka daftar halaman situs. Melihat ikon-ikon yang sudah jadi kebiasaan. Yang selama ini selalu memberi harapan palsu.

Satu detik.. Dua detik.

Aku menekan tanda silang pada halaman. Browser kini bersih. Tak ada lagi slogan gacor, simbol cina, atau angka kembar.

Walau aku masih ingat username dan sandi login, setidaknya aku memulai.

Bukan langsung. Pelan-pelan dulu.

Ikonnya menghilang. Tidak ada rasa menang. Tidak ada lega besar. Hanya hening yang aneh.

"Besok aja mikirnya…" gumamku.

Aku kembali berbaring. Musik masih berputar pelan. Kali ini aku benar-benar mendengarnya, bukan sekadar jadi latar.

Terbayang wajah keluargaku.

Wajah kekasihku yang cantik... aku ragu dia masih mau menerimaku. Jika dia tau aku jatuh begitu dalam.

Mata terpejam sebentar. Namun yang terpikir ribuan. Kini jelas sudah apa yang menjadi tujuanku.

Di langit-langit kamar kos yang kusam, aku sadar satu hal.

Ternyata yang selama ini kucari bukan uang.

Bukan juga kemenangan. Aku mulai paham.

Tapi seseorang yang berani bilang aku salah, namun tetap tinggal.

Karena selama ini lingkungan ku liar. Segalanya dianggap benar. Dan aku terbawa arus tanpa sadar.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah lama, aku tertidur tanpa membuka situs apa pun.

Bukan janji, juga bukan perubahan besar.

Cuma satu malam… tanpa lari.

-

Malam itu tak memberiku jawaban, hanya keheningan yang lebih jujur dari biasanya.

Aku berbaring, mendengar nafasku sendiri. Pendek, ragu, tapi masih ada.

Di luar, dunia tetap berjalan tanpa peduli pada sisa-sisa kekalahanku. Dan untuk pertama kalinya, aku membiarkannya begitu.

Aku tidak bangkit sebagai orang baru. Aku hanya berhenti berlari.

Di antara hutang, malu, dan nama-nama yang tak lagi ku hubungi, aku mengerti satu hal kecil.

Kadang, bertahan hidup bukan soal menang. Tapi soal berani tinggal… meski tanpa apa-apa.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!