Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Hagia menundukkan kepalanya setelah melihat seluruh orang yang ada dalam ruangan itu, ia duduk disamping Malik sambil meremas tangannya yang saling bertautan.
"Hagia, malam ini nak Biru datang bersama orang tua dan rombongan lainya, untuk menepati janjinya. Bapak Kyai Ismail tadi sudah mengutarakan niat baiknya, yaitu mengkhitbah mu untuk putranya, Biru." jelas pak Malik. "Bapak selaku walimu, menyerah semua keputusan padamu. Apapun keputusan mu, insyaallah bapak mendukung." sambungnya.
"Atau, Hagia mau dengar langsung dari, Biru?" kata kyai Ismail tersenyum tipis.
Biru langsung melihat kearah abinya. "Abi," desisnya pelan. Kemudian ia memaksakan senyum tipisnya dan menarik napas dalam-dalam.
Biru memejamkan matanya sejenak, lalu melihat kearah wanita yang menjadi pemilik hatinya. "Bismillahirrahmanirrahim, Hagia Sophia Ameera Ansori jadilah istriku, dan hidup bahagia bersama selamanya." kata Biru membuat semua mata yang tadinya tertuju pada Hagia beralih padanya.
Mail dan Malik hanya bisa melipat bibirnya kedalam, sedangkan yang lainya ternganga mendengar kalimat panjang Biru. Tidak terkecuali Salma, ia benar-benar tidak percaya jika putranya akan mengatakan kalimat seperti itu. Bukankah seharusnya 'menikahlah denganku, atau terimalah lamaranku'.
Sedangkan Bilal tidak bisa menyembunyikan tawanya, pria berusia 25 tahun itu tertawa tanpa suara karena posisinya duduk di belakang Biru.
Hagia sendiri tidak bisa menyembunyikan rona wajahnya mendengar kalimat romantis Biru, sepertinya ia harus menyiapkan diri untuk mendengar kalimat-kalimat romantis Biru setelah menikah nanti.
Sekarang, semua mata kembali tertuju pada Hagia, menunggu jawaban darinya. Terutama Biru yang menatap penuh harapan, tanpa sadar ia menarik dan meremas sarung yang dipakai Abinya.
"Biru, sarung Abi." kata Ismail dengan suara rendahnya, sedikit menggeram. Namun Biru tak mendengar dan malah semakin menariknya. "Biruuu," kali ini disertai cubitan kecil di pinggangnya, dengan senyum dan pandangan lurus kedepan. "Jangan tarik sarung, Abi." katanya.
Interaksi kecil itu tak luput dari pandangan Bilal yang terkikik geli di belakang. "Maaf, Bi." ucap Biru lirih.
Hagia membalas tatapan Biru sesaat, lalu ia menjawab, "Bismillahirrahmanirrahim, ya aku mau menjadi istrimu." katanya mantap.
Sejak kedatangan Biru menyampaikan niat baiknya, Hagia langsung melakukan sholat istikharah. Memohon petunjuk dari Allah SWT, sebelum ia mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Dan sejak ia melakukan sholat istikharah, ada saja kejadian seolah tanda dari Allah jika Biru memang jodohnya.
"Alhamdulillah......" ucap semua orang yang ada dalam ruangan itu, termasuk Biru dengan senyum lebarnya.
Salma selaku ibu dari Biru langsung memasangkan cincin di jari manis Hagia, sebagai tanda jika mereka akan melangsungkan ke tahap yang lebih serius. Lalu mereka mulai membahas tanggal pernikahan yang akan dilakukan dua bulan lagi.
Sebab satu bulan kedepan, Ismail disibukkan dengan undangan pengajian Akbar dan beberapa kegiatan keagamaan lainya. Sedangkan Biru sendiri harus kembali ke pondok pesantren Darul Hikmah, dan sekalian berpamitan jika dirinya tidak bisa mengajar disana lagi. Sebab ia akan memulai hidup baru dan fokus membantu di pondok pesantren Al-Hidayah.
.....
Pagi-pagi sekali Biru sudah datang kerumah Malik, ia terlihat rapih dengan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam, peci hitam yang ada di kepalanya membuat Biru terlihat semakin berkarisma, apalagi senyum menawan mereka di bibirnya.
"Assalamualaikum, pak." ucap Biru.
Malik yang sedang memandikan burungnya menoleh. "Walaikumsalam, udah rapi aja kamu." kata Malik tersenyum.
Biru mengulurkan tangannya salam, lalu melihat ke dalam rumah. Terlihat beberapa saudara Hagia yang sedang membersihkan ruang tamu.
"Udah mau berangkat?" tanya Malik mengajak Biru duduk di kursi rotan.
Biru tersenyum dan mengangguk. "Iya pak, maka nya Biru datang kesini. Mau pamit." katanya pelan.
"Om Biluuuu!" teriak Hasya dari dalam. "Om Bilu mau kemana?" gadis kecil itu langsung naik kepangkuan Biru.
"Om Bilu mau pergi kerja, Hasya udah mandi?" tanyanya, gadis kecil itu mengangguk.
"Om Bilu kalau kelja jangan lama-lama ya, jangan kayak ayah kelja nya lama, ndak pulang-pulang. Nanti Hasya kangen." katanya dengan bibir mengerucut.
Malik tersenyum getir mendengar penuturan cucunya, seberapa keras usahanya untuk menjadi sosok ayah. Namun ia tidak bisa menggantikan posisi ayah yang sebenarnya dalam hati gadis kecil nan polos itu. Ia berharap, dengan hadirnya Biru bisa mengisi kekosongan sosok figur ayah dalam hatinya.
"Iya, Om Bilu gak lama kok. Hasya nurut sama Mbah Kung dan bunda yaa." kata Biru sembari menjawil ujung hidung bangir Hasya. "Bunda kemana?" tanyanya, Hasya menggelengkan kepalanya, sebab setelah ia selesai mandi dengan mbak Sri, ia belum melihat bundanya.
"Hagia pergi ke pasar sama Ningrum. Harusnya sebentar lagi pulang." sahut Malik, Biru hanya tersenyum dan mengangguk. Sepertinya ia tidak bisa berpamitan langsung dengan Hagia, karena travel yang akan membawanya ke pondok pesantren Darul Hikmah sudah sampai.
"Kalau begitu Biru pamit dulu, pak. Salam buat Hagia." katanya mengulurkan tangan pada Malik.
Malik memberikan tanyanya pada Biru, takzim. "Iya, hati-hati." katanya sambil berdiri menggendong Hasya.
"Assalamualaikum." pamit Biru salam.
"Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." sahut Malik melihat Biru berjalan semakin jauh.
"Dadah om Biluuuu!" teriak Hasya sambil melambaikan tangannya, Biru menoleh dengan senyum merekah, ia juga membalas dengan melambaikan tangannya.
.....
Biru terlihat menoleh ke arah kanan dan kiri sebelum masuk dalam travel, dengan berat hati ia pergi tanpa bertemu dan berpamitan dengan Hagia. Ia akan berada di pesantren Darul Hikmah selama enam minggu, dulu jangan enam minggu, enam bulan saja tidak terlalu lama. Tapi untuk seseorang yang sedang jatuh cinta, tentu saja waktu enam minggu bagaikan enam abad lamanya.
Mobil travel yang di tumpangi Biru sudah keluar dari gang dan mulai melintasi aspal hitam. Biru yang sejak tadi menoleh kearah kanan dan kiri tidak sengaja melihat mobil Hagia berhenti di lapak buah manggis yang ada di trotoar.
"Mas Iwan, berhenti sebentar." pintanya pada supir travel.
"Kenapa, Gus?" tanya supir yang bernama Iwan itu.
Biru tersenyum tipis. "Tunggu ya, Mas. Mau pamitan." katanya membuka pintu mobil dan langsung berlari menghampiri Hagia yang sedang memilih buah manggis.
"Hagia," katanya pelan, Hagia langsung menoleh dan melihat sekitar.
"Assalamualaikum, Gus." ucapnya. Ya, sejak resmi dilamar, Hagia mengubah panggilannya untuk Biru menjadi Gus.
"Walaikumsalam." Biru sedikit salah tingkah.
"Gus, sendirian?"
"Emm... Iya, ehh anggak. Aku sama travel itu," katanya menunjuk mobil travel yang tak jauh dari mereka.
Tin... Tin....
Hagia mengangguk dan tersenyum sambil melambaikan tangannya kearah travel. Ia yakin supir dan penumpang lainya melihat kearah mereka.
"Sudah mau berangkat ke Darul Hikmah?" tanyanya.
Biru mengangguk dengan senyum tipis. "Iya, tadi aku datang ke rumah mau pamit. Tapi kata bapak kamu pergi ke pasar." katanya sambil memandang wanita dengan gamis warna salem itu, padahal Hagia tidak memoles wajahnya, tapi entah kenapa di mata Biru, Hagia terlihat cantik.
"Iya, Tante Ningrum mau masak pindang patin. Jadi, aku anterin ke pasar." kata Hagia menjelaskan. "Gus, hati-hati di jalan. Semoga semuanya lancar." ucapnya.
"Ya, insyaallah aku akan segera kembali." katanya. "Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum." ucap Biru disertai senyum lembar.
"Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." sahut Hagia, ia tertawa kecil melihat Biru yang berjalan sambil melompat-lompat, persis seperti anak kecil yang baru saja dapat hadiah.
*
*
*
*
*
TBC