NovelToon NovelToon
Pewaris Dewa Perang

Pewaris Dewa Perang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:8.8k
Nilai: 5
Nama Author: Junot Slengean Scd

Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.

Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.

Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:

Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.

Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.

Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.

Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB.16 Kematian Hong Ju

Angin setelah badai masih menggulung ketika debu dari benturan terakhir perlahan turun. Langit di atas Klan Tengkorak Merah tetap pekat,

Hong Ju tersandar pada tumpukan batu, napasnya pendek, matanya melotot liaarr,,

“Apa… apa ini…?!” ia terengah, suaranya pecah.

Di sekitar area benturan energi kedua pusaka masih melayang potongan aura hitam—sisa-sisa seribu pedang kegelapan,,

Xio Lun berdiri tegak, pedang hitamnya meneteskan kegelapan, namun wajahnya datar. Dalam dadanya, bisikan dewa perang masih berkumandang lembut menberi peringatan untuk berhati-hati.

“Bocah… sosok yang lebih kuat dari Hong Ju akan datan,” gumam suara purba itu, “tetaplah waspada.”

Xio Lun mengangguk samar, lalu menengok ke arah Hong Ju. Matanya menyiratkan kewaspadaan, ia menatap pada sosok yang masih bernapas meski terkena jurus kedua pedang kegelapan,

Meski masih bernapas tapi Hong Ju telah remuk organ dalamnya, tenaganya seakan hilang tersedok aura pekat dari tebasan pedang kegelapan milik Xio lun,

Hong Ju berusaha bangkit namun tubuhnya menolak, ia mengumpul kan sisa sisa tenaganya namun seakan terbentur dinding tebal,, meridian nya hancur,,

Hong Ju mengumpat dalam hati, sialan tetu itu kenapa masih diam di sana menyaksikan semua ini,

Tiba-tiba, dari balik pintu gerbang aula pertemuan, muncul satu langkah yang dingin — langkah yang tidak sejajar dengan getar panik di antara yang lain. Langkah itu ringan namun bermassa, membuat udara seolah lebih berat saat melewatinya.

Tiandu.

Ia turun dari singgasana seperti orang yang turun dari mimpi panjang. Tubuhnya tampak kecil bila dibandingkan dengan aura yang mengerubuti dirinya; aura itu bukanlah gelap murka seperti milik Hong Ju, melainkan sebuah keheningan yang menusuk — ketenangan yang ada pada dahan pohon yang siap menjatuhkan badai.

Matanya menatap pada Hong Ju dengan ketidakpedulian yang dingin, lalu pada Xio Lun dengan penasaran yang menyingkap sekilas nafsu memburu dan membunuh

Hong Ju, yang baru saja merasakan kegelapan hampir menelan jiwanya, menoleh. Melihat Tiandu, dadanya seketika terisi harap— harap seorang yang percaya bahwa Tiandu, akan menolong nyawa yang hampir padam.

“Ti… Tiandu?” suaranya nyaris tak terdengar, namun setiap suku kata membawa nada penyerahan. “Bant… bantu aku. Aku—” Ia menelan ludah, matanya memancarkan kepolosan yang memohon. “Selamatkan aku… tolong…!”

Tiandu tidak menjawab seketika. Ia melangkah mendekat pelan, seolah hendak menilai luka-luka pada patriak itu. Ketika jarak tinggal beberapa langkah, ia menatap pada sabit yang retak, menyeka retakan dengan ujung jari , ia tidak bereaksi.

“Hong Ju,” suara Tiandu lembut, hampir berbisik, namun setiap orang di lapangan mendengarnya jelas, “kau terlal lemah. Kau pikir aku datang untuk menolong mu?”

Mata Hong Ju membelalak, harapan itu memudar seketika. Suara di dadanya berganti menjadi amarah yang menggelegak, lalu ketakutan yang menelan kata. “Kau… kau? Kenapa—kenapa kau datang? Kau datang menyelamatkan aku, bukan—”

Tiandu mengangkat satu tangan, perlahan. Di dalam gerakannya . Ia menatap tajam pada patriak itu, wajahnya tak berubah, tidak sedikitpun empati.

“Kau hanyalah,” kata Tiandu, suaranya dingin seperti besi yang ditempa malam, “ alat. Ketika alat tak lagi berguna, alat itu akan dibuang. Itu hukum praktis yang sederhana.”

Jantung Hong Ju berdegup kencang, ia tergagap,”

Tiandu mengangkat tangan lebih tinggi, seolah memotong udara. Sinar tipis seperti garis kaca muncul, lalu mengoyak lebih cepat dari ruangan bernafas. Itu bukan sembarang serangan: itu adalah tebasan tanpa bunyi, sebuah ledakan kekosongan.

“Dasar sampah,” desis Tiandu, suaranya tak lebih dari napas. Lalu, dengan gerak secepat kilat yang tak sempat disadari oleh mata yang tak terlatih, ia membawa telapak tangannya menebas leher Hong Ju.

Angin seperti dikoyak.

Dalam sekejap, leher yang tadi tegap itu kembali menajam seperti rontoknya sebatang tiang — dan darah memancur keluar dari kerongkongannya, bukan sebagai ledakan yang keras, melainkan seperti ember yang direnggut dari tali. Wajah Hong Ju berubah, sang patriak yang tadi mengaum kini memegang lehernya, matanya menatap Tiandu dengan kebingungan yang mengerikan.

“Tiandu… mengapa kau—” suaranya tercekik, lalu menjadi serak.

Tiandu mencondongkan tubuh sedikit, matanya mendelik .

Tangan Tiandu bergerak lagi. Kali ini bukan dengan kilat yang memenggal, melainkan dengan satu gerakan pembersihan: telapak yang menyapu seperti angin memotong ruang, dan darah yang jatuh berubah menjadi kabut yang menguap. Wajah Hong Ju berubah pucat ketika ia merasakan nyawanya seperti diseret dari dalam tubuhnya; ia mencoba meraih Tiandu, namun kakinya gemetar, suara terakhirnya pecah.

“Kenapa… kau lakukan ini?!” desaknya putus asa, namun tidak ada belas.

Tiandu mendekat, matanya menatap lekat pada patriak yang roboh. Tanpa ragu, ia menebas sekali lagi—bukan untuk mengambil nyawa, melainkan untuk memastikan bahwa yang tersisa hanyalah bisu. Hening menyergap; napas Hong Ju berhenti. Tidak ada jerit panjang, hanya decak terakhir ,

Di lapangan, ada hening yang tak beraturan. Para murid menunduk, ada yang menjerit, banyak yang pingsan. Rasa pengkhianatan membakar lebih dahsyat daripada luka fisik: patriak mereka tidak lagi hidup, dicabut oleh tangan yang mereka kira sekutu. Tiandu hanya menatap jenazah yang berlumuran tanah, lalu memutar pandang ke arah Xio Lun — tatapan itu sekarang bukan lagi hanya rasa penasaran, melainkan intimidasi yang padat seperti batu cadas.

Xio Lun menatap tenang, namun di matanya ada kilau berdarah: bukan karena dendam, melainkan karena skala permainan yang ia hadapi sekarang berubah. Di bawah kulit ketenangannya, dewa perang berbisik, lebih cepat dan tajam kali ini.

“Bocah… perhatikan. Orang ini bukan seperti yang kau hadapi sebelumnya.,. Kau harus berhati-hati.”

Xio Lun mengangguk tipis, seolah menelan amarah dan menggantinya dengan pertimbangan. Ia menoleh ke arah Tiandu, lalu kembali menatap patriak yang kini tak bernyawa...

1
Nanik S
di Cerita ini harusnya kata subuh tidak ada Tor
Nanik S
Peta
Nanik S
Siap Balas Dendam
Nanik S
apakah Xiao Lun akan dilenyapkan
Nanik S
Awal yang menarik
Ibad Moulay
Pengawal Timur
Ibad Moulay
Lorong Batu
Ibad Moulay
Formasi Penyegel Darah
Ibad Moulay
Penjaga Kuno
Ibad Moulay
Kuil Bayangan
Ibad Moulay
Menara Langit Ilahi
Ibad Moulay
Uraaa 🐎🐎🐎🐎
Ibad Moulay
Lanjutkan 🔥🔥🔥🔥
Ibad Moulay
Gerbang Bintang
Ibad Moulay
Pusaran
Ibad Moulay
Jalur Utara
Ibad Moulay
Penjaga
Ibad Moulay
Ledakan
Ibad Moulay
Altar
Ibad Moulay
Cahaya Putih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!