"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Mendekat
Sudah hampir dua minggu Riri benar-benar menjaga jarak dengan rapi. Ia hanya berbicara dengan Bastian jika memang itu menyangkut pekerjaan, itu pun dengan nada sopan dan profesional. Tak ada lagi tatapan lama, senyum manja, atau celetukan spontan seperti dulu.
Dan justru saat jarak itu semakin terbentuk, Bastian justru semakin memperhatikan setiap gerak-geriknya.
Pagi itu, Bastian tengah berdiri memperhatikan karyawan yang baru datang satu per satu. Matanya berhenti pada satu sosok yang baru datang dengan tergesa sambil merapikan rambutnya yang terurai.
Riri.
Kemeja biru muda, rok hitam selutut, dan sneakers putih. Sederhana, tapi ada sesuatu yang membuat pandangan Bastian tak bisa berpaling dari sosok itu.
Ia bahkan tidak sadar kalau sekretarisnya sudah tiga kali memanggil.
“Pak… Pak Bastian?”
“Hm? Ada apa?”
“Berkas rapat pagi ini.”
“Oh… iya, taruh saja di ruangan saya.”
Sekretaris itu menahan tawa kecil. “Kayaknya Pak Bastian akhir-akhir ini sering bengong, ya?”
Bastian hanya berdehem pura-pura sibuk, “Kamu salah lihat, sudah sana fokus kerja.”
___
Di ruang rapat, Riri duduk di barisan tengah sambil sibuk mencatat. Ia terlihat serius, matanya fokus pada presentasi di depan. Bastian duduk di kursi pimpinan, tapi matanya beberapa kali melirik ke arah gadis itu.
Setiap Riri mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan atau memberi masukan, Bastian memperhatikannya diam-diam. Bahkan saat semua orang bertepuk tangan karena ide Riri diterima, Bastian ikut tersenyum kecil tanpa ia sadari.
“Pak, kita lanjut ke slide berikutnya?” tanya salah satu manajer.
“Oh—ya, lanjut,” jawab Bastian, sedikit tersentak dari lamunannya.
Siang hari, Bastian turun ke kantin, satu hal yang jarang sekali ia lakukan karena biasanya makan di ruangannya. Alasan aslinya? Karena ia tahu jam segitu Riri biasa makan bersama tim humas.
Dan benar saja. Dari kejauhan ia melihat Riri duduk bersama Rico dan beberapa teman satu divisi. Gadis itu tertawa kecil saat Rico melontarkan lelucon. Wajahnya tampak santai… dan Bastian hanya berdiri sebentar, memperhatikan dengan ekspresi sulit dijelaskan.
“Pak, mau saya ambilkan makanan?” tanya salah satu staf.
“Enggak, saya… hanya lewat saja.” jawabnya cepat, lalu kembali ke ruangannya. Tapi setelah itu, pikirannya tidak tenang sama sekali.
Sore itu, saat Riri melewati koridor depan ruangannya, Bastian yang biasanya cuek kini tiba-tiba berdiri di depan pintu hanya untuk menyapa sekilas.
“Kamu sudah mau pulang?”
“Iya, Pak. Kerjaan saya hari ini sudah selesai,” jawab Riri sopan.
“Bagus,” jawab Bastian singkat.
Riri sedikit heran, karena Bastian tidak pernah repot-repot berdiri hanya untuk menyapanya seperti itu. Tapi ia memilih tidak menanggapi berlebihan dan segera berlalu.
Begitu pintu lift tertutup dan Riri tak terlihat lagi, Bastian menatap lorong yang kini sepi, lalu tersenyum kecil sendiri. “Dia… benar-benar berubah,” gumamnya lirih.
Malam itu di rumah mewahnya, Bastian membuka laptop tapi bukannya bekerja, ia malah membuka media sosial kantor. Matanya tanpa sadar berhenti di foto Riri saat menjadi perwakilan humas dalam acara perusahaan seminggu lalu.
Rambutnya disanggul rapi, matanya bersinar penuh percaya diri saat bicara di atas panggung. Ia terlihat dewasa… dan semakin sulit untuk diabaikan.
“Kenapa sekarang saya malah jadi kayak gini…” ucap Bastian pelan, setengah kesal pada dirinya sendiri.
Sementara Riri sendiri tidak menyadari bahwa Bastian kini lebih sering memperhatikannya. Ia benar-benar fokus kerja dan membangun batas yang Bastian bangun diantara mereka. Meski tak bisa ia pungkiri, jantungnya masih berdetak cepat tiap kali Bastian berada di dekatnya.
Dan tanpa mereka sadari… jarak yang mereka buat justru menumbuhkan ketertarikan yang lebih dalam diantara satu sama lain.
____
Pagi itu, Riri baru saja duduk di mejanya saat suara berat yang familiar terdengar dari belakang.
“Pagi.”
Riri menoleh, sedikit terkejut melihat Bastian berdiri sambil membawa dua gelas kopi.
“Pagi, Pak.” jawabnya sopan.
Bastian mengulurkan satu gelas ke arahnya. “Saya tadi lewat coffee shop, iseng beli dua. Kalau saya gak salah, kamu suka cappuccino, kan?”
Riri terdiam sebentar. Dulu, dialah yang sering membawakan kopi untuk Bastian, bukan sebaliknya.
“Iya… makasih, Pak.” ucapnya, menerima kopi itu dengan sedikit canggung.
Bastian tersenyum kecil. “Sama-sama, jangan terlalu tegang kerjanya.”
"Baik, Pak." jawab Riri singkat.
Siang harinya, saat semua karyawan rapat divisi masing-masing, Bastian tiba-tiba muncul di ruang humas tempat Riri bekerja.
“Riri, kamu ikut sebentar ke ruangan saya,” katanya santai.
Semua mata langsung melirik ke arah Riri. Ia pun hanya bisa mengangguk dan mengikuti Bastian masuk ke ruangannya.
Setelah pintu tertutup, Riri langsung bertanya, “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Bastian membuka berkas di mejanya, tapi kemudian berkata, “Sebenarnya saya cuma mau diskusi ide acara akhir tahun ini dengan kamu. Saya merasa lebih nyaman bicara sama kamu. Karean biasanya kamu punya banyak ide segar.”
Riri agak bingung. “Tapi bukannya ini urusan tim kreatif, Pak?”
“Iya, tapi saya mau dengar pendapat kamu juga,” jawab Bastian cepat, dengan nada yang lebih hangat dari biasanya.
"Atau kamu keberatan membantu saya?"
"Bukan begitu, Pak. Dengan senang hati saya akan bantu semampu saya." ucap Riri.
Selama percakapan itu, Bastian terlihat benar-benar fokus pada Riri. Sesekali matanya menatap lama saat gadis itu menjelaskan idenya dengan antusias. Sementara Riri, meski berusaha tetap profesional, jantungnya tak bisa bohong, degupnya terasa tak lagi beraturan. Terlebih mereka hanya berdua di ruangan itu.
Momen-momen “kebetulan” yang lain pun mulai sering terjadi.
Saat Riri turun ke kantin, Bastian tiba-tiba muncul dan pura-pura “tidak sengaja” satu meja dengannya.
Saat Riri lembur, Bastian juga tiba-tiba ikut lembur dan menawarkan untuk mereka pulang bersama.
“Udah malam, kamu jangan pulang sendiri,” ucapnya suatu malam sambil mengulurkan kunci mobil.
“Gak usah repot-repot, Pak. Saya bisa naik ojek.”
tolak Riri secara halus.
“Udah, ikut aja. Lagian rumah kamu sama rumah saya juga searah.”
Di dalam mobil, suasana hening cukup lama. Tapi Bastian yang biasanya cuek, kini mencoba mencairkan suasana.
“Kamu akhir-akhir ini… beda ya,” katanya pelan.
“Beda gimana, Om?” tanya Riri yang mulai mengubah panggilannya karena sudah berada di luar kantor.
“Lebih… dingin.”
Riri menatap ke luar jendela. “Saya cuma berusaha profesional aja.”
Bastian menatapnya sekilas. Ada rasa yang sulit ia sembunyikan. “Saya … nggak keberatan kalau kamu jadi dingin sama orang lain. Tapi jangan terlalu dingin sama saya juga.”
Ucapan itu membuat dada Riri menghangat, tapi ia pura-pura tidak mendengar dan hanya tersenyum tipis.
Sejak hari itu, Bastian semakin sering mencari alasan untuk dekat dengan Riri. Entah lewat pekerjaan, obrolan ringan, atau sekadar “kebetulan” bertemu di tempat yang sama.
Riri mulai merasakan perubahan itu… dan meski ia berusaha menjaga jarak, hatinya pelan-pelan kembali bergetar tiap kali Bastian muncul tiba-tiba dengan senyum khasnya.