NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:939
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Due Personalità

Setelah makan malam yang terasa canggung, Taeri bergegas kembali ke kamarnya, berharap bisa menjauhi Azey. Percuma saja ia menolak, pria itu terlalu keras kepala. Dengan kesal, Taeri merebahkan diri di kasur, membelakangi Azey seolah memasang barikade.

"Tidur saja sana! Jangan macam-macam," desis Taeri, nada suaranya tajam. Ia menarik selimut tinggi-tinggi, menutupi tubuhnya rapat-rapat. "Besok aku ada kelas pagi, jangan bikin aku telat hanya karena ulahmu!"

Namun, Azey tak menggubris peringatan itu. Dengan gerakan licik, ia merapat pada Taeri, melingkarkan tangannya posesif di pinggang gadis itu. Bisikan menggoda terdengar di telinga Taeri, "Masa cuma tidur? Sayang sekali kalau malam ini dilewatkan begitu saja."

Tanpa aba-aba, tangan Azey mulai berani bermain. Sentuhan kurang ajar itu langsung meremas dada Taeri, membuatnya tersentak kaget.

"Tuan! Hentikan!" seru Taeri dengan nada memperingatkan yang bercampur kesal. "Apa kau tuli?! Besok aku ada kelas! Sekali lagi kau berani menyentuhku, kupukul kepalamu dengan vas bunga seperti waktu itu, biar sekalian amnesia!"

Azey menyeringai tipis, seolah menikmati ekspresi kesal Taeri. Dengan gerakan perlahan, ia menarik tangannya dari dada gadis itu, namun jari-jarinya masih nakal menelusuri perut rata Taeri yang menegang. "Kau ini galak sekali, sih," ucapnya lembut, namun tersirat nada mengejek. "Nanti cepat tua, lho. Sayang kan, kalau kecantikanmu pudar hanya karena sering marah-marah? Nggak kasihan sama orang-orang yang mengagumi wajahmu?"

Taeri mendengus keras. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. Ia mencubit perut Azey dengan gemas, berharap pria itu merasa jera. Tapi Azey hanya terkekeh pelan, seolah cubitan itu tidak berarti apa-apa. Reaksi itu justru membuat Taeri semakin geram. "Biar saja aku cepat tua!" balasnya ketus. "Dengan begitu, kau akan cepat bosan dan membebaskanku dari tempat terkutuk ini!"

Azey semakin mengeratkan pelukannya, dagunya sengaja ia sandarkan di pipi Taeri, membuat gadis itu semakin tidak nyaman. "Oh, jadi kau yakin sekali bisa lolos dariku?" bisiknya menggoda.

"Bagaimana kalau kita buat taruhan?" Ia berhenti sejenak, memperhatikan wajah Taeri yang memejamkan mata, berusaha mengendalikan emosinya. "Dalam setahun," lanjutnya dengan nada penuh percaya diri, "kalau kau tidak jatuh cinta padaku... aku akan melepaskanmu. Tapi, kalau sampai kau jatuh cinta padaku, kau harus bersamaku selamanya. Bagaimana, berani?"

Taeri terdiam sejenak, menimbang tawaran itu. Taruhan dalam setahun... mungkin itu satu-satunya cara untuk mendapatkan kebebasannya kembali. Sebuah ide licik mulai terbentuk di benaknya.

"Baiklah, aku setuju," jawabnya dengan nada tenang, namun menyimpan tekad yang kuat.

Dengan gerakan anggun, ia berbalik menghadap Azey. Senyum percaya diri masih terpampang jelas di wajah pria itu, seolah kemenangan sudah berada di genggamannya. Taeri membalas senyum itu dengan seringai tipis yang sulit diartikan. Ia mengangkat tangannya, mengusap lembut pipi Azey dengan sentuhan yang menggoda.

Azey mengangkat alis, sedikit terkejut dengan perubahan sikap Taeri yang tiba-tiba. "Wah, ternyata kucing kecil ini ingin mencoba berubah menjadi harimau betina," pujinya dengan nada kagum sekaligus mengejek.

Taeri mendekatkan wajahnya, bibirnya hanya berjarak beberapa senti dari bibir Azey. "Dengarkan baik-baik, Tuan," bisiknya dengan suara yang memabukkan. "Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu." Matanya menatap lurus ke dalam mata Azey, menantang dan penuh keyakinan. "Sebaliknya, aku akan membuatmu tenggelam dalam perasaanmu sendiri, dalam obsesi yang tidak akan pernah bisa kau menangkan."

Dengan ujung jarinya, ia menyentuh bibir Azey, membelainya dengan gerakan sensual. Senyumnya berubah menjadi ejekan yang lembut. "Jadi... jangan menangis nanti, ya," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. "Kalau aku pergi dari sini, meninggalkanmu yang sudah lebih dulu jatuh cinta padaku."

Azey tertawa kecil, seolah geli dengan kepercayaan diri Taeri yang berlebihan. "Kau benar-benar percaya diri, Sayang," sahutnya dengan nada tenang, namun matanya menyipit mengejek. "Kau pikir bisa pergi begitu saja dan meninggalkanku dalam kesedihan? Padahal selama ini... kau tak pernah benar-benar bisa menolak apa pun yang kuberikan."

Dengan gerakan perlahan, ia mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Taeri. Sentuhan itu lembut namun terasa mengendalikan. Jari-jarinya kemudian turun perlahan, berhenti di bibir Taeri, mengusapnya dengan gerakan membelai yang halus. "Apa kau mau aku membuktikannya sekarang?" bisiknya dengan nada menantang namun terkendali.

Taeri menatap balik dengan sorot mata tajam. Senyum sinis tersungging di bibirnya. "Buktikanlah," ucapnya datar namun penuh tantangan. "Kalau memang aku tak bisa menolakmu, buktikan, pria mesum." Nada suaranya mencerminkan keyakinan bahwa ia bisa mengendalikan diri.

Namun, Azey tidak terpengaruh. Dengan gerakan tiba-tiba, ia menurunkan tangannya dari bibir Taeri dan menyelusup masuk ke dalam celana pendek gadis itu. Jari-jarinya dengan lihai menemukan area sensitif Taeri, dan seketika itu juga, pertahanan Taeri runtuh.

"Ahhhh... Azeyy..." desah Taeri pelan, tak bisa menahan sensasi yang menjalar di tubuhnya saat Azey mengeratkan jarinya.

Senyum licik terbit di wajah Azey. Ia menarik tangannya keluar dan menatap Taeri dengan tatapan penuh kemenangan. "Lihatlah," suaranya berbisik namun menusuk. "Kau bereaksi begitu cepat, padahal aku baru menyentuhmu sedikit. Bagaimana caranya kau akan menolak semua perhatianku selama satu tahun penuh... tanpa goyah sedikit pun?"

Wajah Taeri terasa panas membara, rona merah menjalar hingga ke telinganya. Ia dengan cepat berbalik membelakangi Azey, menyembunyikan kegugupannya. "Curang! Dasar pria mesum," gerutunya cepat, berusaha menutupi keterkejutannya. "Itu karena aku kaget, bukan karena... sentuhanmu. Jangan terlalu percaya diri."

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu tak karuan. "Sebaiknya sekarang tidur saja," suaranya terdengar setengah mengomel. "Kalau aku terus meladeni orang aneh sepertimu, bisa-bisa aku telat masuk kampus besok." Taeri memejamkan mata rapat-rapat, berusaha mengusir bayangan sentuhan Azey dari benaknya.

Azey menatap punggung gadis itu dalam diam. Ia tahu, meski Taeri berusaha menyangkal, ia sudah memegang kendali dalam permainan ini. Tanpa ragu, ia kembali mendekat dan memeluk Taeri dari belakang.

"Baiklah," bisiknya pelan di telinga Taeri, senyum licik tersungging di bibirnya, "Anggap saja aku curang malam ini." Ia merasakan tubuh Taeri menegang dalam pelukannya. "Tapi percayalah, aku hanya butuh waktu kurang dari satu tahun untuk membuatmu bertekuk lutut padaku, Sayang. Membuatmu tidak bisa hidup tanpaku walau hanya sehari saja."

Ia menunduk dan mengecup pipi Taeri sekilas, sekadar sebagai penutup permainan malam ini. Taeri tidak lagi melawan, namun tubuhnya masih terasa kaku. Ia tetap diam, takut Azey akan kembali menggoda dan membuatnya kehilangan kendali. Dasar jantung murahan, bisa-bisanya berdetak secepat ini hanya karena pria psikopat seperti dia, gerutunya dalam hati, berusaha menyangkal perasaannya sendiri.

__________________________________________

Di bawah langit Sisilia yang bertabur bintang, Leonardo berjongkok dalam kegelapan, bersembunyi di balik semak-semak yang mengelilingi mansion mewah milik keluarga Giovani. Suasana malam ini terasa mencekam, setiap hembusan angin membawa aroma bahaya. Cahaya lampu taman yang menyilaukan menyoroti rahangnya yang tegas, mempertegas aura dingin yang terpancar darinya. Di sekelilingnya, tim pemburu bayaran menunggu dengan sabar, senjata tersembunyi di balik jaket kulit mereka.

Ricardo, temanya, menatap layar tablet yang menampilkan denah rinci mansion tersebut. Ia mendengarkan dengan seksama setiap informasi yang dikirimkan oleh Elena dari markas pusat. Suara Elena terdengar jernih melalui earphone yang terpasang di telinganya.

"Ricard, semua jalur masuk dijaga ketat," lapor Elena dengan nada profesional. "Mulai dari taman, gerbang utama, paviliun, hingga gazebo belakang. Satu-satunya celah aman adalah melalui gerbang bawah tanah, jalur parkir yang terhubung langsung ke pintu masuk dalam."

Ricardo menyeringai sinis. "Informasi yang sangat berharga, Elena sayang," ujarnya dengan nada menggoda namun tajam. "Kami akan segera memulai operasi ini. Jika aku berhasil keluar dari sini hidup-hidup, aku akan segera melamarmu."

"Jangan bercanda bodoh," desis Elena dari seberang saluran, namun Ricardo bisa mendengar nada geli dalam suaranya.

Leonardo menegakkan tubuhnya, melirik sekilas ke arah mansion megah itu. Ia kemudian menoleh ke arah timnya. "Semuanya tetap di posisi," perintahnya datar namun tegas, suaranya tak terbantahkan. "Pastikan komunikasi tetap terjaga. Jika aku tidak kembali dalam dua jam, lakukan pembantaian seperti biasa."

Para bawahan mengangguk tanpa suara, memahami sepenuhnya perintah yang tidak perlu diulang. Mereka tahu, Leonardo tidak pernah main-main dengan ucapannya.

Leonardo melirik Ricardo, senyum tipis dan berbahaya terlukis di bibirnya. "Ricardo, ikut aku," ucapnya sambil berjalan menuju mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari mereka. "Kita akan bersenang-senang malam ini. Aku punya cara yang lebih elegan daripada membuang waktu dengan menghadapi anak buah Giovani."

Ricardo menatap punggung Leonardo dengan rasa penasaran yang semakin membara. Ia tahu, ketika Leonardo tersenyum seperti itu, sesuatu yang besar dan berbahaya akan segera terjadi.

Leonardo masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, diikuti oleh Ricardo yang masih terlihat bingung. Mesin mobil meraung pelan saat Leonardo mengarahkannya keluar dari persembunyian di balik semak-semak dan menuju jalan depan mansion. Ia mengemudi dengan tenang, seolah tidak ada apa-apa yang akan terjadi.

"Pegangan yang kuat," ucapnya singkat tanpa menoleh, nada suaranya datar dan tanpa emosi.

Ricardo mengerutkan dahi, merasa ada sesuatu yang aneh dengan sikap Leonardo. "Untuk apa—" kalimatnya terputus ketika mobil tiba-tiba melaju kencang, lalu berbelok tajam menuju pohon pinus besar yang berdiri kokoh di dekat gerbang utama.

"Bajingan gila!" umpat Ricardo refleks, mencengkeram dasbor sekuat tenaga untuk menahan tubuhnya. Ia tidak menyangka Leonardo akan melakukan hal gila seperti ini.

Dentuman keras menggema di malam yang sunyi saat mobil menghantam batang pohon dengan brutal. Benturan itu membuat keduanya terhuyung ke depan, merasakan sakit yang menusuk di dada dan kepala.

Dua penjaga gerbang yang mendengar suara benturan keras itu sontak menoleh dengan kaget. "Apa itu?! Siapa mereka?!" seru salah satu penjaga sambil berlari ke arah mobil. "Cepat periksa! Jangan-jangan musuh yang sedang mengintai!" sahut yang lain, ikut berlari mendekat. Senter mereka menyorot ke arah mobil yang ringsek di bagian depan, berusaha melihat siapa yang ada di dalamnya.

Leonardo menunduk, dengan tenang menepuk-nepuk bajunya yang berdebu, lalu mengangkat kedua tangannya setengah pasrah. Ia memasang ekspresi bodoh dan polos di wajahnya. "Maafkan kami, Tuan," ujarnya dengan aksen asing yang dibuat-buat, berusaha meniru logat Belanda. "Kami turis dari Belanda... tersesat, dan sepertinya salah jalan. Kami tidak bermaksud membuat kalian kaget." Ia tersenyum lebar, mencoba meyakinkan para penjaga bahwa mereka hanyalah turis bodoh yang tersesat.

Salah satu penjaga mendengus kesal, ekspresinya menunjukkan rasa jijik dan tidak sabar. "Hah, dasar orang-orang tak berguna," ketusnya dengan nada merendahkan. "Membuat kami kaget saja. Cepat pergi dari sini! Tempat ini bukan area wisata."

Ricardo segera menunduk sedikit, memainkan perannya dengan sempurna. Ia memasang ekspresi memelas dan memohon. "Maafkan kami, Tuan," ujarnya dengan nada menyesal. "Mobil kami sudah tidak bisa digunakan lagi. Apakah kalian bisa meminjamkan kami satu mobil saja? Kami akan mengembalikannya ke kantor kedutaan besok pagi."

Kedua penjaga saling berpandangan, ekspresi ragu bercampur perhitungan terlihat jelas di wajah mereka. Sebelum salah satunya tersenyum tipis, seolah baru saja mengambil keputusan. "Baiklah," sahutnya, mencoba menyembunyikan motif tersembunyi di balik tawaran tersebut. "Ikut kami. Tuan kami adalah orang yang sangat murah hati. Dia pasti mau membantu kalian."

Leonardo menunduk sopan, menyembunyikan senyum licik yang hampir terlihat di bibirnya. "Terima kasih," ujarnya pelan, namun tatapannya menyimpan makna tersembunyi.

Mereka berdua mengikuti langkah para penjaga melewati halaman yang luas menuju mansion megah. Leonardo mengamati sekelilingnya dengan seksama, merekam setiap detail yang dilihatnya.

"Sepertinya Tuan kalian benar-benar orang yang baik," kata Leonardo sambil tersenyum sopan, nadanya datar namun berisi sindiran halus. "Kami sangat beruntung... walaupun sepertinya tidak sempat bertemu dengannya."

Di markas, Elena yang mendengarkan percakapan itu melalui earphone hanya bisa menggelengkan kepalanya. Senyum licik muncul di wajahnya tanpa suara. Dasar dua orang psikopat, batinnya dengan nada geli dan kagum.

Mereka berjalan melewati barisan penjaga yang menatap datar tanpa ekspresi, tatapan mata mereka kosong dan tanpa kehidupan. Suasana semakin terasa mencekam saat mereka memasuki ruang bawah tanah yang remang-remang.

Salah satu penjaga berhenti di depan pintu besi besar yang sudah terbuka, lalu menoleh singkat. "Ambil mobil sedan putih itu," perintahnya dengan nada malas. "Setelah itu segera pergi dari sini dan jangan lupa untuk mengembalikannya di kantor kedutaan."

Leonardo tersenyum tipis, senyum yang tidak mencerminkan kebaikan sedikit pun. "Terima kasih," ujarnya pelan, suaranya dingin seperti es. "Dan... selamat tinggal, semoga kalian ditempatkan di alam yang penuh kesedihan." Dengan gerakan secepat kilat, ia mematahkan leher penjaga yang berdiri di depannya. Bunyi retakan tulang yang tajam menggema di ruang bawah tanah, mengakhiri hidup pria itu dalam sekejap. Tubuh pria itu ambruk ke tanah tanpa suara, matanya melotot kosong.

Di sisi lain, Ricardo sudah bergerak lebih dulu. Tanpa ampun, ia menusuk leher penjaga kedua dengan pisau yang selalu disimpannya di balik jaketnya. Darah menyembur keluar, membasahi lantai dan dinding di sekitarnya. Ricardo menarik napas pendek, wajahnya tanpa emosi, seolah baru saja melakukan pekerjaan rumah yang membosankan. "Huff... kasihan sekali kalian, padahal aku sedang tidak mood untuk membunuh," gumamnya sinis.

Leonardo menghapus noda darah di tangannya dengan sapu tangan, lalu menatap ke arah ujung lorong. Sebuah pintu logam tampak samar di balik cahaya lampu redup. "Ayo, ke sana," katanya cepat, nadanya dingin dan tidak sabar.

Ricardo mengikuti pandangan Leonardo, lalu terkekeh singkat. "Sepertinya ini berakhir lebih cepat dari yang kukira," ujarnya ringan, seolah kematian dua orang penjaga itu tidak berarti apa-apa baginya.

Keduanya bergerak cepat menyusuri lorong dan masuk melalui pintu logam tersebut. Mereka tiba di sebuah kamar mewah yang dipenuhi dengan perabotan mahal dan lukisan-lukisan kuno.

"Elena, kami sudah sampai di sebuah kamar dengan pintu silver di lantai dua. Sesuai dengan gambar yang ada di denah, apa benar ini kamar Giovani?" tanya Leonardo dengan nada dingin dan profesional.

"Benar sekali, Leo. Itu kamar pribadi Giovani dan istrinya," sahut Elena dari seberang saluran, suaranya terdengar tegang dan penuh antisipasi.

Ricardo mengeluarkan alat kecil berbentuk lempengan logam dari saku jaketnya. "Biar aku yang urus," katanya singkat. Ia menempelkan alat itu ke panel kunci angka di pintu, lalu mengaktifkannya. Lampu hijau menyala dan hitungan mundur terlihat di layar kecil. "Tiga, dua, satu... terbuka," gumamnya.

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!