Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalam Kegelapan Pekat
Rizal bersandar sebentar, memandangi Yuna yang masih mengenakan pakaian yang sedikit basah. Hujan yang mengguyur jelas meninggalkan jejak. Ujung rambut Yuna meneteskan air, pipinya memerah entah karena dingin atau gugup.
“Kamu kehujanan?” Tanya Rizal, nada suaranya berubah lebih lembut.
“Taksi berhenti agak jauh… aku nggak bawa payung.” Yuna mengangguk pelan.
Tanpa banyak bicara, Rizal meraih tangan Yuna, mengambil handuk bersih yang hanya di pegangnya, lalu kembali kembali menatap Yuna.
“Sini...” ucapnya singkat.
Yuna menatapnya bingung.
“Aku bisa sendiri...”
“Sini.” Ulang Rizal, kali ini tatapannya tegas tapi penuh perhatian.
Perlahan, Yuna mendekat. Rizal mulai menepuk-nepuk rambutnya dengan handuk, mengeringkan tetesan air yang menempel. Sentuhannya hati-hati, seolah takut menyakiti.
“Kalau sakit kepala gara-gara kehujanan, aku yang repot.” Gumamnya sambil tetap mengusap lembut.
“Kenapa repot? Kan bisa suruh orang.” Yuna tersenyum tipis.
Rizal berhenti sejenak, menatapnya.
“Karena aku nggak mau orang lain yang ngurusin kamu. Aku maunya… aku."
Yuna terdiam, kata-kata itu masuk begitu saja ke hatinya.
Setelah selesai, Rizal menaruh handuk di pangkuannya.
“Udah agak kering. Nanti ganti baju, jangan dibiarkan basah terlalu lama.”
“Makasih… Mas...” Yuna mengangguk.
Panggilan itu lagi-lagi membuat Rizal tersenyum, kali ini lebih lebar.
“Kalau tiap marahan ujung-ujungnya kamu manis begini, aku jadi pengen sering marah, deh.”
“Nggak lucu.” Yuna mendengus, menatapnya sambil berusaha menahan senyum.
“Tapi manjur...” Balas Rizal sambil terkekeh kecil.
Belum sempat Yuna membalas candaan Rizal, terdengar ketukan pelan di pintu.
Tok… tok… tok…
“Masuk...” Jawab Rizal sambil melirik sekilas ke arah pintu.
Pintu terbuka dan muncul Wika dengan nampan berisi dua cangkir uap panas yang harum aromanya.
“Mama bawain teh jahe. Cocok buat yang habis kehujanan.” Ucapnya sambil masuk ke kamar.
“Wah, makasih, Ma.” Rizal langsung mengambil salah satunya. Tapi matanya tetap melirik Yuna, memastikan gadis itu tidak kedinginan.
“Minum, Yuna.” Ucap Wika lembut sambil menyerahkan cangkir kedua.
“Terima kasih, Tante…” Yuna menerima dengan dua tangan.
“Ah, Tante apaan. Mulai sekarang, panggilnya Mama.” Potong Wika sambil tersenyum hangat.
“Biar terbiasa.”
Pipi Yuna memanas, entah karena teh jahe atau tatapan penuh arti dari ibu calon suaminya itu.
Wika menaruh nampan di meja kecil dekat sofa, lalu melirik Rizal.
“Kamu jangan lama-lama ngambek sama Yuna! Kan kasian kalau setiap kamu ngambek, Yuna bela-belain hujan-hujanan begini.”
Rizal mengernyit, setengah protes.
“Siapa bilang aku ngambek?”
“Ah, Mama tahu lah...” Jawab Wika sambil terkekeh, lalu menepuk bahu anaknya.
“Sudah, jaga calon istri kamu baik-baik. Mama turun dulu.”
Begitu Wika keluar dan menutup pintu, suasana kamar kembali hening. Yuna menatap teh di tangannya, sementara Rizal diam-diam tersenyum melihat pipi merahnya.
“Jadi… apa yang mau kamu katakan, sampai rela hujan-hujanan begini?”
Yuna menghela napas pelan. Jemarinya mengeratkan genggaman pada cangkir teh jahe, seolah mencari keberanian.
“Soal… tadi pagi...” Suaranya nyaris seperti bisikan.
“Merah di pipiku… itu karena ditampar Kak Nadine.” Imbuhnya
“Apa?!” Rizal sontak membeku.
Wajahnya berubah serius, rahangnya mengeras. nada suaranya meninggi, tatapannya tajam.
“Dia berani...”
Tapi sebelum Rizal sempat berdiri, Yuna cepat-cepat menaruh cangkirnya di meja dan memegang lengan pria itu.
“Mas, tolong… jangan marah. Ini alasan kenapa aku nggak mau cerita.”
“Kenapa? Supaya aku nggak membelamu? Supaya dia bebas seenaknya?” Rizal menatapnya tak berkedip, napasnya berat menahan emosi.
“Supaya masalahnya nggak makin besar. Aku sudah terbiasa menanggungnya sendiri, Mas… Aku nggak mau Mas Rizal ikut terbawa dalam urusan yang… bisa bikin hubungan keluarga makin runyam.” Yuna menggeleng, kepala senantiasa tertunduk.
Rizal menarik napas panjang, matanya meredup meski amarahnya belum benar-benar padam. Dalam hati, ia ingin sekali keluar dari kamar itu dan langsung menemui Nadine, tapi genggaman Yuna yang hangat di lengannya membuatnya bertahan.
“Aku tetap nggak suka, Yuna...” Ucapnya pelan, tapi nadanya penuh tekad.
“Biarpun kamu nggak mau cerita, aku bakal cari tahu… dan aku nggak akan diam kalau ada yang nyakitin kamu lagi.”
Yuna hanya menunduk, bibirnya menekan senyum tipis, entah itu karena terharu atau takut pada apa yang mungkin terjadi.
Suara petir menggelegar, diikuti kilatan cahaya yang membelah langit. Sepersekian detik kemudian, seluruh rumah seakan terhentak dalam gelap. Listrik padam.
“Aaaaaa...” Yuna tersentak dan hampir terjatuh dari sofa.
Rizal, yang refleks mencoba memegangnya, malah kehilangan keseimbangan sendiri. Mereka berdua berakhir terjatuh… dan ,Rizal justru menimpa tubuh Yuna.
Detak jantung keduanya seakan bersaing dengan suara hujan di luar. Dalam kegelapan pekat, pupil mata Rizal melebar, menyesuaikan diri. Perlahan… ia bisa menangkap garis wajah Yuna yang hanya berjarak beberapa centimeter darinya. Napas mereka bersentuhan.
“Yuna…” Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. Ada sesuatu yang mengikat mereka di momen itu, entah karena terkejut, takut, atau… sesuatu yang lain.
Namun, ketegangan itu buyar ketika listrik kembali menyala. Seketika cahaya memenuhi ruangan, dan bersamaan dengan itu, pintu kamar Rizal terbuka.
“Rizal?! Yuna?!” Mama Wika berdiri di ambang pintu, matanya melebar melihat posisi mereka yang… terlalu dekat untuk sekadar kebetulan.
“Bukan seperti yang Mama pikir—” Ujarnya cepat, sementara Yuna menunduk, wajahnya merah padam.
Rizal langsung bangkit, membantu Yuna ikut berdiri.
“Aku cuma… kaget sama petir tadi, Ma. Yuna teriak, terus…” Rizal menggaruk belakang kepalanya, mencari alasan yang masuk akal.
Mama Wika mengangkat alis, masih setengah curiga.
“Tadi Mama dengar memang ada teriakan… makanya Mama buka pintu. Tapi lain kali, kalau gelap, nyalain lilin atau senter, jangan sampai bikin Mama kaget begini.”
Yuna buru-buru mengangguk, mencoba menenangkan diri, sementara Rizal hanya menarik napas panjang, berusaha menahan senyum miringnya.
“Ini nggak bisa di biarin, mama bakalan bilang sama papa, supaya pertunangan atau bahkan pernikahan kalian dipercepat.”
Mama Wika akhirnya menutup pintu, meski sebelum pergi ia sempat memberikan tatapan ‘aku melihat kalian’ yang membuat Yuna semakin salah tingkah.
Begitu pintu menutup, Rizal menyandarkan punggungnya ke meja belajar sambil menatap Yuna yang masih memegangi roknya, berusaha merapikan diri.
“Wajahmu… merah sekali.” Ucapnya dengan nada menggoda.
“B-bukan karena apa-apa.” Yuna buru-buru memalingkan wajah.
“Hmm… aku rasa bukan cuma karena petir tadi, ya?” Rizal menyempitkan mata, lalu tersenyum miring.
“Mas…” Suara Yuna memprotes, tapi pelan sekali.
Rizal mendekat, tangannya menyentuh ujung rambut Yuna yang sedikit lembap karena hujan.
“Kalau begini, aku makin yakin… nggak ada alasan buat kita terus berjarak, Yun.”
Yuna menelan ludah, tidak menjawab, hanya diam menunduk. Rizal tersenyum tipis, setengah geli, setengah puas.
*****
Sementara itu, di ruang kerja lantai bawah, Mama Wika duduk berhadapan dengan suaminya, Bram, yang tengah membaca dokumen.
“Pa…” Panggilnya pelan.
“Kenapa?” Bram menurunkan kacamata.
“Mama mau kita cepat-cepat menikahkan Rizal sama Yuna.”
“Secepat itu? Bukannya kita masih menunggu…” Bram menaikkan alis.
“Tidak...” Potong Wika cepat.
“Mama percaya sama anak kita, tapi bagaimanapun juga, dia itu laki-laki biasa. Mama baru kali ini lihat… tadi tatapan Rizal ke Yuna dan situasi mereka di kamar… kalau dibiarkan terlalu lama, mama takut...”
Bram terdiam sesaat, memandang istrinya yang jelas punya niat lain di balik kekhawatiran itu.
“Lagipula, Yuna itu cocok sekali sama Rizal. Kalau kita cepat menikahkan mereka, kita bisa pastikan dia nggak akan kemana-mana. Jadi menantu kita seutuhnya.” Wika melanjutkan dengan nada meyakinkan.
“Baiklah… papa akan atur pertemuan keluarga untuk membicarakan tanggalnya.” Bram akhirnya menghela napas panjang.
Senyum puas Mama Wika langsung mengembang.
“Nah gitu dong, ini yang mau mama dengar dari tadi...” Senyum Wika mengembang sempurna.