NovelToon NovelToon
Keluarga Langit

Keluarga Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Cinta setelah menikah / Keluarga
Popularitas:855
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.

Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.

Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.

Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.

Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.

Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.

Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.

Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ancaman Global Keluarga Di Ujung Tanduk

Hembusan napas Dokter Aris masih menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang memekakkan telinga. "Kalian bukan lagi manusia normal." Kalimat itu, yang seharusnya menjadi penutup diagnosis medis, kini terasa seperti vonis mati. Rohim dan Fitriani terpaku, mencoba mencerna setiap kata, setiap implikasi dari kenyataan baru mereka. Di balik kaca jendela kamar perawatan, bayangan seorang penjaga ISTC yang tadinya samar, kini terlihat lebih jelas, berdiri tegak, tak bergeming.

Dokter Aris, dengan wajah masih terkejut, menatap Rohim dan Fitriani bergantian. Ia hendak membuka mulutnya lagi, mungkin untuk menjelaskan lebih lanjut, namun Miss Armstrong lebih dulu bertindak. Wanita berambut perak itu, yang tadinya terlihat penuh simpati, kini menunjukkan sisi lain dirinya: dingin, tegas, dan sangat pragmatis.

Dengan gerakan nyaris tak terlihat, Miss Armstrong memberi isyarat dengan jari telunjuknya ke arah pintu. Seketika, pintu ruangan terbuka dengan suara mendesis. Empat orang pasukan militer berseragam hitam dengan lambang CIA di lengan masuk ke dalam, langkah mereka serempak dan mantap. Wajah mereka tertutup topeng taktis, hanya mata tajam yang terlihat. Senjata serbu berukuran sedang, yang tadinya tergantung di samping, kini langsung teracung, larasnya menunjuk tepat ke arah Rohim dan Fitriani.

Suasana langsung berubah drastis, dari melankolis menjadi mencekam. Rohim tersentak kaget, matanya membelalak tak percaya. Ini bukan lagi soal diagnosis medis, ini adalah ancaman nyata. "Hei! Apa-apaan ini?! Kenapa kalian menodongkan senjata?!" teriak Rohim, insting melindunginya langsung bangkit. Ia segera berdiri di depan Fitriani, mencoba menutupi tubuh istrinya. Otot-ototnya menegang.

Fitriani, yang tadinya masih syok, kini ikut terperanjat. Jantungnya berdebar kencang, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia refleks memeluk Shalih dan Humairah yang masih terlelap di ranjang medis, mendekap mereka erat-erat. Hijab putihnya terasa basah oleh keringat dingin. "Ayah... ada apa ini?" bisiknya, matanya memancarkan ketakutan.

Miss Armstrong melangkah maju, tatapannya dingin. "Tenang, Tuan Wiratama. Ini adalah prosedur standar. Kami tidak ingin menyakiti kalian." Suaranya terdengar datar, tanpa emosi.

"Prosedur standar apa?! Kalian menodongkan senjata pada kami! Kami ini korban!" Rohim membentak, kemarahan mulai meluap di dadanya. Ia tidak suka diancam, apalagi setelah semua yang mereka alami.

"Saya mengerti kekecewaan Anda. Tapi, Tuan Wiratama, Anda dan keluarga Anda sudah tidak sadarkan diri selama hampir seharian penuh setelah insiden itu," jelas Miss Armstrong, tanpa sedikit pun keraguan dalam suaranya. "Selama waktu itu, Dr. Aris dan timnya telah melakukan penelitian yang sangat mendalam. Data yang kami dapatkan... mengkhawatirkan."

Dr. Aris hanya terdiam, berdiri di belakang Miss Armstrong, tatapannya menghindar. Ia terlihat serba salah, bahunya sedikit merosot.

"Mengkhawatirkan apa? Kami selamat!" Rohim mencoba berargumen, suaranya meninggi. "Kami bersyukur masih hidup!"

"Betul. Kalian selamat. Dan itu adalah masalahnya," potong Miss Armstrong, ekspresinya tak berubah. "Rohim, Fitriani, dan kedua anak kalian. Kalian adalah satu-satunya yang selamat dari sebuah insiden yang seharusnya tak ada yang bisa selamat. Kalian kini memiliki kemampuan yang melampaui pemahaman manusia normal. Kami tidak tahu asal-usulnya, kami tidak tahu bagaimana mengendalikannya. Dan itu, Tuan Wiratama, menjadikan kalian ancaman global."

Kata-kata "ancaman global" menghantam Rohim seperti palu godam. Rahangnya mengeras. Emosi yang tadi terkandung, kini mulai bergolak. "Ancaman?! Kami bukan ancaman! Ini semua karena kecelakaan! Kami tidak meminta kekuatan ini!" suaranya bergetar menahan amarah. "Kami hanya ingin pulang. Pulang ke Indonesia. Hidup normal kembali!"

Fitriani merasakan tubuh Rohim menegang di sampingnya. Ia bisa merasakan getaran amarah suaminya. Ia memegang erat lengan Rohim, mencoba meredakan emosinya. "Yah... tenang dulu, Yah..." bisiknya, wajahnya cemas. Ia tahu, Rohim saat emosi bisa jadi sangat impulsif.

"Aku mengerti keinginan Anda untuk pulang dan hidup normal," Miss Armstrong melanjutkan, langkahnya mendekat, matanya menatap Rohim tajam. "Namun, kami tidak bisa membiarkan itu terjadi. Kekuatan yang kalian miliki, terutama yang masih belum terkendali, bisa menjadi risiko besar bagi keamanan dunia. Kami takut kalian tidak bisa mengendalikannya dan akan merusak, atau lebih buruk lagi, mengancam peradaban."

"Aku akan mengendalikan ini! Aku bisa!" Rohim membantah, suaranya penuh keyakinan. "Kami bukan penjahat! Kami tidak akan membuat kejahatan! Justru... justru kekuatan ini akan kami gunakan untuk kebaikan! Untuk menolong orang!" Kalimat itu keluar begitu saja dari hatinya, sebuah janji yang tulus. Sebagai seorang insinyur idealis, ia percaya pada potensi kebaikan dalam setiap kekuatan.

Miss Armstrong menggeleng pelan, seolah sedang mendengarkan rengekan anak kecil. "Terlalu berisiko, Tuan Wiratama. Kalian akan ditahan. Di bawah pengawasan ketat. Termasuk anak-anak kalian, Shalih dan Humairah."

Mendengar nama anak-anaknya disebut, Rohim merasakan kemarahan di dadanya memuncak. Di tahan? Anak-anaknya? Setelah semua yang mereka alami? "Tidak! Aku tidak akan membiarkan kalian menahan kami! Aku tidak akan membiarkan kalian menyentuh anak-anakku!" Rohim berteriak, suaranya menggema di ruangan. Ia memeluk Fitriani dan anak-anaknya lebih erat, seolah itu adalah benteng terakhir mereka.

"Amankan mereka!" perintah Miss Armstrong kepada pasukan militer CIA. Suaranya final, tidak bisa dibantah.

Para militer CIA itu langsung bergerak. Dua orang mengarah ke Rohim, dua lainnya mengarah ke Fitriani yang masih memeluk Shalih dan Humairah. Mereka bergerak cepat, tangan mereka sudah siap memborgol. Dokter Aris hanya bisa menatap, wajahnya menunjukkan penyesalan yang mendalam. Ia mengangkat tangan kanannya, seolah meminta maaf, namun tak ada suara keluar dari bibirnya. Ia terlalu takut.

Fitriani memejamkan mata, air mata mengalir. Ia bisa merasakan tangan kekar salah satu militer itu hendak meraih Shalih.

Pada saat itu juga, kemarahan Rohim meledak. Bukan lagi hanya emosi, tapi sebuah reaksi fundamental dari insting pelindung seorang ayah. Saat tangan militer itu menyentuh punggung Shalih yang masih terlelap, sesuatu dalam diri Rohim terpicu.

Dari tubuh Rohim, secara refleks, sebuah aura energi panas terpancar keluar. Bukan sekadar hawa hangat, melainkan gelombang panas yang dahsyat, terlihat samar-samar seperti fatamorgana di udara. Suhu ruangan mendadak naik drastis, menyebabkan udara bergetar. Lampu-lampu di langit-langit berkedip-kedip, hampir padam.

Para militer CIA itu, yang tadinya sigap, langsung terhuyung mundur. Sarung tangan mereka, yang terbuat dari bahan khusus, berasap tipis. Mereka mengeluh kesakitan, refleks menarik tangan mereka dari Rohim. Cahaya oranye kemerahan memancar samar dari tubuh Rohim, seolah ia adalah matahari mini yang bangkit.

Miss Armstrong dan Dokter Aris yang berdiri tak jauh dari sana, langsung terkesiap. Mata mereka membelalak ngeri. Mereka melihat Rohim, yang wajahnya masih dipenuhi amarah, namun di sekelilingnya kini ada medan panas yang tak kasat mata. Meja-meja medis di sekitar mereka berderak, seperti ingin meleleh.

Dokter Aris, yang tadinya terpaku, langsung melangkah mundur perlahan, ekspresinya antara takut dan kagum. Miss Armstrong juga ikut mundur, pandangannya tak lepas dari Rohim. Ia tahu ini baru permulaan dari kekuatan yang mereka takuti.

Aura panas yang memancar dari Rohim semakin kuat, membuat para militer CIA terpaksa mundur beberapa langkah, senjata mereka masih teracung namun ragu-ragu. Suhu di ruangan terus meningkat, membuat napas terasa sesak. Di ranjangnya, Shalih dan Humairah yang tadinya terlelap, kini mulai menggeliat, merasakan gejolak energi di sekitar mereka. Apakah Rohim akan benar-benar kehilangan kendali? Dan bagaimana Miss Armstrong akan menghadapi ancaman yang tak terduga ini?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!