NovelToon NovelToon
The Villain Wears A Crown

The Villain Wears A Crown

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: karinabukankari

Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15: The Crown Forged in Fire

Angin malam mencambuk bendera kerajaan Ravennor, menyapu atap istana dengan desir yang menggema seperti bisikan perang. Di bawah bulan purnama yang retak cahaya, dua bayangan melintasi taman rahasia, menuju gerbang bawah tanah yang pernah disegel sejak masa Raja Alder.

Seraphine dan Caelum menanggalkan mahkota dan mantel, menyamar dalam jubah hitam, menyusup keluar dari istana seperti buronan, bukan penguasa. Ironis, namun tepat.

Ash menunggu mereka. Dan hanya Tuhan yang tahu… dalam wujud seperti apa.

“Menurut laporan mata-mata kita,” ujar Caelum, “Ash terlihat terakhir kali di reruntuhan biara tua di utara. Tempat yang dulu menjadi markas Ordo.”

Seraphine mengangguk, namun matanya kosong. Bukan karena tak peduli—melainkan karena pikirannya tak berhenti memutar kemungkinan: Ash, membunuh Mirella? Ash, meninggalkan simbol Umbra seperti undangan kematian?

“Ash tak akan membunuh tanpa alasan,” katanya akhirnya.

“Kalau begitu,” Caelum menatapnya, “kita cari alasannya. Dan jika dia bukan pelakunya—kita temukan siapa yang mencoba memecah kita.”

Perjalanan ke utara memakan waktu dua hari, melewati hutan kabut dan lembah sunyi. Di sepanjang jalan, mereka diintai: oleh mata-mata berkuda, burung hitam aneh, bahkan seorang biksu yang nyaris menyamar sebagai pengemis buta—sebelum Seraphine menjambaknya dan berkata, “Mata Ordo tak pernah buta.”

Caelum terbahak. “Itu... terlalu dramatis, bahkan untukmu.”

Seraphine menyeringai. “Aku belajar dari yang terbaik.”

“Tentu saja.” Caelum mengangkat alis. “Dari aku?”

“Tidak. Dari kucing perpustakaan. Kau tahu, yang selalu datang dan pergi sesuka hati, meninggalkan kekacauan di rak buku.”

Caelum mendesah. “Astaga, aku kehilangan martabat sebagai pangeran.”

“Pangeranmu sudah mati waktu kau mulai makan sup langsung dari panci minggu lalu.”

“Hidup di istana membuatku kehilangan hak istimewa makan sop di mangkuk.”

Mereka tertawa pelan. Sesuatu yang asing… tapi menenangkan.

Namun tawa itu memudar begitu mereka sampai di depan reruntuhan biara.

Api unggun kecil menyala di tengah altar yang runtuh. Dan di balik nyala itu—seorang pria berdiri.

Ash.

Masih muda, tapi matanya tua. Terlalu tua untuk usianya. Rambutnya panjang dan kusut, namun tubuhnya tegap, dan di tangannya—tongkat berukir lambang keluarga mereka.

“Seraphine,” katanya pelan. “Dan Caelum.”

“Ash,” bisik Seraphine. “Apa yang kau lakukan?”

Ash menatap mereka dengan sorot luka yang tak bisa disembunyikan.

“Aku melakukan apa yang harus dilakukan. Mirella meracuni dewan, mencoba menjual Ravennor ke Kekaisaran Selatan. Aku membunuhnya sebelum dia menjual darah kita lagi.”

Caelum melangkah maju. “Kau tahu tindakanmu bisa menyalakan perang.”

“Perang sudah dimulai,” kata Ash dingin. “Hanya karena kalian berdua terlalu sibuk saling menatap di istana, bukan berarti dunia di luar tidak terbakar.”

Seraphine menelan ludah. “Kau bisa memberi tahu kami. Kita bisa melakukannya bersama.”

Ash tersenyum miring. “Aku tak percaya lagi pada 'bersama'. Bukan sejak kalian meninggalkanku di penjara Ordo.”

Seraphine memucat. “Aku—aku pikir kau mati…”

Ash tak menjawab. Ia hanya mengangkat tongkat, dan tanah di bawah altar mulai retak.

Dari celahnya, sosok-sosok berkerudung naik, mengenakan lambang baru: mahkota terbakar.

“Temui Umbra Baru, Seraphine. Kami tidak percaya pada kerajaan. Kami membangunnya ulang… dari api.”

Caelum menggenggam pedangnya. “Jika ini berarti kau musuh Ravennor…”

Ash melangkah maju.

“Bukan. Aku musuh semua yang mencoba menciptakan damai palsu dari darah rakyat.”

Ia menatap Seraphine dalam-dalam.

“Termasuk kau, kakakku. Jika kau memilih mahkota… dan meninggalkan kita lagi…”

Seraphine mengangkat dagunya. “Aku tidak memilih mahkota. Aku memilih kebenaran.”

Ash tersenyum pahit.

“Kalau begitu kita lihat… berapa banyak darah yang harus tumpah… untuk menemukan kebenaran itu.”

Dan di malam itu, di altar reruntuhan, saudara-saudara yang pernah saling melindungi, berdiri di sisi berbeda dari api.

Dan mahkota, sekali lagi, akan dibentuk dari bara, bukan emas.

...Seseorang harus duduk di atas takhta, bahkan ...

...jika itu dibuat dari tulang orang yang mereka cintai....

Kilatan api menyinari altar yang runtuh.

Di sekeliling Seraphine dan Caelum, puluhan pengikut Ash—kaum Umbra Baru—berdiri dengan kerudung gelap dan senjata yang tidak biasa. Bukan pedang, tapi tulang sihir. Bukan perisai, tapi mantra kutukan.

Seraphine menatap adiknya—tak lagi bocah yang dulu menyukai kue madu dan kisah petualangan. Kini ia tampak seperti simbol perang, berdiri tegap seperti tiang pembakar di festival pengorbanan kuno.

Ash menunjuk pada Seraphine.

“Kau memimpin perang ini,” katanya. “Tapi kau bahkan tak sadar sedang diseret ke dalam pertarungan yang bukan milikmu. Ravennor hanyalah pion. Sementara di balik tirai, para penyihir lama mulai bangkit. Aku melihatnya di balik tanah kematian, kakak.”

Caelum mengerutkan kening. “Tanah kematian?”

Ash meliriknya, seolah mengingatkan, ‘Kau bukan bagian dari ini.’

“Aku dilempar ke sana setelah kalian meninggalkanku. Disiksa oleh Ordo. Dibunuh… berkali-kali dalam mimpi. Tapi dari sana, aku juga belajar sesuatu. Tentang darah keluarga kita. Tentang apa yang sebenarnya kita warisi.”

Seraphine ingin bertanya.

Namun tanah tiba-tiba bergemuruh.

Salah satu pengikut Ash memukul tongkatnya ke tanah. Dari lubang altar, tulang-tulang bangkit—membentuk patung raksasa yang menyerupai tahta. Bukan dari emas. Tapi dari tulang manusia.

Satu tengkorak di puncaknya tersenyum bengkok… mengenakan bekas mahkota raja terdahulu.

Caelum memucat. “Apa itu…”

“Itu adalah tahta yang seharusnya kau duduki, Sera,” kata Ash, lembut. “Karena Ravennor tak bisa lagi diperintah oleh darah yang menipu rakyatnya. Kita butuh pemimpin yang tahu rasa sakit. Yang tahu artinya kehilangan. Yang tahu apa artinya—mengorbankan segalanya.”

Caelum menunduk, dan pelan-pelan berbisik ke Seraphine:

“Jika kau mendekati takhta itu, kau akan kehilangan dia. Untuk selamanya.”

Seraphine menatap adiknya. “Dan jika aku tidak mendekat… aku mungkin kehilangan semuanya.”

Ia melangkah maju.

Tiga langkah. Empat. Hingga berdiri di depan tahta tulang.

Ash tersenyum, setengah harapan—setengah ancaman.

“Duduklah, Seraphine. Dan buktikan pada kami bahwa darah Ravennor tak lagi pengecut.”

Seraphine mengangkat tangannya.

Menggenggam udara—dan menyulut api dari telapak tangannya sendiri.

“Aku tidak akan duduk di tahta yang dibuat dari tulang orang-orang yang pernah aku cintai.”

“Tapi aku akan membakarnya. Agar tidak ada lagi takhta yang dibangun dari kematian.”

Ia menghantamkan api ke tahta.

Ledakan.

Tulang-tulang meledak seperti pecahan kaca. Umbra Baru mundur. Ash terperangah. Dan Caelum sudah menarik Seraphine kembali ke belakang.

Tapi Ash bukan anak bodoh yang sama seperti dulu.

Ia mengangkat tongkatnya, dan dari bawah tanah, bayangan bangkit.

Orin.

Adik bungsu mereka—yang disangka mati.

Tapi matanya kosong. Jiwanya terikat oleh sihir kelam.

“Ini… bukan pilihanmu saja, Sera,” bisik Ash. “Kita semua… sudah dipilih sejak lahir. Dan jika kau tidak bisa memimpin dengan api…”

“Maka Orin akan memimpin dengan bayangan.”

Seraphine terhuyung.

Orin hidup. Tapi tak utuh.

Caelum mengangkat pedangnya, tubuhnya menegangkan.

“Apa maksudmu… kau bangkitkan dia dengan—”dikuburkan

Ash menyeringai. Tapi ada luka di balik senyumnya.

“Aku tak membunuh Orin. Aku hanya menyelamatkan bagian dari jiwanya… sebelum dia benar-benar mati di tangan Ordo.”

“Kalau kau ingin dia kembali—kau harus ikut denganku. Turun ke dalam tanah. Ke tempat di mana kebenaran keluarga kita dikuburkan.”

Seraphine menatap Caelum, lalu pada Orin yang terdiam seperti boneka hidup.

Ia tahu: jalan ini tak bisa kembali.

Tapi api telah menyala.

Dan tulang-tulang… sudah bicara.

...“In silence, the dead do not rest. ...

...They whisper.”...

Langkah kaki Seraphine bergema pelan di bawah tanah, menyusuri lorong sempit berlapis batu tua yang dipenuhi kelembapan. Hanya cahaya obor di tangannya yang memecah kegelapan pekat. Aroma jamur, debu, dan sisa dupa masa lalu menggantung di udara.

“Tempat ini… menyimpan terlalu banyak rahasia,” gumamnya, suaranya menyatu dengan suara tetesan air dari langit-langit batu.

Di belakangnya, Caelum mengikut sambil mengangkat jubahnya sedikit agar tak terseret lumpur.

“Yang mulia pangeran, raja masa depan, pewaris singa bersayap,” ejek Seraphine tanpa menoleh, “takut kotor sedikit?”

“Bukan takut,” balas Caelum. “Aku hanya sangat mencintai sepatuku.”

“Sepatumu tidak akan selamat. Bahkan nama-namamu mungkin tidak selamat.”

“Terima kasih atas semangatnya, calon permaisuri.”

Seraphine mendesah. “Berhenti memanggilku begitu.”

“Kau sendiri yang memilih menyamar sebagai calon istri. Aku hanya menghargai peran teater kita.”

Mereka tiba di gerbang tua berukir lambang kerajaan yang telah dihapus sebagian. Bekas cakar menyilang, seperti pernah dicungkil dengan marah.

“Ini tempatnya,” ucap Seraphine pelan.

Dari balik gerbang itu, terbentang ruang bawah tanah tua. Tapi bukan ruang penyiksaan seperti biasanya. Ini… semacam mausoleum tersembunyi. Dindingnya dihiasi relief pahlawan-pahlawan masa lalu. Namun bukan nama mereka yang tertulis di batu nisan.

Melainkan nama-nama yang telah dihapus dari sejarah.

“Ini… daftar pengkhianat?” tanya Caelum, keningnya berkerut.

“Tidak,” jawab Seraphine lirih. “Ini daftar mereka yang dibunuh karena berkata benar.”

Salah satu nama yang terpahat paling jelas: Elara Verndale.

Ibu Seraphine.

Caelum membaca nama itu dengan perlahan, dan menelan ludah. “Ini tak ada dalam arsip istana…”

“Karena istana tak ingin dunia tahu siapa yang mereka bunuh.”

Ia menoleh. Mata Seraphine berkaca-kaca tapi suaranya tetap dingin. “Ayahmu memerintahkan ini. Tapi diamnya kau malam itu… sama tajamnya dengan pedang algojo.”

“Seraphine…” suara Caelum nyaris seperti bisikan.

Tapi sebelum ia bisa melanjutkan, suara berderak dari sisi lorong membuat mereka menoleh serempak.

Dari balik bayangan, muncul seorang pria tinggi berjubah hitam dengan kerudung menutupi sebagian wajah.

Seraphine refleks mengangkat obor. “Siapa—”

“Tenang, Lady Seraphine,” kata pria itu. Suaranya berat. Akrab. “Kau mencariku, bukan?”

Caelum memicingkan mata. “Kau… Ash?”

Jubah itu ditarik turun. Wajah tajam dengan sorot mata gelap menatap mereka. Bekas luka panjang melintang dari pelipis ke rahang.

“Salam, adikku,” ucap Ash pelan.

Seraphine menatapnya lama, seperti otaknya sedang mengejar kenyataan yang terlalu cepat. “Ash… kau hidup…”

“Dan kau kembali. Membawa sang pangeran,” sahut Ash sambil menoleh tajam ke arah Caelum. “Berani juga kau membawanya ke sarang musuhnya sendiri.”

Caelum mengangkat alis. “Tergantung siapa musuhnya. Jika musuhku berdiri di sini, setidaknya dia sopan dan punya bekas luka yang keren.”

Ash menahan senyum kecil, lalu beralih ke Seraphine. “Kau tahu apa yang akan terjadi kalau para bangsawan tahu kau masih hidup, ‘Seraphine Verndale’?”

“Sudah ada yang tahu,” sahutnya sambil menunjukkan liontin Elara yang tergantung di leher. “Dan itu tak mengubah rencana.”

“Dan Orin?” tanya Ash pelan. “Kau tahu dia masih…”

“Masih hidup. Kau juga yakin, kan?”

Ash mengangguk. “Dia tidak di istana. Tapi… aku tahu di mana dia.”

Seraphine hampir terjatuh ke belakang saking cepatnya jantungnya berdetak. “Katakan.”

Ash mendekat. “Orin ditahan di Biara Gunung Thirone, di bawah pengawasan Ordo Putih. Mereka menganggapnya berbahaya karena… dia bukan sekadar anak bangsawan.”

Seraphine mencengkeram tangan Caelum tanpa sadar. “Apa maksudmu?”

Ash menarik gulungan kertas dari balik jubahnya. “Ini… silsilah keluarga kita. Yang asli.”

Caelum meraihnya dan membentangkannya di atas altar batu. Begitu matanya menelusuri garis-garis nama, darahnya seakan berhenti mengalir.

“Tidak mungkin,” gumamnya.

Seraphine membaca bagian yang sama.

Orin Verndale – cucu dari Ratu Adhara Alistair.

Mereka menatap Ash bersamaan.

“Orin… adalah darah kerajaan?”

Ash mengangguk. “Dan bukan hanya itu. Dalam surat wasiat Ratu Adhara, yang dicuri lalu disembunyikan oleh penasihat Raja Elric… ia mencatat bahwa cucunya dari pihak anak perempuan berhak atas takhta bila garis utama cacat atau tercemar.”

Seraphine mendekap dada.

“Dan garis Elric… sudah lama tercemar sihir terlarang.”

Caelum tampak lebih pucat dari biasanya. “Jadi… secara hukum, bukan aku. Tapi Orin yang sah…”

Ash menatapnya tanpa ampun. “Dan kalian berdua tahu, begitu ini diketahui… seluruh istana akan terbakar.”

Beberapa jam kemudian, mereka kembali ke atas melalui lorong berbeda, tersembunyi di balik ruang penyimpanan anggur. Saat mereka muncul kembali ke dalam istana, langit di luar telah memerah, menandakan senja.

Di koridor panjang istana, Lady Mirella sedang menunggu sambil bersandar pada tiang marmer dengan ekspresi bosan. Begitu melihat Seraphine dan Caelum keluar dari dinding palsu, ia mengangkat alis.

“Baiklah, ini jadi semakin teatrikal. Kalian keluar dari dinding sekarang?”

“Lorong rahasia,” jawab Caelum cepat. “Hal biasa dalam drama kerajaan.”

Mirella melipat tangan. “Oh, pasti. Kalian mungkin akan bilang berikutnya bahwa tikus-tikus istana sedang menyusun konstitusi baru.”

“Kalau mereka melakukannya,” sahut Seraphine sambil menepuk gaunnya, “aku akan memilih mereka jadi menteri.”

Mirella tertawa ringan. “Kalian terlalu serius akhir-akhir ini. Aku hampir rindu hari-hari ketika satu-satunya krisis adalah pesta dansa.”

“Krisis berikutnya mungkin datang saat pesta dansa besok malam,” kata Caelum. “Karena setelah ini… kita harus mulai mengungkapkan sesuatu.”

Seraphine menatapnya. “Kau yakin? Ini akan memecah kerajaan.”

Caelum menatap mata Seraphine dalam-dalam. “Biar retak, asalkan bisa dibangun kembali di atas kebenaran.”

Malam berikutnya, pesta dansa dimulai.

Kristal gantung bergemerlap, musik harpa mengalun, dan para bangsawan berkeliaran dalam topeng dan gaun mencolok. Seraphine mengenakan gaun emas dengan detail merah darah di bagian bawah, menyerupai lidah api. Di lehernya—liontin Elara, kini terbuka dan menampakkan potret Orin.

Di sisi seberangnya, Caelum mengenakan jas hitam dengan motif benang perak. Di balik wajah santainya, pikirannya berkecamuk.

Ash berada di antara para pelayan, menyamar. Dan Lady Mirella—berhasil mencuri daftar tamu untuk mengawasi siapa saja yang bisa menjadi ancaman.

“Siap?” tanya Caelum saat mereka berdiri di atas panggung kecil, tempat biasanya pengumuman penting diumumkan.

Seraphine mengangguk.

“Selamat malam, bangsawan Ravennor,” seru Caelum. “Hari ini kita berpesta, tapi izinkan aku menyampaikan sesuatu lebih penting daripada dansa dan anggur.”

Bisik-bisik langsung menyebar.

“Sebentar lagi, kerajaan kita akan menghadapi kebenaran lama yang disembunyikan. Tentang garis darah. Tentang warisan. Tentang siapa yang memiliki hak—dan siapa yang telah mencurinya.”

Suara gaduh. Gelas anggur jatuh. Beberapa bangsawan langsung bangkit dari kursi.

Lady Mirella langsung berkomentar pelan, “Nah, aku rasa ini lebih buruk dari pesta dansa yang gagal itu.”

Seraphine melangkah maju. “Aku bukan hanya Lady Seraphine dari rumah bangsawan rendah di timur.”

Ia membuka liontin. “Aku adalah Seraphine Verndale. Putri dari Elara. Saudari dari Orin. Dan cucu dari Ratu Adhara—yang diwariskan takhta yang telah kalian rebut.”

Bangsawan-bangsawan tua langsung berdiri, sebagian teriak, sebagian mundur seperti melihat hantu.

Tapi di tengah keributan itu—tiba-tiba terdengar ledakan.

BOOM!

Dinding timur hancur.

Asap dan debu menyelimuti aula pesta.

Dari balik reruntuhan, muncul sosok berjubah besi hitam. Suara langkahnya menghantam marmer dengan kekuatan luar biasa.

Dan dari balik helm berukir tanda iblis…

“Cari Seraphine Verndale,” kata suara berat itu. “Atas perintah Raja Elric. Dia harus mati malam ini.”

1
karinabukankari
🎙️“Capek? Lelah? Butuh hiburan?”

Cobalah:

RA-VEN-NOR™

➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi

PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.

Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
karinabukankari
“Kamu gak baca Novel jam 11?”

Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...

➤ Tiap hari. Jam 11.

Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
karinabukankari
“Halo, aku kari rasa ayam...
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”

➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?

Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:

❝ Aku Telat Baca Novel ❞

#AyamMenyerah
karinabukankari
Ash (versi ngelantur):
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”

Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”

Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”

📅 Jam 11. Tiap hari.

Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
karinabukankari
“Lucu…
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”

Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.

➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.

Jangan salah pilih sisi.
– Orin
karinabukankari
“Aku tidak banyak bicara…
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”

Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?

Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.

– Orin.
karinabukankari
“Oh. Kamu lupa baca hari ini?”

Menarik.

Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...

➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.

Aku sudah memperingatkanmu.

– Ash.
karinabukankari
📮 Dari: Caelum
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku

"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"

🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.

💙 – C.
karinabukankari
🐾 Meong Alert!

Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!

🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !

Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush

Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!

😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.

#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
karinabukankari
🐓 Jam 11 bukan jam ayam berkokok.
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis

Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG

📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
karinabukankari
🕚 JAM 11 SIANG ITU JAM SUCI 😤

Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!

Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”

Jadi yuk… BACA. SEKARANG.

🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
karinabukankari
⚠️ PENGUMUMAN PENTING DARI KERAJAAN RAVENNOR ⚠️

📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!

Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.

Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!

❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
karinabukankari
📢 HALOOO PARA PEMBACA TERSAYANG!!
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.

⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB

🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.

➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~
Luna_UwU
Ditambahin sekuel dong, plis! 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!