NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MANA BAGIANKU?

Nayara menatap layar ponselnya dengan pandangan iri, melihat unggahan Caelisya dan Nazerin yang sedang bersenang-senang di Lisboa. Mereka tampak tertawa di tepi pantai, menikmati liburan yang sudah lama diimpikan bersama.

"Semua gara-gara Kaelith… aku jadi tidak bisa ikut," gumamnya kesal.

"Morning, baby," sapa Kaelith sambil mengecup bibir dan puncak kepala Nayara.

"Kalau bukan karena mu, aku pasti sudah di sana bersama mereka," balas Nayara dengan nada masam.

Kaelith hanya melirik sekilas, lalu melangkah ke ruang tengah untuk mengambil tas olahraganya.

"Nanti aku akan mengajakmu ke sana," ucapnya datar sambil mengenakan sepatu, bersiap berangkat untuk pertandingan malam ini.

Nayara tidak menjawab. Ia hanya duduk terpaku di sofa dengan ponsel masih tergenggam di tangan. Perasaannya campur aduk antara kesal, kecewa, dan sedikit harap pada ucapan Kaelith barusan. Tapi ia tahu, janji pria itu seringkali tak pernah menjadi kenyataan.

Kaelith berdiri di ambang pintu, menatap Nayara sejenak sebelum akhirnya membuka pintu apartemen.

"Aku pulang malam. Jangan begadang," ucapnya singkat, lalu pergi menutup pintu tanpa menunggu jawaban.

Begitu pintu tertutup, Nayara membuang napas panjang. Ia bersandar di sofa, memejamkan mata sejenak. Rasanya seperti dikurung dalam sangkar emas serba cukup, tetapi terkekang.

Ia membuka kembali layar ponselnya dan menonton ulang video singkat yang diunggah Caelisya. Tawa kedua sahabatnya menggema di telinganya. Ia rindu kebebasan, rindu tertawa tanpa harus merasa bersalah.

"Lisboa... bahkan hanya sebentar pun aku tidak boleh," gumamnya lirih.

Tangannya meremas bantal sofa di sampingnya. Hatinya berontak, tapi tubuhnya tetap diam. Dan seperti hari-hari sebelumnya, Nayara kembali larut dalam kesepian yang tidak pernah ia minta sejak hidup bersama Kaelith.

Dilanda kebosanan dan kecewa, Nayara memutuskan untuk keluar sejenak. Mengelilingi kota Sevilla seorang diri tampaknya bisa sedikit meredakan perasaannya yang mengganjal.

Setelah bersiap, ia pun melangkah pergi, berharap udara luar mampu menghapus sesak di dadanya, meski hanya sementara.

Nayara melangkah pelan di trotoar kota Sevilla yang ramai namun terasa lengang di hatinya. Langit musim semi cerah, dengan semburat matahari yang menari di sela dedaunan. Ia berhenti sejenak di sebuah kios bunga, menatap anyelir putih yang membuatnya teringat pada sahabat-sahabatnya yang kini bersenang-senang di Lisboa.

"Aku harusnya ada di sana," gumamnya lirih.

Ia melanjutkan langkah menuju pusat kota. Hiruk-pikuk para turis, suara musik jalanan, dan aroma paella yang menyeruak dari restoran terdekat sedikit mengalihkan pikirannya. Nayara memutuskan untuk duduk di sebuah bangku taman, membuka ponsel, dan melihat lagi story Caelisya dan Nazerin.

Mereka tertawa di tepi pantai, mengenakan dress putih, wajah mereka bercahaya di bawah sinar matahari Portugal.

Senyum pahit muncul di bibir Nayara. Ia merasa tertinggal. Dunia mereka terasa jauh, seolah ia hanya penonton yang tak pernah diizinkan masuk ke dalam kebahagiaan yang sama.

Suara notifikasi mengalihkan perhatiannya. Sebuah pesan dari Caelisya muncul:

"Kami merindukanmu, Nay."

Nayara menatap layar cukup lama sebelum membalas.

"Aku juga merindukan kalian."

Ia menunduk, menggenggam ponsel erat-erat. Kali ini, bukan karena tidak diizinkan, tapi karena ia terlalu takut untuk melawan.

Nayara memperhatikan keramaian di sekitarnya, matanya menelusuri wajah-wajah asing yang berlalu-lalang, hingga pandangannya tertumbuk pada sebuah poster yang tertempel di batang pohon tak jauh dari tempat ia duduk.

Langkahnya mendekat tanpa sadar. Ia berdiri di hadapan poster itu, lalu terdiam.

"Papa..." gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Wajah pria dalam poster itu begitu dikenalnya yaitu Gideon Elvendeen. Lelaki terpandang yang kini mencalonkan diri sebagai senator, yang marga besarnya mengalir pula di darah Nayara. Namun selama hidupnya, pria itu tak pernah sekalipun mengakui keberadaannya sebagai anak.

Dengan tangan bergetar, Nayara merobek poster itu dari pohon. Ia memandanginya lama, seolah mencari secuil pengakuan yang tak pernah datang.

Warna merah, putih, dan biru pada desain kampanye itu terasa kontras dengan luka yang selama ini ia simpan sendiri.

"Berwibawa untuk rakyat," begitu slogan tertulis di bagian bawah.

Nayara menghela napas berat, jemarinya mengepal menggenggam poster itu. Yang ia rasakan bukan kewibawaan, melainkan penolakan yang tak pernah sembuh.

Di tempat berbeda, Fredricka tengah berdebat sengit dengan adik tirinya, Elaria, di ruang kerja pribadi keluarga Raveil.

"Aku bertanya sekali lagi, El kemana jatah warisanku? Jangan bilang semuanya kau rampas!" seru Fredricka, nada suaranya tinggi, penuh emosi.

Elaria menatapnya tanpa gentar. "Berani-beraninya kau bicara soal warisan, setelah bertahun-tahun membuat nama keluarga kita hancur?"

"Jangan alihkan topik!" bentak Fredricka. "Aku mungkin pernah dibuang karena masa lalu, tapi darahku tetap darah Raveil! Aku tetap punya hak!"

Elaria menyilangkan tangan, ekspresinya dingin. "Papa sudah memutuskan. Kau tidak masuk dalam surat wasiatnya dan itu sah secara hukum. Kau bukan bagian dari keluarga ini lagi."

Mata Fredricka berkaca-kaca, tapi sorotnya tak melemah. "Papa menghapusku karena pengaruh mamamu. Jangan kira aku tidak tahu permainan busuk kalian."

"Permainan?" Elaria tertawa kecil, sinis. "Justru kau yang bermain dengan api dan akhirnya terbakar."

Fredricka mendekat, menatap Elaria tajam. "Aku akan kembali. Entah bagaimana caranya, nama Raveil akan tetap melekat padaku dan saat hari itu tiba, kau akan menyesal pernah menginjakku."

"Lucu sekali kau datang meminta warisan," ucap Elaria dingin, berdiri di hadapan Fredricka dengan tangan terlipat di dada. "Saat papa sakit parah sampai beliau mengembuskan napas terakhirnya, kau bahkan tidak muncul untuk sekadar meminta maaf atau menemuinya sebagai anak tertua."

Tatapan Elaria semakin tajam. "Bahkan Nayara, anak yang selama ini kau abaikan sudah kuberitahu. Tapi batang hidungmu sama sekali tak terlihat di rumah ini."

Ia menghela napas pelan, penuh kekecewaan. "Jadi sangat ironis kalau sekarang kau datang dengan penuh tuntutan, seolah punya hak. Kau pikir warisan itu cuma soal darah?"

Fredricka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras menahan amarah.

Fredricka hampir melayangkan tamparan ke wajah Elaria, tapi salah satu ajudan keluarga Raveil lebih sigap menepis tangan itu sebelum sempat menyentuh pipi adiknya.

"Pergilah!" ujar Elaria sinis, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kau memang lebih cocok tinggal di pemukiman kumuh dan melayani pria-pria hidung belang daripada berdiri di rumah ini."

Darah Fredricka mendidih. Matanya merah, napasnya memburu.

"Aku akan buat kau menderita, Elaria. Ingat kata-kataku!" teriaknya, sebelum kedua ajudan menyeretnya pergi, tanpa belas kasihan.

Suara hak sepatunya bergema di marmer rumah keluarga Raveil, meninggalkan aura permusuhan yang tak akan mudah padam.

Fredricka pulang ke rumah kontrakannya dengan hati penuh amarah. Langkahnya berat, pintu dibanting saat ia masuk. Hatinya mendidih murka karena Antonio Raveil, pria yang selama ini ia panggil papa, tak mewariskan sepeser pun padanya. Padahal darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah keluarga Raveil.

Ia membuka kulkas kecil, mengambil satu-satunya botol bir yang tersisa. Diteguknya dengan kasar, seolah berharap amarahnya larut bersama dinginnya minuman itu.

"Akan kubuat kau hancur, Elaria," gumamnya tajam, tatapannya menajam ke arah kosong di dinding, seolah membayangkan wajah adik tirinya di sana. Bibirnya melengkung membentuk senyum penuh dendam.

Pintu rumah terbuka perlahan, suara derit engselnya memecah keheningan. Fredricka menoleh, mendapati putrinya Nayara datang sambil menenteng kantong berisi bahan makanan.

Belum sempat Nayara menutup pintu, suara ibunya sudah terdengar nyaring.

“Bagi uangmu, Nayara. Aku butuh beli stok bir,” ucap Fredricka tanpa rasa sungkan, suaranya serak karena rokok dan amarah yang belum juga padam.

Nayara berhenti melangkah, menatap ibunya tajam. “Aku tidak akan memberi uang untuk hal yang tidak berguna,” balasnya datar, nada suaranya lebih dingin dari biasanya.

Fredricka terkekeh pelan mendengar ucapan Nayara barusan, tawa yang terdengar getir dan menyimpan luka masa lalu.

“Kau benar-benar munafik, Nayara,” ucapnya sambil meletakkan kaleng bir kosong ke meja dengan bunyi dentang.

Ia menatap putrinya tajam, senyumnya miring.

“Kau pikir kau lebih baik dariku? Lebih bersih? Lebih suci?” Suaranya meninggi, sinis.

“Kau sama saja seperti Gideon. Sok bermoral, tapi nyatanya penuh noda. Kau pikir aku tak tahu siapa dirimu sebenarnya?”

Nayara menggenggam kantong belanjaan lebih erat. Matanya menatap ibunya dengan luka yang tak lagi bisa ditutupi, tapi ia memilih untuk tak menjawab sepatah kata pun.

Nayara tidak membalas. Ia hanya menghela napas, lalu berjalan melewati ibunya begitu saja.

Langkahnya menuju dapur, membuka kulkas, dan mulai menaruh satu per satu bahan makanan yang baru dibelinya. Sayur-sayuran, telur, daging, susu, semua ia tata rapi di dalam rak dingin itu.

Seperti biasa, belanja mingguan yang ia beli bukan untuk dirinya, melainkan untuk wanita yang kini menatap punggungnya dengan sinis dari ruang tengah. Wanita yang masih disebutnya "ibu", meski tak pernah benar-benar berperan sebagai seorang ibu.

Agar wanita itu tidak mati kelaparan. Atau lebih buruk, keracunan karena hanya menenggak bir dari pagi sampai malam.

Tanpa menoleh, Nayara berkata pelan, nyaris seperti gumaman.

“Aku tak butuh pengakuanmu. Tapi berhentilah merendahkanku.”

Fredricka menatap putrinya dengan tatapan penuh dendam dan kepahitan.

"Aku menyesal tak menggugurkanmu dulu, Nayara," ucapnya dengan suara yang tajam seperti pisau. "Kenapa aku sempat merasa kasihan? Kenapa aku memutuskan untuk membesarkanmu sendirian, sementara Gideon… bajingan itu malah pergi begitu saja setelah mendapatkan wanita kaya lainnya!"

Nayara tak menjawab. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya tampak berkaca-kaca. Ia meraih pintu kulkas dan menutupnya perlahan. Suara klik pintu kulkas yang tertutup, terasa lebih nyaring daripada kata-kata ibunya barusan.

“Aku bukan bebanmu, ibu,” ucap Nayara pelan. “Tapi sejak dulu, kaulah yang membebaniku.”

Lalu ia berjalan meninggalkan dapur tanpa menoleh, membiarkan Fredricka tenggelam dalam amarah dan penyesalan yang sudah lama membusuk.

Tanpa berkata banyak, Nayara membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang tunai dengan jumlah yang biasa ia berikan setiap bulan. Ia meletakkannya di meja, tak sedikit pun menatap wajah ibunya.

"Ini cukup untuk sebulan," ucapnya dingin. "Jangan merengek saat habis. Belajarlah berhemat. Aku tidak hanya menghidupi Ibu, tapi juga diriku sendiri."

Fredricka hendak membuka mulut, mungkin untuk menyumpahi, mungkin untuk menghina. Tapi Nayara tak memberinya kesempatan. Ia segera melangkah pergi, membuka pintu, dan menutupnya di belakangnya dengan suara keras namun tegas.

Langkah kakinya menjauh dari rumah tua itu tempat yang lebih pantas disebut neraka daripada rumah. Angin luar menyambut wajahnya yang dingin, tapi anehnya terasa lebih hangat daripada kehadiran wanita yang melahirkannya.

1
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!