NovelToon NovelToon
Terjebak Dalam Cinta Hitam

Terjebak Dalam Cinta Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Obsesi / Trauma masa lalu
Popularitas:822
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .

Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 16.Pelarian Besar.

Jakarta dalam Agustus kerap kali seperti kompor yang lupa dipadamkan. Panas mengepul dari aspal, menyesap paru-paru sampai rasanya berkeringat di dalam tulang. Begitu pula hati—kadang ia terbakar justru di tengah cahaya paling terik. Itulah yang kurasakan, pagi ini, di rumah Menteng yang lebih mirip museum sunyi daripada tempat tinggal.

$$$

Aku bangun sebelum fajar, mengambil apron kuning dengan gambar ayam—hadiah iseng dari Kalea bertahun lalu. Di dapur megah, alat-alat mengilap seperti bedil perang. Chef Alberto tertidur di pantry setelah lembur menyiapkan menu brunch keluarga; ini kesempatanku.

Kubuka resep daring, tapi alih-alih mengikuti, aku asal menaruh roti di oven, menaikkan suhu dua kali lipat. Dalam tujuh menit, bau hangus merebak. Tepat saat itu, langkah beralas slipper terdengar di ambang pintu.

“Pagi dini hari yang produktif?” suara Tristan. Ia berdiri bersandar pada kusen, kemeja rumah putih menempel pada bahu tegap; rambutnya masih setengah basah.

“Aku mencoba jadi istri ideal,” jawabku, mengibaskan asap. “Katanya jalan ke hati suami lewat lambung.”

“Benar, tapi lewat lambung yang tak terbakar,” ia tertawa.

Ku letakkan roti gosong di piring, menyajikannya di meja pulau marmer. “Silakan uji nyali. Konon kalau selamat, umur panjang.”

Tristan duduk, mengambil sepotong kecil, menggigit perlahan. Mata obsidiannya melebar dramatis. “Ada aftertaste… arang aktif plus sedih.”

Kutarik kursi di seberangnya. “Tepat. Rasa sedih memastikan kau ingat istrimu masih berduka atas kebebasannya yang hilang.”

Ia meletakkan roti, menautkan jemari di meja. “Aku bersalah karena mengekang mu, Aurora. Tapi ku butuhkan sedikit waktu agar kau percaya bukan semua dinding di rumah ini penjara. Beberapa dinding hanya butuh pintu yang kau buka sendiri.”

Kata-katanya nyaris manis, jika saja tak ada sorot tajam di ujung kalimat. Aku tersenyum, senyum plastik yang sudah kupakai dua minggu terakhir.

“Baiklah,” kataku bangkit, “aku akan belajar membuka pintu. Tapi saat itu tiba, jangan terkejut jika aku tak kembali.”

“Selama bukan kabur dari dirimu sendiri,” jawabnya tenang.

$$$$

Tristan mulai kebiasaan menempelkan Post‑it di cermin kamarku. Sepenggal Sapardi, baris Chairil, kadang haiku karangannya. Aku membalas diam-diam: menempel pantun receh di laptopnya.

Pak Direksi makan pepaya—

Semoga profit tak hanya maya.

Suatu malam, ia menemukan pantunku, lalu mengetuk pintu kamarku sambil membawa secarik kertas.

“Profit nyata, Nyonyaku. Tapi pantun mu merugikan reputasi.”

“Apa laba turun gara-gara pantun?”

“Tidak,” ia terkekeh, “tapi direksi menuntut penjelasan kenapa CEO tiba‑tiba tertawa saat rapat.”

Aku pura-pura menyesal. “Hati-hati, tertawa bikin keriput.”

Dia melirik raut ku. “Kalau keriput berarti kau tersenyum saat bersamaku, aku tak keberatan jadi tua.”

Obrolan singkat, tapi cukup untuk membuatku menahan debar. Dalam-dalam aku bergumam: jangan lupa rencana.

$$$$

Malam berikut nya , ku susun daftar belanja: TEpuNg – AC et—KeJu—BaSi l—O li ve—R O z—Ini—Gula. Huruf awal tiap kata membentuk TAKBERIZIN—kode lama panti untuk “pengiriman gelap butuh segera”. Chef Alberto, setengah mengantuk, membawa daftar ke pemasok di Pasar Santa, yang tanpa ia ketahui, adalah jaringan Pak Gading. Tiga hari kemudian, pot kecil hydrangea kuning datang. Di dalam tanahnya, paspor Nur Amara, umur dua puluh lima, foto wajahku dengan bob. Ada flash‑drive mungil—tiket Malaysia, kartu SIM internasional.

Aku cek paspor palsu di kamar mandi, tak bisa tidak terkesan: hologram, tanda air, semua tampak sah. Ku cium hidungku di cermin, berkata: “Nur Amara, selamat datang.”

$$$$

Arya berkunjung esoknya, dalih mengantar dokumen legal. Di ruang kerja, ia menyerahkan map tebal, lalu berbisik saat aku menyuguhkan teh.

“Ada blind‑spot di pantry belakang. Kamera buta setiap jam makan siang karena ‘refresh manual’. Satpam jaga merokok pukul 12.45 hingga 12.55.”

“Bagaimana kau yakin?”

Arya tersenyum tipis. “Aku yang menugaskannya. Dan aku pastikan merek rokoknya cukup keras supaya ia tergantung.”

Aku menahan senyum. Tapi perih di dada: melibatkan Arya berarti membahayakannya.

$$$$

Seminggu penuh, aku tampil manis. Sarapan bersama Tristan, menyesap kopi tanpa komentar sarkastik. Menggandeng lengannya di lorong, pura-pura tertarik saat ia menjelaskan laporan keuangan.

“Angka EBITA ini menarik,” kataku suatu pagi.

Tristan berhenti melangkah, menatapku curiga. “Sejak kapan kau peduli EBITA?”

Aku mengangkat bahu. “Sejak memutuskan menambah skill sebelum kabur.”

Ia tertawa. “Angka EBITA tak cukup untuk lari. Tapi kau boleh mencobanya.”

Dalam hati, aku menandai: ia tidak tahu.

$$$$

Tanggal 14 Agustus, matahari sudah garang bahkan sebelum tengah hari. Chef Alberto tidur siang di sofa kecil pantry, dengkur halus bersaing dengan kipas angin tua. Satpam belakang duduk di bangku, sigaret kretek mengepul.

Aku mengenakan hoodie abu, celana olahraga, dan topi hitam. Koper kecil ku seret pelan ke pantry. Kunci cadangan—hasil curian Arya—ku putar.

Klik. Jendela terbuka. Tembok luar menyerap panas; telapak tanganku seketika berkeringat.

Satu… dua… aku lompat, mendarat di rerumputan kering. Jalan setapak di samping rumah kosong. Ku berlari menunduk ke pagar.

Mengangkat gaun rumah—melilitkannya seperti tali—ku tapaki pijakan bata, memanjat. Besi panas nyaris membakar telapak kum, tapi adrenalin membutakan rasa.

Begitu kakiku mendarat di sisi luar, ku hela napas. Bebas.

Taksi online muncul lima menit kemudian, sesuai rencana. Aku masuk kursi belakang, AC menampar wajah.

“Sore, Bu Nur,” sapa sopir.

“Bandara, terminal 3,” jawabku. Suaraku gemetar tapi mantap.

Mobil melaju. Aku memejam mata—hampir menangis—sampai suara ponsel burner bergetar. Notifikasi masuk. Satu kalimat: “Hati-hati, Rora.” Nomor asing, tapi aku tahu itu Kalea.

Ku tatap langit biru tanpa awan—Jakarta terlalu terang untuk rahasiaku. Namun aku memutuskan percaya panas ini membawa pintu terbuka, bukan kobaran neraka.

$$$$

KM 21 padat. Sirene polisi terdengar. Sopir menepi. Aku mengintip kaca spion— sedan hitam Tristan di belakang. Napas ku terhenti.

Para petugas polisi berdiri di tepi jalan. Tristan keluar mobil, kemeja lengan digulung, peluh di pelipisnya memerahkan wajah tampan itu.

Ia mengetuk jendela sopir. Sopir menurunkan kaca; Tristan menampilkan kartu identitas bisnis.

“Ada masalah, Pak?” sopir gugup.

“Tidak, hanya kesalahpahaman. Penumpang Anda istri saya.”

Ia menoleh padaku di kursi belakang.

“Aurora,” ucapnya lirih. “Mari bicara.”

Koper di pangkuanku terasa seperti peti mati. Aku keluar, udara panas menyambut, menyengat kulit.

Tristan berdiri dua langkah dariku. Jalan tol menderu, klakson bersahut, aroma bensin dan aspal menyengat.

“Aku kira tiketmu palsu,” katanya. “Tapi kucek: nomor penerbangan valid. Kau hebat.”

“Jadi kau akan biarkan aku pergi?” Aku menantang.

“Jika itu membuatmu menemukan dirimu.” Sinar sedih melintas di mata obsidiannya. “Tapi tolong, kali ini pakailah nama aslimu. Jangan Nur Amara.”

Aku tertegun. “Kau tahu?”

“Sopir pasar Santa suka bergosip.” Ia menghela napas. “Kalau kau pergi, aku takkan mengejar. Tapi kalau kau kembali dalam luka, aku takkan memaafkan diriku.”

Aku gemetar. Matahari tepat di atas kepala—panas tak terampuni. Namun panas juga mensterilkan kebohongan.

“Satu pertanyaan,” ujarku. “Kalau aku pergi, apa yang akan kau lakukan?”

“Menghitung hari,” jawabnya. “Hingga kau pulang atau kebencianmu membunuhku.”

Di dada, dua suara bertarung: lari—tinggal. Ku ringankan koper. Ku tatap jalan panjang menuju bandara—kilometers of maybe. Lalu kulihat Tristan—kilometers of maybe berbeda.

Kupilih menarik napas, menutup mata, dan musik dalam kepala berhenti. Ketika kubuka mata, aku meletakkan koper di aspal.

“Tidak hari ini,” kataku. “Tapi bukan berarti aku tinggal selamanya.”

Tristan meraih koper, tangannya gemetar. Tapi ia tersenyum—senyum pria yang mau belajar menunggu.

Kami melangkah ke mobilnya. Matahari tetap menyiksa, tapi aku tidak lagi merasa dikejar. Dan entah mengapa, panas ini justru membuatku percaya: luka bisa kering, bahkan tanpa hujan.

Dan jika suatu saat hujan kembali, mungkin aku tidak lagi berlari—aku akan berdiri, membiarkan tetes air membasuh, bukan menenggelamkan.

.

.

.

Bersambung.

1
Kutipan Halu
wkwk menyala ngk tuhhh 😋😋
fjshn
ngapain takut rora? kan Tristan kan baikkk
fjshn
tapi sama sama perintah dongg wkwk tapi lebih mendalami banget
fjshn
sejauh ini baguss banget kak, and then Aurora sama lea gadis yang hebat aku sukaaa semangat buat kakak author
Kutipan Halu: semangat jugaa yaa buat kamuu, mari teru perjuangkan kebahagian hobi kehaluan ini 😂😂
total 1 replies
fjshn
datang ke rumah aku aja sini biar aku punya kakak jugaa
Kutipan Halu: autornya ajaaa ngk sih yg di bawa pulang wkwk😋😋
total 1 replies
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
fjshn
woww bisa gitu yaa
fjshn
wadihh keren keren pencuri handal
fjshn
hah? sayang? masa mereka pacaran?
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
Kutipan Halu: diaaa punya susi kecantikan dan sikap manis tersendirii yaa kann 😂😇
total 1 replies
fjshn
keren nih Aurora, auranya juga menyalaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!